63. Bab 63

40 8 0
                                    

Baru saja Tama duduk di balik meja kerjanya, ponselnya sudah mencari perhatian. Sayangnya, ia tidak bisa mengangkat panggilan itu karena Tama menyimpannya disaku jas dengan mode dibisukan. Sekitar sepuluh kali panggilan tak terjawab dari nomor sang kakak, Sena.

Beberapa saat Tama masih termenung dan masih ingin membuncahkan kemarahannya pada Nadia. Bahkna sejak ia menerima telepon dari Bu Vania. Hanya karena saat itu Nadia masih dalam perjalanan, ia menahan dan mengatur emosinya untuk diluapkan pada waktu yang tepat.

Tama memang selalu bisa menguasai emosi. Saat Nadia datang pun, Tama masih menahan dan tidak langsung memburunya. Namun, hari ini saat ditengah jam kerja, Tama sudah tidak bisa menahannya lagi. Sebab itulah saat jam istirahat ia langsung meluncur ke rumah untuk membuka bahasan sesuatu yang menggantung di otaknya.

Lelaki yang tak suka bau terasi itu hendak menurunkan jas kerjanya saat seseorang mengetuk pintu ruangnya.

"Masuk."

Seseorang berhijab putih dengan seragam bernuansa toska membuka pintu dengan menenteng tumpukan dokumen yang harus diperiksa dan disetujui sebelum ditandatangani Tama.

"Ada beberapa berkas yang harus diulas ulang, Pak."

"Oke, Ras. Ada info lain kah?"

"Oya, waktu Pak Tama keluar di jam istirahat, Bu Vita menyampaikan hari ini akan ada rapat tertutup dengan jajaran direksi. Sepertinya Owner akan datang dari Singapura, tapi kurang tau juga, sih."

"Oo, oke. Thanks, ya."

Perempuan berhijab putih itu membalikkan badan menuju pintu keluar ruangan. Laras, teman seperjuangan Tama saat bergabung di perusahaan itu. Mereka sama-sama melakukan masa orientasi di batch yang sama dan satu-satunya yang masih bertahan di saat teman sati batch lainnya telah mengundurkan diri atau berpindah ke tempat lain.

Saat Tama diberi kesempatan menduduki jabatan saat ini, ia menunjuk Laras untuk menjadi asisten atau sekretarisnya. Banyak yang menjodoh-jodohkan Tama dengan Laras karena keduanya sangat akrab dan dinilai cocok. Semua teman karyawan mengira memang di antara Tama dan Laras, gadis cantik asal Aceh itu menjalin kedekatan. Namun, tidak pernah ada satu pun antara keduanya yang menyatakan kebenaran hal tersebut.

Sampai suatu hari tiba-tiba Tama mengumumkan rencana pernikahannya dengan Nadia. Kepada Laraslah Nadia selalu menyimpan rasa cemburu terbesarnya. Meskipun Nadia tidak melihat kedekatan antara Tama dan Laras secara langsung. Perempuan yang berhasil Tama nikahi itu akhirnya melunak saat sekian tahun masa pernikahan, Tama menunjukkan keteguhan untuk menyetia. Sebetulnya Nadia masih belum mengetahui jika Laras dipilih Tama menjadi sekretarisnya.

Tama tampak mengurut dahi,  lantas menyambar telepon di atas meja kerjanya. Jemarinya lincah memijit nomor ekstensi sang pimpinan.

"Halo, Pak Tama." Suara khas Bu Vita menyambut di ujung sana.

"Bu, hari ini akan diadakan rapat jam berapa?"

"Sepertinya usai jam kantor, Pak. Karena ada keterlambatan kedatangan Mister Chang dari Singapura. Nanti akan diinfokan kembali."

"Baik, Bu. Terima kasih."

Obrolan singkat dan terdengar resmi itu pun berakhir. Bagi Tama rapat itu adalah hal yang bisa sedikit memberikan kelonggaran untuk tidak pulang lebih cepat. Daripada harus membuang waktu ke tempat tak tertuju, lebih baik mengikuti acara kantor. Bukan hanya karena kemarahannya kepada Nadia, tetapi juga ia butuh sedikit waktu menyingkirkan ingatan tentang masalah yang diungkap oleh guru Arkan kemarin lalu.

***

Nadia masih dalam kebingungan yang menderanya. Ia tidak merasa tenang sebelum berbicara secara terus terang pada Tama. Sementara Tama masih juga belum menunjukkan batang hidungnya. Padahal seingat Nadia ini sudah melewati jam kerja.

Sesaat Nadia berinisiatif untuk menghubungi sang suami, tetapi detik kemudian ia tak ingin mengganggu waktu Tama. Sebab Tama pernah mengingatkan untuk tidak memyela waktu kerjanya. Apalagi saat ini keadaan Tama sangat emosional.

Belum lagi kegalauannya mereda, pikirannya kembali dikacaukan oleh racauan kedua jagoan kecilnya. Mereka kembali bertengkar tentang permainan dan hal-hal kecil lainnya.

"Arkan, kamu curang. Kamu gak mau bantu aku selesaikan tugas, karena kamu mau main game duluan!" Suara Jodi terdengar menggema karena sedikit berteriak.

Salah satu kebiasaan Jodi sejak masih berusia dini, jika ia marah selalu berteriak. Ada kemungkinan hal tersebut dipicu oleh sikap serupa sang mama saat memberikan peringatan kepada Arkan. Jodi kecil terbiasa mendengar teriakan Nadia, yang akhirnya ia anggap berbicara seperti itu adalah normal.

Sakit dan kesal Nadia mendengar jeritan Jodi. Pasalnya pikiran dan hatinya tengah tidak tenang. Ditambah dengan kedua kakak adik itu yang makin meningkah.

"Hey, kalian bisa gak, kerjakannya dengan rukun?"

Suara Nadia terdengar ketus dengan gerigi saling menekan sehingga menimbulkan suara gemeletuk. Kedua lelaki kecil itu pun tersentak. Arkan segera membenahi duduknya dan pura-pura fokus pada lembar tugas di atas meja dan laptop. Sementara Jodi, terus meneriakan kekesalannya. Lalu berlari ke kamar dan menutup pintunya.

"Jodi, kalau kamu terus saja berbuat seperti ini, Mama kirim kamu ke rumah Nenek di Cirebon. Kamu gak akan masuk sekolah di sini!"

Tanpa bisa membendung emosi, Nadia berteriak ke arah pintu kamar anak. Baru saja Nadia mengulang kesalahan yang biasa dilakukannya. Sedapat mungkin, ibu dua anak itu menjaga agar kebiasaannya itu tidak kembali datang menyerang. Hanya saja keadaan yang menekannya, membuat emosi itu kembali muncul.
Sambil mengerjakan tugas, Arkan semakin mengerutkan tubuhnya dan memusatkan pandangan ke layar laptop. Meskipun fokusnya sudah tidak terpusat ke sana.

"Cepat buka pintu!" Menggedor pintu kamar. "Ini bukan hanya kamarmu, Arkan juga. Buka!"

Sekian menit Nadia berteriak, tetap tidak ada jawaban dari dalam. Kian bertambahnya usia anak, makin banyak saja tingkah laku yang menguji kesabarannya. Wajar jika membuat emosi orang tua menjadi terpancing, terutama ketika si kecil tak bisa dinasihati dengan baik.

Penting bagi orang tua untuk mendisiplinkan mereka. Di sinilah dimulai dilema klasik yang terjadi pada setiap orangtua. Ada kalanya orangtua memilih untuk memarahi anak demi membuat mereka patuh. Meski penting untuk memperbaiki perilaku buruk, namun kita harus membedakan antara bersikap tegas dan bersikap galak.

Nadia yang tengah kesal, malah makin kesal menghadapi tingkah dan behaviour Jodi. Ia berusaha menenangkan diri. Berjalan menuju dapur dan membuat minuman kesukaannya. Lalu ia menelungkupkan wajahnya di atas lengan yang bertumpu pada meja makan.

Detik-detik berlalu, Tama belum juga tiba. Akhirnya Nadia mencoba untuk menghubunginya. Sama seperti nasib Sena sebelumnya, kali ini panggilan Nadia pun tidak mendapat jawaban. Untuk saat ini Nadia hanya bisa berpasrah dan menyesap tegukan kopi hangatnya sambil memikirkan kata-kata yang akan ia jelaskan kepada sang suami.

Ah, kacau! Baru juga kembali ke sini. Malah ada masalah.

Nadia merutuki masalah itu dengan wajah gelisah. Ia paling tidak bisa didiamkan, apalagi oleh Tama.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum