65. Bab 65

44 10 0
                                    

Rasa yang semula menggebu untuk berbicara  kepada Tama, kini menguap begitu saja. Nadia paham jika dirinya membuat lelaki Jawa - Bugis itu kecewa, tetapi haruskah ia membalas sang istri dengan cara yang tak pernah Nadia duga? Bukankah Tama tahu jika Laras adalah kecemburuan utamanya?

Beragam pertanyaan dan penasaran kian erat bersahabat, Nadia makin giat mengingat-ingat hal paling melekat tentang permpuan yang auranya tidak ada obat. Laras!
Dalam perjalanan takdir, perlahan pikiran dan perasaan sepakat untuk membuat sekat antara masa lalu dengan hari saat saling mengikat.
Berharap semua akan menjadi berkat.

Namun, Nadia sepertinya harus membayar mahal atas semua kebohongan yang ia tutupi selama bertahun-tahun di belakang Tama. Sesal itu kembali menyergap tanpa tiarap. Terus tegap meremas-remas dada yang kian pengap. Niat untuk mempertahankan dan mengembalikan keadaan menjadi membaik pun rasanya hanya keinginan usang yang malas diulang. Lantas, haruskah Nadia bertahan?

Saat Tama memasuki pintu utama setelah memarkirkan mobil, tak ia jumpai Nadia di ruang TV bersama anak. Biasanya ia lebih depan menyambut saat Tama pulang kerja, hari ini hanya ada Arkan dan Jodi berdua.

"Assalamualaikum," sapa Tama, membuat kedua lelaki kecil itu memindai pandangan.

"Ayah!" seru keduanya.

Sebetulnya pupil cokelat terang milik Tama mengitari seluruh ruangan, mencari keberadaan Nadia. Meskipun masih dalam keadaan marah dan kecewa, tetapi tetap tak mengurangi rasa sayangnya kepada sang istri.

Hati Tama mulai menapak jejak beberapa menit yang lalu saat melakukan video call dengan Nadia. Sedikitnya rasa bersalah itu membuncah, tetapi saat itu ia sama sekali tidak berencana apalagi sengaja mengantar Laras pulang ke dormitory. Ditambah lagi dengan kebodohan lainnya, kenapa harus video call?

"Kalian sudah makan?" Tama memastikan jika Nadia masih tetap memerhatikan kedua jagoan kecilnya meskipun tengah dilanda gulana.

"Sudah, Yah. Makan mie goreng spesial buatan Mama." Arkan menjelaskan dengan wajah semringah.

"Enak, Yah," timpal Jodi.

"Good. Sekarang lanjutkan kegiatan kalian, ya."

Tama meneruskan langkah menuju tempat tidur. Ia yakin Nadia berada di balik selimut tebal dan menutup seluruh tubuhnya. Biasanya seperti itu hal yang dilakukan perempuan Sunda - Tionghoa itu saat merasa kesal.

"Ah, benarkah ia kesal? Bukankah seharusnya aku yang marah?"

Tama tak ingin mengganggu acara semedi Nadia di dalam selimut. Lagipula ini belum waktunya untuk berbaikan, Tama harus memberi pelajaran dulu kepada Nadia upaya peka dengan kesalahan yang ia lakukan.

"Lagian aku tidak mempunyai niat apa pun pada Laras." Tama meyakinkan dirinya.

Diam.

Hening.

Embusan napas yang membuat suasana menjadi makin panas di dalam selimut tebal. Nadia berusaha bertahan untuk tidak menampakkan kepala. Dari balik selimut ia menyusurr gerak Tama dengan indera pendengarannya.

Tak lama terdengar dering panggilan berbunyi dari ponsel Tama. Nama Sena muncul seiring layar yang berkedip.

"Assalamualaikum. Tadi menelepon kah? Maaf tidak terjawab." Tama menengok ke arah Nadia terbaring, ia sadar suaranya akan menggangu istirahat sang istri. Lalu gegas melangkah keluar.

Sementara Nadia makin menajamkan pendengaran, cara Tama berbicara membuat daftar tanya makin panjang di otak perempuan yang memiliki radar seperti rusa.

"Gimana, Mas? Maaf tadi ada rapat tambahan di kantor." Setelah menemukan sudut yang pas untuk bicara, Tama melanjutkan percakapan dengan sang kakak.

"Tam, keadaan pernikahanku dengan Indah semakin tidak baik. Makin hari ia makin dingin dan selalu berusaha menutup komunikasi. Aku bingung, Tam. Aku jadi makin malas pulang."

"Sekarang Mas Sena di mana? Sedang tugas kah?"

"Aku baru saja selesai tugas, lalu mengecek bebek-bebek. Sekarang aku lebih sering menghabiskan waktu di peternakan dengan Anita dan Dion. Menginjak rumah Mama rasanya sudah tidak ada gairah. Suram dan kaku."

"Anak-anak gimana, Mas?" Alih-alih memberikan nasihat atau menimpali dengan jawaban yang mungkin akan menyinggung kakaknya, Tama lebih ingin tahu keadaan keponakannya. Raja, Ratu dan Dion.

"Dion sehat Alhamdulillah." Sena menjeda kalimat dan menarik napas dalam. Tama setia menunggu lanjutan ceritanya tanpa memotong. "Kalo Raja dan Ratu agak sulit berkomunikasi denganku sekarang."

Rasanya adalah hal yang wajar jika Indah bersikap dingin. Hati perempuan yang rapuh tanpa tersentuh, karena beban rasa yang melebihi logika. Namun, jika hal yang Sena jalani sampai melibatkan anaknya menjadi tidak berhubungan dengan ayah mereka, rasanya ada yang keliru. Tama mulai memunculkan tuduhan di kepalanya kepada Indah.

Denyutan di seputar kepala Tama terasa makin kencang. Belumlah urusan dengan Nadia menemukan benang merah, kini harus ikut berpikir demi memberikan simpati kepada sang kakak. Kalau boleh jujur, sebetulnya Tama setuju dengan Indah. Keputusan Sena menikah lain dengan Anita adalah tutorial membebani dan menyusahkan diri sendiri dan keluarga. Tama menggeleng.

"Sebetulnya aku telepon bukan untuk membahas rumah tanggaku, tapi ada hal penting tentang peternakan, Tam."

"Kenapa, Mas?"

"Kita sepakat kalau untuk urusan pemasaran online akan kamu pegang, meskipun tidak berada di Surabaya. Aku ingin membicarakan hal itu lebih serius, Tam. Perhitungan untuk dana promosi, akan aku serahkan sama kamu. Karena aku sudah terlalu penuh. Daripada merekrut orang dari luar, kita coba melakukannya bersama."

Ungkapan Sena membuat pikiran Tama seketika tertuju pada Nadia. Ia tahu betul jika istrinya sangat lihai dalam hal yang berkaitan dengan jualan online.

"Akan aku pikirkan caranya, Mas. Aku hanya butuh waktu untuk mempelajari pemasaran online."

"Gimana dengan Nadia? Aku pernah dengar, dia sudah lama menggeluti dunia jualan online."

"Tidak masalah. Nanti aku bicarakan dengannya."

"Oke, Tam. Aku harus memastikan kandang tertutup rapat dan gerbang terkunci. Ini sudah waktunya para pekerja pulang."

"Yapp siap. Salam buat Mama. Sabar dulu dengan sikap Mbak Indah, jangan ambil keputusan gegabah, Mas."

Sena tentu paham maksud sang adik. Keduanya saling berucap salam sebelum percakapan berakhir.

Tama kembali ke kamar untuk segera memburu kamar mandi dan membersihkan diri. Di dalam selimut yang masih membalut tubuh mungil itu, pikiran Nadia terus berkelana mengingat percakapan melalui telepon yang Tama rahasiakan tadi.

Perlahan Nadia menyingkap selimut, ia menyembulkan kepalanya. Celingak-celinguk, memastikan tidak ada Tama yang akan memergokinya. Tidaklah sulit bagi Nadia menemukan di mana ponsel sang suami, karena selalu menyimpannya di atas kasur sebelah Nadia berbaring.

Berhasil! dengan cekatan Nadia membuka kode kunci layar ponsel Tama. Rasa penasarannya kian menggila. Ia langsung menuju daftar panggilan. Jemarinya baru saja akan menekan tombol hijau di layar bagian depan, saat terdengar pintu kamar mandi terbuka.

"Shit! cepat sekali dia mandi." Gumam Nadia.

Gegas Nadia mengembalikan ponsel ke posisi semula dan menangkupkan kembali selimut ke seluruh tubuhnya.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon