30. Bab 30

43 8 0
                                    

Nadia mulai mengatur strategi bagaimana meminta izin Bu Rosmia untuk tinggal kembali di rumahnya selama anak-anak mengikuti kelas online. Sebelum itu, ia berusaha mencari rumah kontrakan lain dengan harga sewa lebih ekonomis atau paling tidak bisa dibayar per enam bulan.

Penjelajahan dimulai dari laman-laman pemuat iklan. Beberapa rumah yang harganya sesuai target, jadi incaran untuk dihubungi. Namun, beberapa di antaranya tidak sesuai dengan keinginan Nadia, karena ia harus memperhatikan juga kenyamanan bagi anak-anak. Selain aman, juga nyaman dan ramah anak-anak.

Nadia melirik kedua jagoan kecilnya. Hari ini ia berencana survey rumah yang sudah ditandai dan membuat janji dengan pengurus rumah. Meskipun keadaan masih rawan di tengah pandemi, tetapi sebagian orang sudah ada yang melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya saja tetap mematuhi protokol kesehatan.

Rasanya kasian bila harus membawa serta anak-anak. Mereka akan kembali menyusuri jalanan di bawah terik kota udang. Kelelahan, kantuk dan tidak sabar untuk segera kembali pulang. Sementara Nadia tidak cukup tega untuk meninggalkan mereka di rumah tanpa ada yang menemani.

"Arkan dan Jodi mau ikut atau tunggu di rumah?" Nadia menyela di antara kegiatan anak-anak itu menyelesaikan tugas sekolah. Keduanya menoleh bersamaan.

"Mau ke mana?" Jodi bersiap untuk ikut.

"Ikut" Arkan langsung setuju.
"Mama mau lihat rumah."

"Rumah? Apa kita mau pindah ke rumah baru, Ma?"

"Masih rencana, Sayang. Masih lihat-lihat dulu."

"Oke, oke. Aku ikut!" teriak Jodi.

"Aku juga, Ma."

Gegas keduanya membereslan buku masing-masing dan bersiap mengikuti Nadia. Motor kesayangan siap membawa mereka membelah jalan kota. Ada rasa yang entah bagaimana digambarkan. Rasanya remuk, setiap kali harus melibatkan anak-anak dalam setiap urusan yang seharusnya ia selesaikan sendiri.

Seolah-olah semesta menyatukan mereka untuk saling merasakan apa yang dirasalan samg induk. Tidak satu kali pun Nadia meninggalkan anak-anak di rumah sendirian tanpa pendamping, meski hanya untuk pergi ke toko kelontong.

Sesekali Nadia menepikan motor untuk mengecek peta rumah yang dituju. Panas, lelah, jauh dan kadang jalanan yang menyelinap gang sempit.
Rumah pertama yang ia kunjungi luamyan bagus sirkulasi udaranya, harganya pun pas, tetapi lingkungannya tidak terlalu ramah anak-anak, terlalu banyak aturan dan pembatasan pada anak.

Rumah yang kedua, memiliki kriteria yang hampir sama. Hanya saja areanya terlalu jauh dengan sekolah, jika nanti memulai kembali kelas offline. Rencananya Nadia ingin menetap di satu rumah dalam waktu yang lama.

Rumah ketiga, baru saja tiba di depan gerbang komplek, anak-anak sudah mulai mengeluh capai dan ngantuk. Padahal baru 3 lokasi, tetapi jarak yang tak berdekatan. Nadia pun menyerah, tak bisa memaksakan. Ingin marah dan geregetan karena pelaksanaanya tidak sesuai jadwal. Resiko seperti ini yang harus ia hadapi jika memnawa kedua bocah itu.

"Tadi mending di rumah aja. Main game, sambil nunggu Mama pulang." Nadia berujar sedikit emosi.

Keduanya tidak menjawab, hanya menatap tanah dengan pandangan kantuk. Mereka yang terbiasa dengan suara keras Nadia saat marah dan selalu mengerut ketakutan, siang ini hanya bisa menatap kosong dengan kelopak mata yang mulai meredup.

Melihat kondisi mereka, Nadia pun gegas memutuskan untuk kembali ke rumah. Kacau!

***

[Assalamualaikum, Mas! Aku udah coba survey beberapa rumah, tapi ya gitu sih]

[Ya, gitu gimana maksudnya?]

[Belum menemukan yang cocok. Kasian anak-anak kalo harus keliling kelamaan.]

[Apa menurutmu lebih baik ikut di rumah Ibu dulu?]

[Kalo gitu saya coba kabari Ibu dulu.]

[Oke, kabari Mas kelanjutannya, ya.]

[Oke, Mas.]

Sepertinya memang masalah keruwetannya hanya berputar di situ-situ saja. Tidak terbayang jika ia harus kembali bermukim di rumah sang ibu. Meskipun sebagian orang menganggap pulang ke rumah orang tua itu adalah impian. Tidak demikian dengan Nadia, karena bikan sekedar pulang, tetapi harus bertahan dalam waktu yang entah sampai kapan pandemi berlalu.

[Ya, sudah kalo memang begitu alasannya, kalian tinggal lagi saja sama Ibu di sini. Lagipula Ibu sendirian sekarang di sini, sejak Nindi ikut ke kota suaminya bekerja.]

Begitu balasan pesan dari Bu Rosmia saat Nadia meminta izin untuk tinggal di rumah, karena kondisi yang terlalu berat untuk melanjutkan mengontrak rumah.

Ada sedikit kelegaan di bali lubuk hati Nadia. Berharap ibunya tak lagi membicarakan perbandingan antara anak-anaknya yang kerap kali memenuhi ruang dengar Nadia. Ditambah lagi dengan permintaan terakhir Bu Rosmia saat menghubunginya untuk meminta bantuan kakak ipar di Surabaya demi membantu kakak ipar yang di Bandung. Nadia merasa prihatin dan kasihan melihat kawaban sang ibu. Ia harus tinggal sendiri di tempat seluas itu, tanpa ada satu orang pun yang menemani.

Bagaimana jika ia membutuhkan bantuan tak terduga di malam hari, atau jika terkadi sesuatu yang urgent. Kepekaan Nadia sedikit mengubah pandangannya tengah perlakuan sang ibu beberapa tahun belakangan.

Membahas soal bisnis yang dijalani kakaknya di Bandung, Nadia smaa sekali tidak mengetahui secara jelas. Sebab seringnya, sang kakak hanya menceritakan pekerjaannya saja sebagai seorang PNS. Menurut berita yang berkembang, investasi bodong yang diikuti sepupu dari istri kakak iparnya di Surabaya itu berpusta di Bandung.

Nadia mencoba mencari tahu dan mencocokkan apakah mereka berkaitan satu sama lain? Tidak terbayang jika seandainya, Kang Angga terlibat kasus penipuan online dengan melibatkan ratusan nasabah di Indonesia yang kehilangan uangnya karena tertarik bisnis investasi itu.

"Terus terang Ibu bingung, saat harus buru-buru menjual tanah Nina ini. Satu sisi, Ibu juga butuh tambahan modal untuk toko, sisi lain sayang kalau hatua dijual cepat dan murah." Bu Rosmia seperti menggantungkan harapan ditanah itu.

"Lain itu juga, bisa bantu pinjam untuk tambah-tambha cicilan. Kita sampe ikhtiar ke mana-mana, termasuk menemui orang pintar. Si abah yang katanya punya kekuatan sakti yang dapat menarik sesuatu yang kita minta menjadi nyata."

"Si abah?" Nadia yang sejak tadi mendengarkan cerita sang ibu, dibuat penasaran dengan sosok si abah itu.

"Iya, Nad. Jadi Ibu tau tentang si abah itu dari seorang teman arisan. Sudah habis belasa juta Ibu bayar ke orang itu, tapi tak ada hasilnya." Akhirnya tanpa sadar Bu Rosmia bercerita tentang usaha diam-diamnya yang dilakukan dengan Nindi waktu itu.

Nadia sedikit terhenyak, Tuhan baru saja memberitahu sesuatu yang selama ini ditutupi. Bu Rosmia mungkin sedikit kecewa terhadap Nina saat ini dan hanya butuh teman bercerita. Sementara Nindi sesang tidak ada di rumah saat ini. Ia diboyong suaminya le rumah tugas di kota ia bekerja. Entah kapan kembali, karena pandemi tidak membolehkan keliar masuk suatu kita dalam waktu dekat.

Bisa-bisanya Ibu bilang saat itu tidak ada uang untuk membantu cicilan tapi ia rela membayar jutaan demi menjual tanah itu.

Mendengar kabar mengejutkan ini, rasa peka yang baru saja timbul, tenggelam kembali.

Segera ia melafazkan istighfar.

Sementara di Bandung, kehidupan rumah tangga Kak Nina sedikit mengalami guncangan. Percekcokan dan keretakan rumah tangga Nina mencuat di tengah wabah yang melanda. Ia ingin pulang ke rumah ibunya, tetapi mencoba bertahan karena berpikir untuk tidak bertemu Nadia saat mengetahui dari Bu Rosmia jika Nadia berencana kembali pulang dan tinggal di rumah.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now