29. Bab 29

41 8 0
                                    

Proyek yang dijalankan suami Nina telah memasuki langkah awal. Untuk mengawali membuka permodalan, Angga akhirnya menjual mobil mewahnya karena masih belum ada labar baik dari hasil penjualan tanah nina di kampung.

Namun proyek itu pun tersendat karena adanya wabah global ini. Semuanya jadi terkatung-katung. Kerugian yang di alami Nina dan keluarga jumlahnya fantastis. Di samping itu, proyek yang Angga lakukan itu merupakan kegiatan yang ilegal karena tidak berlandas hukum, itulah sebabnya Angga berurusan dengan pihak KPK. Sekarang Bu Rosmia malah memberikan kebingungan baru untuk Nadia.

Bagaimana ia bisa meminta tolong pada Mas Sena--kakak iparnya, sementara ia sendiri belum tahu proyek apa yang dikerjakan suami kakaknya itu. Lalu kemana Kak Nina yang selama ini selalu lantang dan keras kepada Nadia? Kenapa harus Ibu yang maju?

Di tengah desakan kebingungan yang mulai mewabah seperti virus mematikan itu, tiba-tiba ponselnya kembali menyuarakan notifikasi dan dering panggilan. Tampak nomor Tama di layar. Nadia abaikna beberapa pesan masuk, ia segera menerima panggilan yang ditunggu-tu ggu sejak tadi.

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikumsalam, Maaf, Nad, Mas tadi sedang menelepon Mas Sena."

"Ooh, iya, gak apa-apa, Mas. Soalnya aku khawatir, kirain kamu sakit atau apa." Nadia bernapas lega setelah menemukan jawabannya.

"Nggak, Sayang. Gimana anak-anak? Lagi pada ngapain mereka?"

"Kami sehat alhamdulillah. Anak-anak lagi main game di hape."

"Kok, malah maen game? Sekolahnya gimana?"

" Iya, selepas sekolah dan beres mengerjakan tugas, mereka langsung tak lupa pada ponselnya."

Lalu Nadia mennaggil kedua jagoan kecilnya untuk mengabarkan jika Ayahnya menelepon. Bocah-bocah itu menghampiri dengan ponsel yang masih ramai dengan permainan di genggaman masing-masing.

"Ayah!" Teriak Arkan dan Jodi berbarengan. Mereka pun menceritakan apa saja yang diingat sejak pagi tadi. Kemudian kembali berlalu dan fokus pada game-nya.

"Gimana kabarnya keluarga di Surabaya, Ma?" Nadia berusaha menggiring obrolan, untuk akhirnya dapat membuka celah meminta bantuan kepada sang kakak ipar itu.

"Mereka baik dan sehat aja. Hanya saja tadi Mas Sena mengabarkan kalau salah satu adik sepupu dari Mbak Indah, istri Mas Sena, mengalami musibah besar. Ia dan suami tertipu investasi bodong, dan jumlahnya lumayan."

Nadia urung membahas lebih lanjut, apalagi membicarakan tentang meminta bantuan itu. Sepertinya tak akan mungkin, meskipun ia sadar bahwa kakanya juga sedang berjuang membebaslan suami dari jerat hukum.

"Ya, Allah. Kok, bisa, Mas?"

"Iya, jadi saat pandemi ini, kan, banyak orang-orang yang tidak bekerja, bahkan sebagian terkena pemutusan kerja. Orang-orang itu bingung mau kerja apa dan memulai usaha dengan hasil yang tetap sepi. Akhirnya saat ada info tentang bisnis gelap itu, mereka semua pasti tertarik, dong. Apalagi diiming-imingi bagi hasil sekitat 10 % bahkna sampai 50%"

"What?" Nadia menganga mendengarnya. 50%? Jika di dengar makhluk awam dengan pikiran jernih, pasti tidak akan percaya dengan hasil sebesar itu.

Tentu saja prosentase itu sesuai dengan total modal yang diaimpan. Manusia memang tidak diragukan lagi dengan sifat serakahnya, di mana ada kesempatan dalam kecukupan, maka keinginan mencapai yang lebih pasti ada.

"Ya, dan mereka tertipu ratusan juta, bahkan sampai menjual mobilnya yang baru saja ambil dan cash!" Tama menjelaskan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Keadaan yang mengerikan di musim pandemi ini membuat banyak manusia berpikir tak sehat. Para pelaku penipuan itu memang sudah bergerak sejak lama, dengan skema yang sama seperti grup koperasi simpan pinjam yang Nadia pernah ikuti. Sementara para korban berharap dengan mengikuti grup investasi itu dapat memberikan solusi untuk perbaikan financial selama masa-masa sulit. Apalagi sebagian nasabah itu terbiasa bekerja dengan hasil besar, mereka bergantung swkali dengan bonus-bonus yang didapat dari grup tersebut.

Setiap hari pasti ada diskusi tentang bagaimana bagi hasil dan bagaimana kepiawaian para pelaku itu meyakinkan para nasabah untuk tidak terpengaruh oleh beberapa anggota yang mulai resah dan tak ingin lanjut. Admin grup tersebut beberapa screenshot testimoni orang-orang yang akhirnya bisa sukses di grup itu.

Tak sedikit dari para anggota itu yang memutuskan untuk melanjutkan mengikuti permainan tipu-tipu itu. Termasuk sepupu Mbak Indah yang masuk kubangan hitam itu terlalu jauh. Berharap mendapat uang berlipat, malah terjebak tipu muslihat.

"Terus gimana mereka tau kalau mereka tertipu, Mas?"

"Dari berita yang tersebar di media online, katanya ada anggota yang mencoba membuka kedok tipuan itu karena merasa ada kejanggalan. Awalnya mereka justru tetap tak percaya dengan pemberitaan itu, dan memilih membela grup dan para penggagasnya. Ya, karena masih berharap mendapatkan keuntungan berlipat. Sampai akhirnya berita resmi diturunkan dari media nasional dan menelusuri jejak persembunyian mereka, akhirnya tertangkaplah beberapa pelaku, di antaranya bertugas sebagai influencer dan owner dari permainan judi online itu."

"Judi online?" Nadia menelisik penjelasan Tama yang panjang lebar dengan dikesimpulan kata judi online.

"Iya, aplikasi yang mereka gunakan itu merupakan aplikasi judi online. Bukanlah aplikasi trading resmi. Lagipula trading tidak selalu menguntungkan para investornya, jikapun untung, tidak mungkin hingga 50% dari modal yang ditanam. Gak masuk akal."

Nadia cukup tercengang dengan yang baru saja ia dengar. Semua informasi itu, pasti Tama mendapatkannya dari sang kakak, Mas Sena, yang kabarnya sekarang tengah membantu memberikan informasi sejelas-jelasnya kepada sepupu istrinya.

Rasanya ingin sekali Nadia ikut menjelaskan, jika kasus seperti itu tidak akan pernah bisa menarik kembali uang yang hilang. Namun, ia sadar jika sedikit saja kelepasan, maka entah bagaimana reaksi Tama.

Ah, dari musim ke musim, zaman ke zaman, permainan itu ternyata terus saja digaungkan dengan nama yang berbeda dan skema yang sama. Apakah setelah tertangkap pemiliknya, masih akan ada pemilik baru yang akan melanjutkan bisnis kotor itu? Ya, mungkin saja, dengan nama baru, istilah baru, tetapi skema dan sistem tetap sama.

Nadia semakin mundur untuk meminta bantuan Mas Sena tentang kasus yang menyandung suami Kak Nina itu. Apalagi urusannya dengan pihak KPK. Makin segan Nadia rasanya.

"Nad, untuk sewa rumah sepertinya kita harus memilih tempat yang sedikit lebih ekonomis, kalau kamu bisa mencari tempat baru." Tama mengungkap maksud utama dari pembicaraannya siang ini.

Nadia menghela napas dalam, tanpa suara. Ia menggigit bibir bawahnya gelisah. Beberapa kali mengalami pindah rumah, bukanlah hal mudah baginya. Apalagi saat ini kondisi sedang sangat kritis. Ia harus mengemasi semua barang, mengangkut dan memindahkannya. Hal yang paling membuatnya teriris, melihat kedua buah hatinya yang kelelahan dengan aktifitas itu. Tak tega rasanya!

"Iya, Mas. Saya usahakan cari yang sesuai dengan kemampuan." Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk berdebat.

"Atau gimana kalau setahun berikutnya, kamu dan anak-anak tinggal di rumah Ibu dulu, demi menghemat uang kontrakan. Toh, anak-anak juga sekolahnya online."

Pilihan terakhir yang diberikan Witama sungguh membut Nadia terkunci, tak bisa menolak, tetapi juga bingung karena kondisinya yang saat ini sedang tak baik-baik saja. Ditambah desakan Ibu tentang permintaan tolong untuk anak sulungnya. Makin merasa tak enak jika Nadia kembali menumpang di sana.

"Nanti saya kabari Ibu dulu, ya, Mas." Nadia berucap ragu seraya tak bersungguh-sungguh.

"Ya, sudah. Hati-hati di sana. Jaga kesehatan. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, baik-baik di sana, Mas." Nadia mengembuskan napas  yang terasa menyesaki.

Lalu tak terdengar lagi jawaban dari seberang, hanya bunyi tanda putusnya sambungan telepon.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now