8. Bab 8

57 13 0
                                    

Algoritma kehidupan tidak sama seperti algoritma media sosial. Siapa yang sering komen dan berinteraksi, itulah yang akan selalu muncul dan terlintas di beranda. Namun, dalam algoritma kehidupan justru sebaliknya, mereka yang tak tampak di depan mata akan selalu terlintas di beranda pikiran meskipun jarang berkabar. Sementara mereka yang tinggal dekat dan sering berinteraksi bahkan berbagi hampir setiap waktu, tetapi selalu dianggap tidak ada.

Betul apa betul banget?

Nadia masih mengira-ngira tentang tebakannya terhadap Kak Nina. Ia mencoba memahami isi pesan Nindi yang barusan masuk.

[Emang, Ibu ngasih?] balas Nadia selanjutnya.

[Awalnya Ibu bingung, karena itu, kan, tanah Bapak.]

[Tapi karena hak waris jatuh untuk semua anak perempuannya, ya, akhirnya Ibu setuju.]

[Memangnya, kenapa, kok, tiba-tiba Kak Nina minta jual tanah bagiannya? Untuk kuliah lagi?]

[Gak tau. Katanya untuk beli tanah di Bandung. Di samping rumah suaminya itu ada tanah kavling masih kosong, jadi mereka mau beli sebelum diambil orang.]

[Ya, terus mau jual ke mana? kalo butuh cepat, memangnya bakal dapet pembelinya?]

[Gak tau Ibu. Kemarin udah coba kontek ke Pak Hasan, orang bank itu. Siapa tau ada info yang mau beli tanah. Nah, kata ibu, sebagiannya buat bantu cicilan kita ke bank juga, nanti kita bayar cicilannya ke Kak Nina saja. Ibu mau selamatkan tanah ini dulu.]

Penjelasan Nindi cukup membuat Nadia tercengang. Pasalnya Kak Nina bukanlah orang yang mudah memberikan haknya secara cuma-cuma.

[Memangnya ibu sudah diskusi sama Kak Nina, Nin?]

[Ya, itu aku gak tau, Mbak. Mungkin nanti Ibu yang bilang sama Kak Nina.]

[Dan apa kamu yakin Kak Nina setuju?].

Tapi apa mungkin?

Nadia hanya tidak yakin jika tidak harus dibayar setiap bulan. Pasti akan sama saja, apalagi mengingat sifat Kak Nina hampir serupa sengan Bu Rosmia kalau soal uang.

[Terserah Ibu saja kalo aku, Nin. Toh, kesepakatan itu antara Ibu dan Kak Nina. Tapi kalau memang Ibu mau berusaha bicara sama Kak Nina untuk bantuan itu, mudah-mudahan Kak Nina setuju. Aku pasti bayar, Kok.]

[Iya, Mbak.] Jawaban terakhir Nindi sebelum pesannya kembali lenyap.

Beralih ke pesan lain, tumpukan pesan masuk telah mencapai ratusan. Chat itu semua pesan customer yang masuk. Nadia merekahkan bibirnya, berucap syukur karena percobaan iklannya berhasil.

Ingatan Nadia masih memikirkan pesan yang disampaikan Nindi tentang Kak Nina. Konsentrasinya apda pekerjaan jadi menurun, menguap entah kemana. Ia berandai-andai jika benar kakaknya mau berbaik hati meminjamkan sebagian hasil penjualan tanahnya, ia benar bersungguh-sungguh akan mencicil hingga tuntas meski tidak setiap bulan.

Beberapa kali jemarinya mengarahkan untuk menulis pesan kepada Bu Rosmia, hendak bertanya mengenai berita Kak Nina. Berulang-ulang tulis-hapus, tulis-hapus jika pesannya akan direspon oleh sang Ibu. Setelah beberapa lama dalam kebingungan, ia pin mengurungkan niatnya.

Sudahlah, percuma juga tanya. Nanti malah dianggap, mau pinjam uang itu.

***

Siang itu hampir lewat jam setengah tiga, waktunya menjemput duo lelaki kecilnya dari sekolah. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kontrakan mereka, hanya memakan waktu sepuluh menit. Namun, jika terlambat lebih dari lima menit, anak-anak akan ditinggal oleh guru di tempat ruang tunggu penjemputan.

Saat Nadia memarkirkan motornya di tepi ruang penjemputan, ia melihat kedua bocah itu tengah duduk menunggu dengan wajah lelahnya. Nadia terlambat karena tadi terlalu sibuk dengan chat customer hingga lupa jam sudah bergeser, ditambah lampu merah dengan antrian panjang.

Ruang tunggu sudah sepi. Anak-anak sekolah dasar sudah tidak ada yang keluar lagi. Hanya ada beberapa siswa kelas menengah sepertinya. Mereka tampak bergeral kaget dan menjauh dari duo bocah kecil itu saat Nadia menampakkan wakahnya ke ruangan itu. Segera ia memanggil kedua putranya.

Pandangan Nadia sempat tertumpu kepada tiga orang siswa beda level itu. Ia seperti menangkap keanehan dari gerak-gerik mereka, meskipun berusaha menunjukkan sikap cuek. Teriakan kegembiraan dari Arkan dan Jodi membuyarkan pikiran-pikiran tak mengenakan yang bersarang, terutama mengenai anak-anaknya.
Melihat sikap biasa saja dari kedua lelaki kecilnya, Nadia tidak ingin menaruh curiga apa pun terhadap tiga siswa tersebut.

"Ma, ayo, pulang. Arkan capek, mau tidur." Ucapan Arkan mengagetkan Nadia.

"Iya, sayang. Ayo, Nak." Nadia meraih kedua lengan bocah kecilnya menuju motor. Jodi hanya menatap lemah sedikit ketakutan bercampur ngantuk.

Motor pun kembali berlalu meninggalkan sekolah favorit itu.

"Arkan, gimana sekolahnya tadi?" Pertanyaan yang sama setiap kali mereka tiba di rumah.

"Baik, Ma."

"Jodi juga. Baik, Ma." Jodi pun berinisiatif menjawab sebelum mamanya bertanya hal yang sama.

"Di sekolah tadi ada yang ganggu Arkan dan Jodi, gak?" Nadia berusaha mengorek kecurigaannya yang masih bergeming dalam pikiran. Hatinya tidak bisa dibohongi melihat gelagat ketiga siswa tadi.

Keduanya saling berpandangan, lalu menggeleng ragu-ragu.

"Yakin?" Nadia bertanya penuh hati-hati agar anak-anak itu tidak merasa tertekan.

"Iya, Ma." Arkan meyakinkan.

"Mmm... Tapi tadi kakak-kakak itu nakal, Ma." Jodi uang polos, tidak bisa jika tidak menceritakan kepada sang mama.

Perasaan seorang Ibu tidak bisa dibohongi, ia tahu kapan instingnya berjalan. Apalagi mengenai keselamatan anak-anaknya.

"Jodi!" Arkan memekik, bermaksud menghentikan adiknya bercerita lebih lanjut kepada mamanya.

Arkan yang sifatnya sedikit pendiam dan penakut, ia tidak berani mengatakan yang sejujurnya kepada sang Mama. Ia khawatir jika kakak-kakak kelasnya itu akan berbuat lebih dari yang tadi siang, jika sampai mengadukan ke guru.
Nadia menatap kedua lelaki kecilnya bergantian, meminta keduanya bercerita jujur.

"Arkan, ada apa, Sayang? Benar apa kata Jodi?"

Nadia menatap dalam kedua pupil hitam milik Arkan. Bocah itu masih terdiam dalam tatapan sang Mama. Lalu menggeleng.

"Arkan bilang Mama, jangan takut, Sayang. Mama nanti bilang sama Ibu Guru untuk melindungi kalian kalo ada yang nakal."

"Nakalnya gimana, Sayang? Jodi ingat kakak-kakak tadi ngapain kalian?"

Nadia Mencoba membujuk Jodi yang polos, berharap akan menceritakan kenakalan kakak kelasnya itu seperti apa. Sementara Arkan masih bergeming dengan tatapan kosong. Jodi langsung memeluk sang inang. Nadia tahu ada hal yang tak beres, tetapi masih belum pasti perlakuan apa yang dilakukan anak-anak tadi kepada kedua bocah kecilnya.

Dipeluknya kedua lelaki kecil itu, perasaan bersalah makin berlapis-lapis. Meskipun acap kali ia memarahi keduanya, tetapi perasaan seorang Ibu tidak akan rela jika ada yang mengganggu anaknya. Apalagi hingga menyakiti. Apa yang bisa dilakukan bocah usia sekolah dasar jika menerima perlakuan intimidasi dari lingkungan sekolahnya? Apakah mereka bisa membela diri, paling tidak melapor? Pasti ketakutan karena di bawah ancaman.

Nadia menjadi sangat khawatir meninggalkan mereka dan sepertinya harus lebih ketat menjaga kedua harta berharganya itu di sekolah. Ia mulai berpikir untuk mencari tahu siapa siswa kelas menengah yang ia lihat itu dan apa yang mereka inginkan?

***

Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang