78. Bab 78

43 8 0
                                    

"Kamu, kok, baru pulang? dari mana?" Sena yang biasanya tinggal di peternakan, mengejutkan Ratu yang baru saja melangkah melewati ruang tamu.

"Sudah izin sama Eyang, Pa." Ratu menahan ketegangan diri.

"Izin apa? Papa tanya kamu dari mana?" Sena berusaha mengatur dirinya setenang mungkin. Meskipun sudah mengetahui ke mana putri bungsunya semalam.

Ratu masih tertunduk tak berkutik di depan Sena. Ada rasa kesal dan marah pada sang papa, tetapi Ratu sadar diri jika ia masih berada di bawah pengasuhan papanya. Tidak seperti Raja yang nekat mencari kehidupan sendiri dan lebih bebas menentukan arah setelah ikut sang bunda.

Bukan Ratu ingin bebas bersenang-senang, tetapi ia ingin lebih banyak bertemu dengan bunda yang berpisah sejak ia masih usia sekolah dasar.

"Sen, sudah mi nah, anggapai tawwa semakin nu ke-kangi tawwa, Ratu. Dia juga tawwa berhak untuk bertemu ibunya. Ingat ko nah, Sen, perjanjianmu dulu saat ko berpisah. Nuingat ji? tidak ada larangan untuk bertemu bundanya. Kenapa memang ko, kah? Jangko bilang lagi kalo belum pako move on dari bundanya anak-anakmu."

("Sen, sudahlah. Kamu, kok, jadi malah semakin mengekang Ratu, sih. Dia punya hak juga bertemu ibunya. Ingat, Sen, perjanjian saat kalian berpisah dulu. Tidak ada larangan bertemu bundanya. Kamu kenapa, sih? Jangan-jangan kamu memang masih belum move on dari bundanya anak-anak.") Bisa-bisanya Bu Arika mengeluarkan candaan seperti itu kepada sulungnya, tanpa ia sadari ada Anita bersama di sana.

Bu Arika seperti merasa gemas sendiri melihat tingkah anaknya yang salah tingkah dengan ucapannya.

"Kalau kamu masih belum bisa move on dari mantan istrimu, kenapa tidak berusaha ketemu dan bicara. Siapa tau dia juga masih sendiri."

"Bunda masih sendiri, kok. Bunda tidak berpikir menikah lagi." Ratu berucap gugup.

"Sudah. Tidak ada kaitannya. Ganti bajumu sana." Lelaki hitam manis berparas khas Jawa dengan mata sedikit bulat itu memerintahkan putri bungsunya.

Sena semakin gusar dan takut ketahuan kalau hatinya berdegup kencang sekali. Tidak dipungkiri sejak perpisahan sepuluh tahun lalu, Sena masih belum terima denga  keputusan pengadilan yang mengabulkan gugatan Indah.

Sebab itulah ia sangat marah dan mengeluarkan ultimatum kepada Raja untuk tidak menanggung biaya hidupnya jika ikut bersama sang bunda. Maksud Sena hanya untuk menggertak, agar Indah tetap tinggal di rumah keluarga Sasongko. Namun, itu tidak menyurutkan langkah Raja. Lebih baik dibenci lelaki yang telah menyakiti hati ibunya, daripada harus menghujamkan belati kedua kali pada hati sang pemberi rida. 

Bu Arika tidak memberikan tanggapan apa pun lagi. Ia mengisyaratkan Ratu untuk pergi ke kamarnya dan membersihkan diri.

Anita, sang istri kedua--maksudnya istri yang datang di sela pernikahan Sena dan Indah--yang berada di ruangan yang sama, merasa serba salah dan kikuk. Sampai saat ini ia terus merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada pernikahan suaminya dengan Indah. Namun, apalah daya, saat itu Sena masih hangat-hangatnya menemukan kembali cinta remajanya yang hilang.

Lalu, sekarang, setelah sepuluh tahun Sena ternyata masih belum menerima perpisahan itu. Meskipun ia berusaha menutupi, Bu Arika tetap mengetahui gejolak yang tertutup dinding hati.

Perempuan Bugis-Belanda itu pun tersenyum seraya menggeleng.

"Sudahlah, kalau masih ada yang ingin kamu bicarakan dengan Indah, temui saja. Minta izin sama Anita, pasti diizinkan. Iya, kan, Nit?"

Bu Arika tak lantas menengok secara jelas ke wajah Anita. Ia hanya melempar tanya seraya membenahi meja makan dan menghitung piring yang tertata di sana.

Anita semakin kikuk dibuatnya. Dalam kurun sepuluh tahun ini, Anita belum bisa mengakrabkan diri dengan sang mertua. Entah bagaimana lagi ia harus bersikap, rupanya masih belum mendapat sambutan hangat dari Bu Arika yang terkenal lembut tapi tegas itu.

Perempuan berhijab itu sedikit mengangguk secara terpaksa. Tentu saja ia berharap Sena sudah bisa melupakan mantan istrinya itu. Jika belum pun, setidaknya Anita lah yang pertama kali tahu tentang perasaan Sena.

"Aku mengizinkan, Mas." Sang istri menjawab pelan diringi seutas senyum.

Lalu, perempuan itu memilih menjadi dinding. Keras dan dingin. Meski terkadang ia menjadi lampu penyala semangat dan pemberi kehangatan bagi Sena.

Setiap kali berkunjung ke rumah besar keluarga Sasongko, Anita hanya akan banyak diam. Sesekali bicara jika ditanya saja. Apalagi jika keluarga Sasongko datang dari dan berkumpul, Anita lebih menenggelamkan diri dalam sajak tanpa kata yang membuatnya enggan beranjak sekadar membubuhkan jejak sebagai keluarga baru.

Ternyata tidak semudah itu menyaingi sosok mantan istri Sena. Di mata keluarga Sasongko, Indah adalah perempuan ideal.

"Ah, sudahlah, kalian ini ada-ada saja." Sena berusaha mengelak. Langkahnya tertuju ke meka makan.

"Ya, tapi terserah mami kau. Mama hanya kasih saranko. Biar ko tidak melempar marah marammu sama Ratu ato Raja. Karena mereka tidak tau apa-apa tawwa, Sen. Jangko egois nah. ingat ko, Raja sudah besarmi sekarang. Kalo masih dendamki sama bapaknya, siapa ngare nanti mau na jadikan panutan? Seharusnya itu tanggung jawab mu nah."

("Ya, itu terserah kamu. Mama hanya menyarankan. Biar gak melempar kemarahan pada Ratu atau Raja terus-terusan. Mereka tidak tau apa-apa, Sen. Kalian yang egois. Dan ingat, Raja sudah bertumbuh dewasa. Kalau ia masih menyimpan dendam pada papanya, lalu siapa role model yang pantas dia jadikan panutan? Harusnya itu tanggung jawab kamu." )

Ucapan terakhir Bu Arika benar-benar membuat Sena dan Anita tertohok. Sedikitnya ada perasaan terganggu di pikiran Anita dan itu cukup menghilangkan nafsu makan.

***

Nina meletakkan ponselnya sembarang setelah percakapan dengan mama mertua usai. Ia menerima kabar jika Lala berangkat ke Singapura untuk hal studi. Mendengar hal itu, Nina merasa sedikit bangga pada putri tengahnya itu. Lalu terpikir untuk menghubungi sang anak, meskipun jarak yang berbeda negara.

Bakat yang dulu pernah sangat ditentangnya, kini merasa paling berjasa atas apa yang Lala dapat. Bahkan saat itu juga oa berpikir untuk menyusul sang anak ke Singapura untuk menyaksikan pertunjukan musik angklung.

Dering pertama, panggilannya tidak terjawab. Begitu juga dering berikutnya. Nina mulai merasa khawatir pada Lala, yang tanpa ia pikirkan bahwa salah satu anaknya tengah berada di negeri orang.

Bagaimana keajaiban itu menyapa setelah beberapa tahun terpisah dan anak itu membuktikan keunggulannya. Dibandingkandua saudara perempuan lainnya. Jika kala ke luar negeri untuk pertunjukan prestasi yang membanggakan nama negara dan keluarga. Kakak dan adiknya berkunjung ke luar negeri hanya untuk liburan dan menghamburkan uang.

Benarkah Lala sekarang sudah lupa padaku?

Nina mencari jawaban di tengah perasaan menyesalnya yang telah memperlakukan berbeda pada Lala.

"Ya ampun, lupa. Mungkin nomornya roaming kalo ditelepon mah." Nina segera tersadar. Lantas ia akhirnya hanya berkirim pesan melalui aplikasi hijau.

[La, gimana pertunjukannya?]

[Berapa lama Lala di Singapura? Kalau masih lama, Mami mau ke sana nengok Lala.]

Pesan itu terkirim dengan tanda centang dua berwarna abu. Nina tak mengharapkan jawaban  saat itu, meski hatinya sangat ingin. Ia berharap masih ada kesempatan membersamai Lala dalam alur hidup yang dijalaninya. Detik kemudian pesan itu berwarna biru, tanda telah dibaca.

Ting!

Notifikasi pesan mengetuk ponsel Nina, nama Lala pun terpampang di layar.

[Alhamdulillah baik, Mi.]

[Besok juga Lala pulang, Mi. Kita ketemu di Bandung saja kalau sempat.]

[Tapi sepulang ke Bandung mungkin Lala akan sangat sibuk, Mi. Karena tugas kampus dan juga di sanggar.]

Nina sedikit memgerutkan dahi melihat jawaban tak terduga dari sang anak.

***

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now