72. Bab 72

50 7 0
                                    

Setelah berhasil menjual rumah megah di kawasan Pajajaran, Bandung, Nina dan Angga memilih pindah ke kota lain. Jakarta adalah pilihan tepat bagi mereka saat itu. Pertemuan Angga dengan seseorang di Arcamanik sepuluj tahun lalu, sesaat setelah ia keluar dari balik jeruji, adalah untuk membahas tentang jual beli tanah dan rumahnya.

Ketika Pak Hadinata meminta pengacara Angga untuk mengalihnamakan perusahaan Hadi Eka Utama dengan nama baru yaitu Rahayu Pandu Utama, Angga langsung berpikir untuk menjual seluruh asetnya, kecuali perusahaan. Putra tunggal keluarga Hadinata itu rupanya sudah memiliki rencana sejak kasusnya terbongkar. Ia langsung berdiskusi dan mengonsultasikannya kepada kuasa hukum untuk dibantu mendapatkan informasi tentang sebuah hunian di Jakarta dan berhasil memulai kembali usaha barunya di ibukota.

Nina pun ikut saja sesuai rencana sang suami. Ia rela meninggalkan pekerjaan yang sudah dijalaninya selama lebih dari sepuluh tahun menjadi seorang ASN di Kota Kembang. Kesempatan itu ia gunakan untuk menyembunyikan diri dari perjanjian yang telah disepakati dengan Nadia mengenai pemindahnamaan sertifikat tanah miliknya. Begitu juga uang yang digunakannya tidak sepeserpun dibayarkan.

Akhirnya Bu Rosmia yang terpaksa mengembalikan pelunasan itu dari hasil sewa ruko yang ia miliki, karena Nadia sudah menyatakan tidak akan lagi melanjutkan pembayaran cicilan. Sebab ia sudah merasa dirugikan oleh saudara dan keluarganya sendiri. Bersyukurnya Nadia tidak lantas melaporkan sang kakak karena tindak penipuan dan pelanggaran perjanjian yang sudah ditandatangani.

Namun demikian, Nadia tidak serta merta menghentikan kontak dengan sang ibu. Justru Bu Rosmia lah yang merasa bersalah karena tidak tegas menghadapi putri sulungnya itu. Sejak sepuluh tahun silam Nina pindah dari Bandung, ia hanya beberapa kali saja menhubungi sang ibu. Selebihnya, menantu keluarga Hadinata itu lebih terkesan menjauh dan menutup kabar tentang kehidupan pribadi dan keluarga kecilnya.

Hanya Lala yang tidak ikut berpindah ke Jakarta mengikuti orang tuanya. Gadis yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar seperti Arkan, memilih tinggal bersama sang nenek di Bandung sampai ia menyelesaikan sekolah menengah atas.

Usaha Lala mengikuti les musik akhirnya terkabul saat duduk di usia SMP, keseriusannya di bidang musik dibawanya hingga memilih jurusan musik di kampus yang kini ia belajar. Masih di daerah Bandung, Lala melanjutkan pendidikan ke salah satu universitas swasta.

Putri tengah Nina itu merasa lebih nyaman tinggal di Bandung daripada di Jakarta. Berbeda dengan dua saudaranya yang begitu menikmati dunia hedonisme Jakarta.

"La, sore terakhir, nih, menikmati Bandung. Hayu atuh, kita kemana lah." Salah seorang teman kuliah Lala mengajak di ujung telepon.

"Kemana atuh, nonton teater atau ke sanggar aja."

Lala seperti tidak bisa dipisahkan dari dunia seni yang bagi sebagian orang itu sangat membosankan.

"Ih, kamu mah terakhiran atuh hepi-hepi di mana gitu, jangan belajar terus." Dina mengingatkan temannya untuk lebih melonggarkan waktu melepas penat sebelum ia meninggalkan Kota Kembang itu.

Pasalnya beberapa bulan lalu Lala mengikuti kontes musik tradisional angklung yang dipelajarinya sejak SMP di Sanggar Angklung Saung Udjo. Gadis yang kini berusia 22 tahun itu, tahun ini memperoleh undangan resmi dari kedutaan besar RI di Singapura untuk pentas musik tradisional bersama tim Udjo. Jadi, selama dua pekan Lala akan berada di Negeri Merlion.

"Ya, di teater juga hepi aku mah."

"Ya, udah atuh kalo gitu aing aja yang mutusin. Kita ke Cihampelas aja, yu. Abis itu muter ke Braga."

"Rek naon Dina, kan, nanti juga balik lagi ke Bandung?"

"Lala, dua minggu teh lama. Aing pasti kangen Bandung. Pokona tidak ada semempesona kota aing inih."

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now