73. Bab 73

44 10 0
                                    

Lala dan Dina masih asyik dengan obrolan sambil menikmati cemilan saat terdengar gemuruh keramaian di depan jalan Braga. Seketika semua pengunjung kafe gegas memburu pintu entrance demi melihat yang terjadi.

"Burukeun, ambulan, ambulan!" Seseorang terdengar berteriak.

"Eta amankeun dulu perutnya." Seorang yang lain tak kalah terdengar panik.

Sementara semua yang berkerumun saling berjejal-jejal, membuat si korban makin sesak.  Beberapa di antaranya tak lupa mengekspos dalam rekaman video.

"Ada apa Kang?" Dina bertanya ke salah satu warga yang ikut berkerumun di sana.

"Ada yang kena tusuk, Teh."

Seketika Lala mencengkram lengan Dina sekuat mungkin. Keringat dingin mengucur seiring gemetarnya seluruh sendi yang terasa dilolosi. Debaran hati seperti ditabuh gagang gong, terhentak-hentak.

Dina memindai pandangan ke sisi kirinya, di mana Lala berdiri dengan mencengkram lengannya.

"La!" Dina segera merengkuh karibnya dan memapah kembali ke dalam kafe.

"Balik, Din. Aku pusing." Wajah puith Lala kian memucat. Kilasan kejadian yang ia alami melesat-lesat dalam tempurungnya.

"Hayu. Maneh tenang dulu, ya."
Setelah berada di dalam mobil, pandangan Lala masih terus menelisik tempat tersungkurnya korban penusukan tadi. Ambulance telah mengevakuasi korban, bercak darah yang menciprat masih tercecer di atas trotoar.

"La, hampura. Gara-gara aing maksa ke sini, jadi ingetin kamu ke kejadian dulu. Apalagi ada kejadian tadi." Dina meremas jemari Lala yang terasa dingin. Sementara sebelah tangannya fokus mengendalikan kemudi, membelah jalanan kota Kembang.

Menyusuri label kenangan, sekaligus menjadi pengajaran menuju waktu yang terus memburu.

***

"Sayang, bisa sedikit lebih cepat, gak?" Tama kembali berseru saat Nadia masih sibuk memoles diri di dalam kamar. Berkali-kali ia melirik penunjuk waktu di layar ponselnya.

Tak sabar menunggu gerak yang istri yang dirasa sangat lambat hari ini, Tama pun segera menuju kamar. Alangkah terkejutnya putra kedua Senopati Joyo Sasongko, saat dilihatnya Nadia masih berguling manja di balik selimut. Sebelumnya Nadia memang sudah berpakaian rapi, tetapi entah kenapa tiba-tiba saja hatinya urung melanjutkan untuk ikut sang suami.

"Loh, kukira sudah siap. Kok, malah rebahan. Ayo sudah telat, nih." Tama seperti merasa tidak enak jika terlambat.

Hari ini perusahaan tempat Tama mencari nafkah mengadakan pesta tahunan. Terkhusus divisi yang Tama bawahi berhasil meraih pencapaian melebihi target. Jadi, untuk semua tim wajib hadir.

"Aku gak jadi ikut." Nadia seketika berubah menjadi anak-anak yang kesal karena maninannya diambil.

"Kenapa, sih? Kok, tiba-tiba. Ayolah, aku udah telat. Gak enak sama yang lain."

"Emang harus banget, ya ikut? Biasanya kamu gak pernah datang ke pesta tahunan." Nadia masih bersikap yang tak dimengerti Tama.

"Nad, kamu kenapa, sih?"

"Gak apa-apa. Kamu datang karena pendamping di kantormu itu, kan? Makamya gak enak kalo telat. Iyalah, kan harus terlihat sempurna di mata sekertaris cantikmu."

Rupanya Nadia masih terus memendam kekesalan dari kejadian yang lalu. Terlebih saat mengingat video call, ia melihat wajah perempuan itu. Laras, ya, Laras!

"Ya, ampun, Nad. Itu udah lama banget berlalu. Aku udah gak inget apa-apa. Lagian aku fan Laras tidak ada hubungan lain selain kerjaan."

"Iya, gak ada hubungan lain selain kerjaan. Sampai harus diantar pulang."

"Bukan gitu, Nad. Ceritanya, tuh, gak seperti yang--"

"Gak ada alasan bagi seorang laki-laki mengantar rekan kerja wanita kalo gak ada maksud tertentu. Apa pun alasannya, pulang bareng itu tidak bisa diterima akal sehat. Apalagi tempat tinggal yang beda arah."

"Kita habis rapat waktu itu. Selesai malam. Dia ketinggalan bis karyawan. Hanya itu!" tegas Tama.

"Naik taksi online lah. Jangan cari alasan dan pembenaran."

"Apa kamu tidak merasa kasihan, coba kalau kami diposisi dia."

"Gak peduli!! Kuulangi, gak peduli!" Nadia makin menjadi.

"Kamu masih cemburu sama dia?"

"Kamu nanya, kamu bertanya-tanya. Pikir aja sendiri! Dan aku gak jadi ikut." Nadia geram seraya menunjukkan wajah penuh ledekan yang serius. Ia mengikuti gaya seorang influencer yang mendadak viral akhir-akhir ini karena berhasil membranding dirinya dengan jargon khas bertanya-tanya itu.

Tama berdiam, menjeda dirinya dari perdebatan yang tak mungkin ia menangkan. Lalu, bergerak menuju pintu depan. Ia menyerah dan bermaksud pergi tanpa ditemani Nadia. Di balik pintu depan, ia tertegun sejenak. Langkahnya kembali terayun ke dalam rumah, menuju kamar di mana sang istri masih memendam kedongkolan. Tama berdiri di ambang pintu kamar dan disambut tatapan kekesalan Nadia.

"Ayolah, temani aku." Tawa Tama hampir meledak melihat mimik wajah istrinya yang dilanda cemburu itu.

"Oh, jadi aku diajak sebagai pendamping, bukan dianggap istri? Buktikan kalo kamu gak takut datang terlambat hanya karena ingin berkesan di mata dia."

"Ya, ampun, Nadia. Cemburumu kelewatan. Ya, tetap sebagai istriku lah. Apa aku salah kalo aku marah karena kamu bohong sama aku waktu itu?" Tama kini berjongkok, menyetarakan pandangan dengan Nadia yang duduk di kasur.

"Jadi, kalo kamu marah sama aku, terus jalan sama wanita lain itu normal? aku memang kelewatan tapi setidaknya aku tau caranya minta maaf."

Akhirnya tawa Tama meledak. Ia mencolek hidung sang istri gemas.

"Jadi, kamu mau aku minta maaf karena itu. Kan, aku gak ada hubungan apa-apa sama dia. Ngapain minta maaf?" Lelaki yang sudah mengenakan seragam tugasnya itu terkekeh.

Perlahan bulir bening di kelopak mata Nadia meluruh, melintasi dinding halus pipinya. Hatinya betul-betul sesak. Bukankah semua istri memang tak mudah melupakan, meski cepat memaafkan?

Sebetulnya Nadia pun sudah memaafkan dan tak mempermasalahkan lagi rekanan antara Laras dan Tama, tetapi sekali-kali wajar kiranya jika seorang wanita menuntut lelakinya meminta maaf.

"Oke, aku minta maaf, ya. Hanya karena perkara ini aja, kita harus terlambat datang. Nadia." Tama menjawil pipi istrinya seraya masih terus terkekeh.

"Secinta itukah kamu sama aku?" Tama mencoba membercandai perempuan yang menggemaskan hatinya itu.

"Mas Tama!"

Tama malah makin tidak bisa menahan tawa.

"Ayolah, please."

Akhirnya Nadia pun menyerah dan beranjak membenahi diri, lalu mengikuti langkah Tama menuju mobil.

"Love you." Tama berbisik di tengah konsentrasinya mengemudi.

Nadia bergeming. Ujung hidungnya masih bersemu kemerahan karena menangis tertahan. Sedikit kelegaan memenuhi rongga dada dengan perlakuan Tama. Terkadang kepekaan yang disertai kejantanan dengan meminta maaf adalah hal sederhana yang istimewa. Buku-buku di setiap kepak rasa, akan terjaga dan terus bertumbuh dengan indah. Sayangnya, tidak semua lelaki mempunyai kepekaan yang tajam.

Setiba di halaman parkir tempat kerja Tama, tampak beberapa mobil sudah berjejer. Mobil yang diparkir khusus di tempat VIP adalah perhatian utama Tama, karena untuk memastikan apakah semua jajaran direksi telah hadir. Bagi seorang lelaki dengan posisi seperti Tama, jelas dedikasi penuh pada perusahaan itu hal utama. Namun, tetap harus mengaku kalah jika sudah berdebat dengan perempuan, terutama sang istri.

Celakanya, dalam hal ini memang Tama lah yang kurang peka.

***

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now