3. Bab 3

101 17 0
                                    

Sekali waktu pesanan kue Nadia lumayan ramai, kebetulan ada beberapa kenalan yang berlangganan. Di saat semangat berjualan, ia justru mendapat cambukan mental dari ibunya sendiri. Bu Rosmia dengan perasaan tak berdosa menenteng dua boks kue yang jenisnya sama dengan yang Nadia jual. Ia pesan dari salah satu teman arisannya, dengan alasan ingin membantu temannya itu sekaligus untuk bersedekah kepada orang tersebut. Kebetulan minggu itu giliran gelar arisan di rumah Bu Rosmia.

"Nad, bantu Ibu siap-siap, ya. Acaranya akan dimulai satu jam lagi." Bu Rosmia meletakan boks berisi kue itu di atas meja yang sudah ditata.

Tanpa basa-basi, Nadia segera melakukan yang diperintahkan. Nadia melirik sekilas ke tumpukan boks itu, ia berusaha bersikap biasa saja meski hatinya sedikit tersayat. Di saat ia tengah berjuang membangun usaha, justru seperti diredupkan. Padahal usaha yang ia bangun itu sedikitnya untuk membantu meringankan cicilan.

"Bu, kenapa Ibu tidak memesan saja kuenya sama Mbak Nadia? Kan, itung-itung bantu mempromosikan dagangan Mbak Nadia." Nindi memberikan pendapat, saat melihat boks kue yang dipesan ibunya.

"Udahlah, bukan Ibu tidak mau bantu promosi dagangannya. Ibu cuma gak mau malu di depan tamu-tamu, kalo kue Nadia itu tidak layak. Coba aja kamu liat yang pesan kuenya hanya orang-orang yang kenal dia dan mungkin mereka hanya kasian, ikut bantu. Bukan karena kuenya enak." Bu Rosmia menjawab pertanyaan Nindi sekenanya.

Nadia lagi-lagi harus menghela napas dalam dan melipat semua perasaan terlukanya. Ia semakin tidak mengerti kenapa saat ia membutuhkan dukungan moril dan semangat, ia malah dihempaskan secara tidak langsung oleh orang terdekatnya.
Sering kali Nadia berpikir untuk melamar pekerjaan demi mendapat penghasilan tetap, tetapi ia selalu menyerah pada usianya yang harus bersaing dengan usia produktif di bawahnya. Apalagi hampir semua perusahaan menerapkan persyaratan fresh graduated. Jadi, meskipun ia berpengalaman di bidang yang dilamar, tetap tidak memberikan pengaruh besar kalau usia sudah melewati batas.

Entahlah, apakah itu hanya alasan perusahaan saja untuk mencari pekerja yang dapat dibayar dengan gaji setara upah minimum. Mungkin untuk orang-orang berpengalaman, perusahaan khawatir akan mengeluarkan upah tinggi. Lagipula, jika dirinya bekerja bagaimana dengan anak-anak? Sementara ia belum sanggup menyewa tenaga asisten rumah tangga.

Nadia hanya bisa menangis dalam diam, apalagi saat anak-anaknya terlelap. Penyesalan tak akan merubah apa pun, saat ini ia harus terus bergerak untuk tetap melancarkan setoran.

***

"Ma, Ibu Guru tadi mengumumkan kalau minggu depan akan ada lomba di sekolah. Arkan dan Jodi harus ikut lomba itu." Arkan membuka percakapan saat Nadia menyiapkan makan malam.

Arkan dan Jodi tengah menyelesaikan tugas sekolah sambil menunggu makan malam siap.

"Oya, lomba apa aja?" Nadia menanggapi sulungnya sambil terus menyelesaikan pekerjaan di dapur.

"Banyak, Ma. Kata Ibu Ulfa nanti akan diinfo lomba-lombanya ke Mama."

"Arkan dan Jodi mau ikut lomba apa memangnya?"

"Arkan mau ikut lomba bercerita aja, Ma."

"Aku mau ikut lomba menyanyi, ya, Ma." Jodi yang tengah melakukan tugas mewarnai, berhenti sejenak dan menatap sang Mama yang masih sibuk dengan peralatan masaknya.

"Oke, nanti Mama liat daftar lombanya."

Nadia menyodorkan dua piring berisi goreng kentang dan sosis sesuai permintaan dua buah hatinya untuk makan malam.

"Ayo, makan dulu. Makan sendiri, ya."
Kedua bocah usia sekolah dasar itu pun mengangguk patuh dan langsung melahap makanan kesukaan dengan penuh kenikmatan.

"Pelan-pelan makannya, jangan berserak, ya, Nak." Nadia berjalan menuju meja makan.

"Maafkan Mama, Nak." Seraya berbisik lirih, Nadia membelakangi kedua anaknya. Kemudian mengambil ponsel dan memeriksanya jika ada informasi dari sekolah atau perkembangan informasi di grup nasabah korban investasi bodong itu.

Anak-anaknya lah yang menjadi penghiburan Nadia ketika dunianya tengah disesaki kabut-kabut kesulitan yang menghimpit. Perasaan berdosa itu selalu meliputi hatinya, apalagi harus memangkas uang jajan dan segala keperluan anak-anak untuk hal yang sia-sia.

[Assalamualaikum, Mommy. Berikut informasi lomba di minggu berkarya yang akan diadakan mulai minggu depan. Rinciannya ada di file, ya, Mom.]

Begitu isi pesan dari admin sekolah anak-anak, dengan menyertakan sebuah lampiran.

Menuju pesan lain, ia menemukan pesan beruntun di grup nasabah. Satu di antaranya menginformasikan tentang tindakan untuk membuat laporan ke bagian Reskrim Polda Metro, setelah sebelumnya semua ketua melakukan laporan di polrestabes kota setempat di mana koperasi itu beroperasi.

Nadia tercenung, bimbang antara ikut membuat laporan ke bareskrim kota atau tidak? Karena jarak yang lumayan jauh dan memerlukan biaya perjalanan. Jika ia harus datang, maka anak-anak harus ikut serta karena tidak ada yang akan menjaga di rumah. Sementara ia tinggal sedikit jauh dari rumah ibunya.

Sementara jadwal yang ditentukan oleh ketua grup itu bertepatan dengan lomba yang diadakan sekolah anak-anaknya. Jika ia menitipkan anak-anak ke rumah Ibu, otomatis harus izin sekolah. Makin pening kepala Nadia dibuatnya. Keduanya sama penting. Sedangkan meminta tolong Ibu untuk mengantar jemput ke sekolah anak-anak rasanya tidak mungkin. Ia tidak punya cukup uang untuk membayar sopir, bensin dan lain-lain, karena dana itu ia alihkan untuk pergi ke Jakarta.

Nadia berusaha tak lagi banyak meminta bantuan, jika tak terlalu mendesak. Ia sangat paham sifat ibunya yang sangat perhitungan. Segalanya selalu dihitung dalam bentuk transaksi. Bahkan untuk menggunakan mobil keluarga, Nadia harus mengeluarkan semua biaya. Padahal ia berharap sedikit saja ibunya mengerti kondisinya saat ini. Toh, ia tidak diam saja.

Nadia berpikir untuk mengajak Nindi pergi ke bareskrim kota dalam rangka membuat laporan sesuai arahan di grup itu. Informasi lanjutan mengatakan, jika tidak datang membuat laporan langsung maka uang yang diinvestasikan tidak akan bisa kembali. Menurut info ketua grup, proses tersebut tidak bisa dikuasakan, meskipun dari pihak ketua grup sudah menyewa pengacara untuk para korban.

Namun, entah bagaimana pelaksanaan proses itu, nyatanya semua nasabah harus melakukan pergerakan dengan menghadirkan beberapa media massa untuk membuat berita ini muncul ke publik, hingga sampai ke Bapak Presiden. Harapannya bisa membantu menuntaskan masalah penipuan yang menjerat para nasabah. Saat itu, media sosial tidak terlalu berkekuatan besar untuk mengungkap masalah ke publik. Itulah sebabnya peran media televisi sangat membantu.

[Nin, kita harus ke Jakarta membuat laporan ke Bareskrim Polda Metro, kata ketua grup itu.]

[Aduh, tapi aku tidak punya uang untuk pergi ke Jakarta. Terus anak-anak gimana?]

[Titip Ibu sebentar, mudah-mudahan ini solusi untuk bisa mengembalikan uang itu, Nin. Biar aku yang bayar ongkosnya.]

[Oke.] Setelah balasan terakhir dari Nindi, tidak ada chat lagi.

Lagi, Nadia harus mengorbankan kepentingan anak-anak di sekolah. Meskipun tidak wajib, tetapi bagi anak-anak itulah saatnya mereka menunjukkan kemampuannya.

Maafkan Mama, Nak. Maafkan Mama.

***

Bersambung.

Bisnis Bodong (Tamat)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon