62. Bab 62

42 10 0
                                    

Perjanjian telah mencapai kesepakatan seperti yang didiskusikan di rumah ibu Nadia malam itu. Sehari setelahnya Kak Nina langsung bertolak ke Bandung bersama anak-anaknya. Ia harus menyelesaikan urusan banding setelah Angga menjalani masa kurungan satu tahun. Menggunakan surat kuasa Nina dan Nadia, Nindi dan Bu Rosmia mengurus pergantian kepemilikan tanah masing-masing, dibantu oleh Rizal.

Sementara Nadia juga harus langsung kembali ke Batam sesuai dengan tiket yang telah dipesan Tama. Memikirkan tentang penjualan tanah itu, Nadia masih teringat pesan almarhum bapaknya.

"Bapak sudah membagi tanah di belakang menjadi tiga bagian. Kalau bisa gunakan untuk tempat kalian tinggal atau usaha. Dan kalau bisa jangan sampai dijual. Apa pun alasannya. Karena kalau sudah dijual ke orang lain, tidak akan ada lagi simbol orang tua di kampung halaman. Bapak paham, tidak semua anak Bapak akan tetap tinggal di sini. Kalian pasti akan ada yang akan tinggal jauh dari sini. Tanah dan rumah ini adalah titik di mana kalian bermula. Intinya jangan sampai melupakan Bapak sama Ibu."

Setelah Bapak berucap, lalu tangannya dengan lincah menandatangani semua berkas dan surat-surat yang sudah di namakan ke semua anak perempuannya. Untuk rumah utama, Bapak berpesan jika kedua orang tua sudah tidak ada, maka jadikan sebagai Museum keluarga. Kedua sudut kelopak Nadia terasa menghangat. Ada riak-riak yang mengoyak di dalam hatinya.

Namun, sejak hari terakhir di rumah Ibu, Nadia masih belum mendapatkan kabar tentang kejelasan surat kepemilikan tanah yang dipindah namakan padanya. Berkali-kali mencoba menanyakan hal tersebut kepada Bu Rosmia dan Nindi, jawabannya selalu tidak terarah. Apalagi jika bertanya pada Kak Nina, pasti akan selalu memutar keadaan.
Nadia kembali lelah dengan sikap keluarganya setelah Bapak pergi.

Apa mereka betul-betul sudah berubah ataukah ada pengaruh dari pihak luar? Entahlah.

Pikirannya terus saja melayang pada permasalahan dengan keluarga besarnya. Walaupun raganya masih tetap siaga mengerjakan tugas sebagai seorang ibu dan istri.

"Nadia, aku mau bicara." Tama tiba-tiba datang dari arah pintu depan, tampak serius.

Anak-anak masih sejurus di depan laptop, membuka link kelas robotik yang diikuti. Tama mengarah ke kamar tidur utama, diikuti Nadia.

"Mas, kok, pulang? Ada apa?"

"Apa ini?"

Tanpa menjawab pertanyaan Nadia, Tama memburunya dengan memperlihatkan sebuah pesan di ponsel yang ia pegang. Beberapa detik Nadia memicing. Kemudian Tama menyodorkan ponsel itu, karena ia sadar istrinya tidak dapat melihat dari jarak jauh.

Beberapa bongkahan timah panas serasa menghujam dada dan kepala Nadia saat itu, degupan di dalam sana terasa menonjok. Hatinya terasa akan anjok ketika membaca pesan tersebut. Pesan yang dikirimkan oleh bagian admin sekolah Arkan yang lama ke nomor di ponsel Arkan. Ia tidak menyangka jika admin sekolah akan mengirimkan informasi itu ke nomor Arkan.

[Pagi, Mom. Untuk dokumen kelengkapan perpindahan Arkan sudah diproses dan sudah dikirim via email. Untuk dokumen fisiknya, bisa kami kirim ke alamat tinggal Momi.]

[Silahkan menghubungi kami jika ada pertanyaan. Ada data yang perlu Momi tanda tangan untuk pelaporan pemindahan beasiswa Arkan. Mohon dikirim kembali berkasnya jika sudah ditandatangani. Terima kasih.]

Gemuruh di dalam sana semakin bergejolak, bergulung-gulung seperti ombak menghantam karang. Sesaat napasnya tersendat, oksigen seperti melenyap. Nadia tidak sanggup melihat wajah Tama.

"Kamu tau sekarang, coba jelaskan." Suara Tama terdengar dingin dan seperti sedang membekam amarah.

"Ini, info dari sekolah." Nadia menjawab dengan suara hampir punah.

"Iya, aku tau itu informasi dari sekolah. Pelaporan beasiswa, itu beasiswa gimana maksudnya? Kami daftarkan Arkan jalur beasiswa? Kalo gitu uang pembayaran SPP tidak semuanya disetor ke sekolah, kan?"
Nadia semakin tidak tahu harus menjawab apa.

Apakah mungkin ini saatnya ia berterus terang pada sang suami?

"Iya, aku tabung." Entah, tiba-tiba tercetus kalimat itu dari otak Nadia.

"Oke, ditabung, gak masalah. Asal nanti kalau kita butuh untuk keperluan anak, harus ada. Dan satu lagi, Tolong jelaskan apa ada hubungannya kejadian yang Arkan alami dengan beasiswa itu?"

"Rasanya tidak ada, Mas. Itu kejadiannya sudah diatasi sekolah dan tidak mereka sebar ke pihka luar, begitu juga ke orang tua." Isi kepala Nadia sudah semakin kacau. Ia meracau sekenanya.

"Nadia, kamu tau aku tidak suka bohong dan dibohongi. Bisa jelaskan dengan jujur?"

"Aku gak bohong, Mas." Nadia tetap menyangkal.

"Guru Arkan, Bu Vania menelepon ke nomor Arkan." Hanya itu kalimat penegasan dari Tama, tetapi cukup membuat Nadia mati kutu.

Mulutnya terasa terkunci, sudah tidak ada alasan lagi untuk mengeluarkan pembenaran atas kesalahannya.

"Aku harus kembali ke kantor, nanti kita bicara lagi."

Tanpa sedikitpun menoleh ke arah istrinya yang tengah tegang kebingungan, Tama langsung memburu pintu depan. Meski singkat, ucapan Tama mengenai Bu Vania cukup memberikan penjelasan bagi Nadia. Ia sudah bisa menebak topik apa yang Bu Vania sampaikan pada Tama.

Nadia mengusap wajahnya kasar, mondar-mandir tidak jelas dengan perasaan gugup. Ia tahu betul Tama sedang marah, sangat marah. Kali ini sudah bisa ditebak semarah apa suaminya itu.

Namun demikian, Tama tetap tidak menunjukkan suara tinggi ataupun berlaku kasar setiap kali menemukan istrinya melakukan kesalahan. Sebelumnya, saat di awal tahun pernikahan, mungkin di lima tahun pertama. Banyak hal yang harus Nadia sesuaikan dengan adat, budaya, kebiasaan sang suami, begitu juga sebaliknya. Kebiasaan Nadia semasa melajang kadang masih suka dilakukan.

Sepertinya kali ini kemarahan Tama tidak akan sama dengan sebelumnya. Nadia terus berpikir bagaimana ia harus menjelaskan semuanya pada sang suami saat kembali dari kantor nanti. Ia tidak akan tahan kalau akan mendapat hukuman "silent treatment" dari Tama. Sebab seperti itulah jika Tama sedang marah, lebih baik diam dan menjauh untuk beberapa saat sampai keadaan membaik, tetapi kali ini Nadia harus bekerja lebih keras untuk dapat mengembalikan keadaan menjadi normal.

Jemari Nadia lincah mencari-cari barangkali ada pesan yang masih tertinggal yang membahas soal kejadian itu dengan Bu Vania, di ponsel Arkan yang masih ia genggam.

Kosong!

Artinya, tidak ada history percakapan via pesan dengan Bu Vania di ponsel Arkan. Ia mengecek daftar panggilan masuk, ada beberapa kali nomor sekolah dan nomor Bu Vania sendiri. Hanya satu kali yang terangkat, mungkin saat dering terakhir itulah Tama mengangkat panggilan.

Hari saat Nadia lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta menuju Batam. Pihak sekolah dan guru wali kelas Arkan terus berusaha menghubungi nomor Nadia. Sebab tidak ada jawaban setelah beberapa kali, maka mereka mencoba menghubungi nomor Arkan yang memang terdaftar di data siswa.

Sudahi kebohongan ini, Nadia! Atau lama-lama kamu bisa gila.

Nadia makin putus asa. Hatinya terus menggemakan zikir, agar sedikit meluruhkan sesak yang kian mendesak dan gelisah yang tak bisa dibantah.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang