28. Bab 28

47 9 0
                                    

Pendapatan tambahan nadia sebagai customer service online ikut menurun. Grafik penjualan menukik tajam. Bahkan produk lainnya sama sekali tidak ada penjualan. Mati total.
Banyak produk yang ia berikan secara gratis kepada driver ojek online saat ia memesan makanan dari aplikasi.

Alih-alih memberi tips tambahan uang, Nadia membagikan 1 produk pada setiap driver, daripada mendekati masa expired dan masih banyak total produk yang belum terjual.

Meski dalam keadaan darurat secara global, tetapi Nadia bukanlah tipe orang yang mengikuti kepanikan secara berlebihan seperti masyarakat yang hebohnya luar biasa. Hal terpenting saat ini adalah menjaga kebersihan lingkungan dan mengikuti anjuran dengan penuh kesadaran.

"Arkan, itu makanannya sudah sampai. Bisa diambil, Sayang." Nadia memperingati sulungnya yang tengah asyik dengan permainannya.
Seketika Arkan meletakan ponsel dan gegas menuju pintu depan untuk mengambil pesanan yang diantar. Dari dalam, Nadia sudah memberikan 1 kantong plastik berisi produk jualnya.

"Ini berikan sama bapaknua, ya, Sayang." Arkan langsung menyambar kantong plastik itu.

"Ini ya, Dek. Awas, hati-hati, agak berat." Terdengar si bapak driver mengingatkan Arkan.

"Ini buat Bapa." Arkan menyodorkan bungkusan yang digenggamnya.
"Makasih, Dek. Makasih, Bu." Si bapak berseru dari balik pintu.

"Iya, Pak sama-sama. Hati-hati, Pak." Nadia menyembul ke arah pintu, terlihat bapak driver dengan pelindung lengkap itu berlalu.

"Arkan kenapa? Ayo makan." Nadia sedikit heran melihat sulungnya yang tiba-tiba merubah raut wajahnya.

"Ayah kapan pulang, Ma?" Pertanyaan yang sama sekali tidak pernah Nadia duga akan terlontar dari mulut anaknya, karena sepanjang tahun ke belakang anak-anak itu tidak terlalu memberikan perhatian dengan atau tanpa ayahnya.

"Belum tau, Sayang. Nanti sehabis makan kita telepon Ayah, ya."
Arkan pun mengangguk, sementara Jodi hanya menyimak dan sudah tak sabar ingin segera melahap santap malamnya.

Banyak sekali perubahan yang perlahan Nadia temukan pada perkembangan anak-anak dan juga leadaan sekitar. Mungkin karena ridak terlalu banyak kegiatan, jadi semakin paham dan terlihat apa yang dikerjakan sehari-hari. Mungkin juga salah satu pengaruh dari aneka tontonan yang banyak menampilkan keseruan antara anak lelaki dan ayahnya.

Nada sambungan terdengar jelas saat Nadia mengaktifkan pengeras suara ponsel, hanya supaya anak-anak bisa berbicara juga dengan ayahnya. Namun, hingga nada sambung berakhir, panggilan itu tidak terangkat.

"Mungkin Ayah sibuk, Nak." Nadia mencoba memberi pengertian saat dilihat raut wajah keduanya tampak kecewa.

"Nanti dicoba lagi, ya."

"Oke, Ma." Tak berlama-lama memendam kecewa ledua bocah itu pun segera beralih pada ponsel masing-masing.

Sementara Nadia mencoba berkirim pesan pada Witama untuk meninggalkan jejak dan memberinya kabar jika anak-anak ingin berbicara.

"Ma, apa ada homework?" tanya Jodi sebelum memulai permainan.

"Iya, Sayang ada yang belum diselesaikan tadi siang. Punya Arkan satu lagi, punya Jodi ada dua lagi. Nanti sebelum tidur diselesaikan dulu, ya, Sayang."

"Oke, Mama." Mereka menjawab kompak.

Di situasi seperti ini, justru perhatian semua orang terfokus apda media sosial. Apalagi yang bisa dilakukan selama tidak banyak pekerjaan yang dilalukan selain berselancar di media online. Begitu juga Nadia. Tugas rumah yang nampak menggunung, ternyata bisa diselesaikan dalam waltu tak lebih dari setengah hari.

Lama menunggu balasan dari Tama tak kunjung bersarang, apalagi menghubungi kembali. Masih sepi, bahkan pesan yang Nadia kirim masih belum terbaca. Sementara keterangan status whatsapp Tama, terakhiir dilihat beberapa menit lalu. Artinya lelaki itu sempat membuka aplikasi pesan itu.

Pertanyaan demi pertanyaan mulai menggerogoti, tak dipungkiri ada gemuruh tidak karuan yang dirasakan Nadia. Sesibuk itu kah? Sehingga tidak sempat membaca pesan dari sang istri walaupun beberapa detik lalu ia online.

Tak sabar, Nadia akhirnya memutuskan untuk menelepon kembali. Belum sempat tombol call dipijit, tampak beberapa notifikasi pesan masuk berturut-turut dari nomor Bu Rosmia.

[Assalamualaikum, Nad. Ibu bingung sekarang harus gimana.]

Pesan itu terputus hanya di satu kalimat. Nadia mulai resah, mungkin ibunya akan menyampaikan tentang restrukturisasi utang dari bank dan pasti biayanya harus dibebankan semua kepada dirinya. Meskipun itu sudah biasa, tetapi tetap saja ada rasa was-was.

Tidak langsung membalas, Nadia menunggu pesan lanjutan dari ibunya.

[Ini tentang kakakmu, Nad. Tadi sore Ibu baru dapat kabar kalau Angga harus mengikuti pemeriksaan oleh pihak KPK. Ibu gak ngerti, itu untuk apa dan kenapa alasannya.]

[Maksudnya gimana, Bu? Memangnya Kak Angga terlibat sebuah bisnis atau hanya memgecek aset saja? Ibu tenang dulu, bukan berarti ada masalah. Mungkin hanya pengecekan, Bu.]

[Forward: Assalamualaikum, Bu. Nina minta doa Ibu dan keluarga. Kang Angga tiba-tiba dijemput paksa oleh sejumlah orang dan tadi sore baru dapat kabar katanya Kang Angga tidak bisa pulang dulu sampai semuanya jelas atau bahkan sampai putusan pengadilan karena bukti penyalahgunaan dana proyek, jejak kuatnya ada di Lang Angga. Ya, Allah, Ibu. Maafkan Nina.]

Deg!

Nadia teringat tentang pertanyaan Nindi mengenai alasan Kak Nina yang ingin menjual tanah warisannya. Nindi sempat meragukan jika hasil jual tanah itu murni untuk membeli kavling di sebelah rumahnya di Bandung.

Apa mungkin ada kaitannya dengan bisnis proyek itu? Nadia menebak-nebak.

[Lalu, bagaimana sekarang Kak Nina dan anak-anak, Bu?]

[Mereka hanya diharuskan menunggu kabar di rumah sambil terus mengikuti aturan pemerintah. Tidak boleh ke luar.]

[Ibu juga inginnya menengok ke sana, tapi keadaan sedang tidak memungkinkan. Makanya Ibu bingung.]

Nadia hanya terdiam. Entah harus menjawab apa.

[Nad, bisakah kamu tolong kakakmu?]

[Gimana nolongnya, Bu? Saya tidak tau soal itu.]

[Kakak iparmu, kan, polisi. Bisa minta tolong sama Sena, kakak Tama. Supaya bisa dibantu untuk dimudahkan atau dikomunikasikan atau bagaimana lah caranya. Kasian kakakmu dan Anak-anaknya yang membutuhkan Ayahnya.]

Nadia sedikit kesal dengan pernyataan terakhir Bu Rosmia, seolah-olah hanya anak-anak kakaknya saja yang membutuhkan ayah. Selama hidup terpisah jarak, memangnya anak-anak Nadia tidak butuh dekat dengan ayahnya.

Dalam keadaan seperti ini Nadia tetap harus berpihak pada keluarga kecilnya yang jarang sekali diperhatikan neneknya. Meskipun awalnya ia merasa iba dengan kabar yang menimpa sang kakak.

[Saya tidak tau menau soal itu, Bu. Solanya kakak Mas Tama itu orangnya sangat tegas dan jujur. Kalo ada sangkut pautnya dengan KPK, sepertinya Mas Sena memilih untuk menyerahkan ke pihak berwenang.]

[Katamu itu hanya pengecekan. Ya, jaga-jaga kalau ada apa-apa, kan, bisa minta dibantu. Gitu, loh! ]

[Kalau ada apa-apa, ya, nanti urusan sama pengadilan, Bu. Walaupun Mas Sena mencoba melobi orang di pusat, tetap saja tidak berpengaruh.]

[Ya, ampun, Nad. Mbok, dicoba saja dulu minta tolong. Siapa tau dia bisa. Kami jangan mengira-ngira sendiri. Sok, tau banget, sih.] Bu Rosmia sedikit emosi.

[Iya, Bu. Nanti saya kabari.]

Tak ingin berdebat terlalu panjang, Nadia segera mengakhiri berkirim pesan. Ia. Tahu jika ibunya mulai tak bisa diajak diskusi panjang.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now