56. Bab 56

47 9 0
                                    

Di tengah menikmati makanan kesukaannya, notifikasi pesan masuk saling bertubi-tubi. Sejak turun dari pesawat, seharian itu ia belum membuka ponsel untuk mengecek pesan-pesan yang pasti sudah ratusan.

Dilihatnya daftar chat itu satu per satu. Di sela beberapa pesan customer, ada pesan dari sang ibu.

[Nad, kamu sudah sampai di Batam?]

[Ibu hanya mengingatkan aja, untuk pelunasan cicilan masih berjalan, ya.]

[Jangan sampai lupa atau tersendat. Ibu tidak mau menanggung risiko kalau rumah ini sampai tersita.]

Mie lendir yang semula terasa nikmat, tiba-tiba berubah rasa. Entah mungkin mood Nadia saja yang berubah setelah membaca pesan itu. Ia tak berselra juga untuk membalas saat itu. Sebaliknya malah menyibukkan diri menyuali Arkan dan Jodi. Ibu dua anak itu menatap penuh bersalah pada sang suami yang tengah lahap menyantap seafoos gonggong.

"Gak diabisin, Sayang?" Tama mengalihkan perhatian dari mangkuknya ke arah Nadia yang tiba-tiba sibuk menyuapi. Biasanya ia akan fokus dengan kegiatannya, terlebih saat makan.

"Kenyang, Mas."

"Tumben, biasanya sama bingka masih masuk." Tama mencoba mengingatkan masa dulu Nadia yang tak bisa menahan nafsu makan bingka dan mie lendir.

"Dulu mah beda, Mas. Sekarang bawaannya enek kalo makan banyak." Nadia ngeles.

"Mau dibungkus aja kah bingkanya?"

"Boleh."

Tama tersenyum simpul mendengar Nadia tak menolak kue kesayangannya itu.

"Gimana ayam bakarnya boys?" Tama menatap dua lelaki gantengnya seraya tak henti mengunyah kerang-kerang yang sudah terlepas dari kulitnya.

"Sooo good!" Keduanya mengacungkan ibu jari. Lalu kembali melanjutkan santapannya hingga tak bersisa.

Udara khas musim kemarau menerpa lapisan kulit, terasa begitu mengganggu karena embusannya yang kencang. Ya, seharusnya ini sudah masuk musim kemarau, tetapi tiba-tiba cuaca menjadi mendung dan kadang masih turun hujan padahal terhitung akhir juni musim penghujan sudah berhenti.

Entahlah, seperti mood manusia, semesta pun rupanya mempunyai mood berubah-ubah. Senja semakin melenyap, gelap mulai menaungi langit cerah Batam malam ini.

Arkan dan Jodi sudah tampak kelelahan dan mengantuk. Mereka tertidur dalam perjalanan menuju rumah tinggal.

"Semoga suatu saat bisa beli rumah sendiri, ya, Mas."

"Aamiin. Rumah ini saja tidak haris membayar sewa karena untuk level manajer ke atas akan diberikan dormitory sebuah rumah untuk keluarga."

"Iya, tapi, kan, kita tidak muda terus dan mungkin suatu saat kkta tidak bekerja lagi. Kita butuh tempat tinggal yang tidak berpindah-pindah."

"Insyaallah, Sayang." Ada banyak hal yang sudah Tama rencanakan di kepalanya. Namun, untuk realisasinya membutuhkan waktu tidak sebentar.

Mungkin Tama seorang yang terlalu pemikir, sehingga lama untuk membuat keputusan. Terkhusus untuk masalah keluarga. Berbeda dengan urusan pekerjaan, biasanya ia adalah orang yang paling dicari dan ditunggu dalam membuat keputusan.

"Capek, Mas, pindah-pindah terus. Mana kita juga tidak tahu berapa lama rumah yang akan dikontrak itu kosong. Selama ini aku menahan rasa takut, setiap kali pindah rumah kontrakan. Aku gak tega sama anak-anak, Mas. Tapi mereka tidak pernah protes selama mereka tinggal dengan mamanya."

"Ya, aku paham. Makanya aku selalu menyarankan untuk mencari perumahan di komplek ynag ada security-nya. Karena aku juga memikirkan keselamatan kalian."

"Bukan cuma takut orang jahat atau ancaman manusia, tapi ancaman binatang atau ada sesuatu di rumah itu."

"Maksudmu hantu?"

"Ih, kamu, kok, gak pela ke sana, loh." Nadia mengerucutkan bibirnya.

Tama dibuat terbahak dengan pernyataan yang mengejutkan baginya. Meskipun ia membenarkan hal yang diungkapkan Nadia, tetapi dalam logika Tama hal itu tidak ada. Binatang mungkin saja, kalau hantu?
Dalam jeda obrolan, Tama kembali terbahak.

"Kalo takut Hantu, kenapa gak cari asisten untuk nemenin kamu dan anak-anak?" Tama menyentuh dagu sang istri dan meremasnya gemas.

Ah, Mas Tama tidak tahu saja kalau dana untuk asisten itu lebih baik kugunakan untuk membayar cicilan. Sayang, kalo hanya untuk membayar orang. Sementara aku pun masih bisa kerjakan sendirian.

Nadia kembali lagi memikirkan tentang cicilan yang menjadi tanggung jawabnya. Mengingat tentang hal itu, ia merasa diingatkan juga dengan pesan Bu Rosmia yang ia terima saat makan tadi.

"Dahlah, Mas. Udah terlanjur."

"Lagian, kan, sekarang kalian sudah di sini. Aku pastikan kalian aman."

"Maunya untuk seterusnya, gak ada bolak-balik lagi. Kadang itu juga membuat aku bingung."

"Bingung gimana?"

"Bingung aja, kalo gak punya tempat tinggal. Rasanya sedih aja, ada suami tapi seperti sendiri aja. Tiap ada masalah anak di sekolah atau masalah di rumah, semua aku yang mikir sendiri dan selesaikan sendiri. Tidak semua masalah yang aku hadapi itu bisa diselesaikan dengan meminta bantuan orang lain. Aku bener-bener capek, Mas."

Nada bicara Nadia mulai bergetar. Ada gemuruh di dadanya dan sudut kelopak mulai menyembulkan air hangat. Hidungnya pun mulai ditumpahi lendir. Ia mengambil selembar tisu di box yang terpajang di dasbor mobil.

Tidak terdengar lagi suara dari Tama. Ia hanya mendengar dan melihat sang istri yang mulai emosional. Di sela konsentrasi menyetir, Tama menyentuh dan menepuk lembut pundak Nadia.

"Aku sayang banget sama kalian. Aku gak pernah mikirin apa pun yang lebih berat dari kalian. Setelah mendapat rumah tinggal ini, aku memang berencana membawa kalian di sini. Dan untuk pertanyaanmu kemarin tentang menjalankan bisnis keluarga, aku tidak seulet Mas Sena. Selain itu, aku ingin punya istana sendiri dengan keluarga kecilku."

Hyundai GLX biru electric mulai menyusuri jalanan komplek. Perumahan karyawan di perusahaan Tana bekerja. Rumah yang hampir serupa model dan warnanya berjejer rapi dengan jalan utama yang dipaving. Terlihat bersih dan rapi.

Saat Nadia masih bekerja di perusahaan tersebut, dormitory untuk staff masih sangat sederhana. Setelah beberapa tahun perusahaan ganti kontrak dengan developer yang baru, mereka memindahkan dormitory ke lokasi dan tempat yang lebih baik.

***

"Aku akan mengajukan cuti minggu depan, hak liburanku masih ada satu minggu lagi. Aku rasa seminggu cukup untuk kuajak kalian berkeliling di sini."

Napas Tama memburu dan terdengar kepayahan, setelah mengangkat kedua jagoan kecil yang tertidur. Ia tidak ingin mengganggu tidur mereka. Bayangan-bayangan seperti itu kembali mengetuk ingatan Nadia.

Hal serupa sering terjadi jika Nadia mengajak keduanya jalan-jalan. Lalu, dengan susah payah harus mengangkat satu per satu, atau dengan setengah tega ia harus membangunkan Arkan yang lebih besar. Beruntung setiap sopir yang Nadia pesan via aplikasi online tidak merasa keberatan dengan hal itu.

Setelah mengunci pintu, Tama segera merengkuh sang istri ke dalam dekapan. Lama dan penuh kerinduan. Sementara Nadia merasakan keharuan yang begitu dalam.

"Jangan nangis, dong. Malam pertama, nih." Tama mulai mengeluarkan godaan garingnya.

"Mas, apaan, sih." Dengan wajah malu-malu ia menepis tangan Tama.

"Mumpung anak-anak tidur," goda Tama lagi.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now