10. Bab 10

71 15 0
                                    

Kemeja yang telah lusuh karena keringat, baru saja ditanggalkan Witama saat memasuki kamar yang selama ini menjadi tempat tumpuan hidup. Selanjutnya ia gegas membuka ponsel. Pekerjaan hari ini sungguh sangat menyita perhatian. Setiap konsuler meminta diberikan penawaran terbaik, sementara dari perusahaan hanya bisa memberikan kepada satu konsuler yang kredibel.

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu segera memfokuskan matanya pada pesan dari istrinya, Nadia. Ada beberapa panggilan masuk yang tak terjawab. Tak menunggu lama, ia langsung menyambungkan percakapan.

"Assalamualaikum, Mas. Kamu ke mana aja? Kok, gak bales pesanku dan hak angkat telepon?" Terdengar suara panik istrinya dari seberang.

"Ada apa, Nad? Kok, kamu seperti orang panik?"

"Arkan, Mas. Arkan!" Kali ini suara itu bercampur dengan getaran setengah gugup.

"Kenapa Arkan? Sakit? Ato apa?"

"Arkan hilang, dia belum ketemu." Tangisan pun mulai pecah.

"Kamu sekarang di mana? Sudah sampaikan ke pihak sekolah untuk melapor polisi?"

"Aku masih di sekolah. Aku gak mau pulang sebelum Arkan ketemu." Nadia terus mencucurkan air mata, sementara Jodi terlelap dalam pangkuannya. Ia begitu kelelahan setelah jam pelajaran usai belum pulang ke rumah. Sementara sang mama masih panik dengan keberadaan Arkan.

"Terus sekarang... "

"Aku gak tau, Mas." Nadia masih meraung. Beberapa guru dan Kepala Sekolah serta para petugas keamanan sekolah juga bingung, tak menemukan jejaknya. Semu CCTV tidak menunjukkan adanya penculikan atau anak kabur dari sekolah di jam itu.

"Sayang, besok Mas akan mencoba info ke atasan untuk meminta izin cuti awal. Secepatnya Mas pulang ke Jawa."

"Iya, Mas."

"Kamu sudah bilang Ibu dan keluargamu?"

"Belum sempat, Mas."

Makin sesak rasanya mendapat pertanyaan seperti itu. Jika pun Nadia memberitahu keluarganya, apa yang akan diterima Nadia selain nasihat sindiran dan kata-kata yang menghakimi lainnya. Bukan menenangkan, malah membuatnya semakin tertekan

"Ya, sudah. Kamu tenang. Mas, usahakan malam ini bicara sama atasan."

"Iya, Mas."

"Jaga diri, Sayang. Assalamualaikum."
Percakapan pun terputus. Witama berusaha menenangkan pikirannya, meski hatinya gelisah. AC di ruangan yang biasanya terasa adem, sore ini tak membuat Witama nyaman.

Terakhir yang dapat dilihat dari pengamatan CCTV di koridor kelas Arkan, anak lelaki itu keluar kelas menuju arah toilet. Setelah itu tak terlihat lagi. Jam administrasi hampir usai, tetapi Nadia masih kekeh tidak akan pulang tanpa membawa Arkan.

"Bu Nadia, urusan ini biar kami yang tangani, jika sampai besok Arkan belum ditemukan, kita akan segera lapor polisi." Ibu Kepala Sekolah mencoba memberikan pengertian.

"Kenapa harus menunggu besok, Bu? Kalo Arkan tidak bisa saya bawa pulang sekarang, saya akan lapor polisi sekarang juga. Saya tidak tau kondisi anak itu seperti apa. Kelaparan, kedinginan ato disiksa orang!" Nadia sedikit histeris.

"Bu, tenang dulu. Jangan berpikiran jauh. Mungkin Arkan masih di area sekolah." Ibu wali kelas Arkan mencoba menenangkan.

Tak lama bunyi panggilan berdering dari ponsel sang kepala sekolah. Ia gegas pamit sedikit menjauh dari tempat di mana Nadia, petugas keamanan dan Ibu Guru Vania berdiri.

Nadia berusaha menenangkan diri, mungkin benar apa yang katakan Bu Vania. Arkan masih ada di lingkungan sekolah, tapi ke mana anak itu. Beberapa anak yang mempunyai jadwal ekstra kelas, masih beredar. Nadia dan Bu Vania berusaha bertanya kepada semua siswa yang melintasi mereka satu per satu.
Sementara petugas keamanan kembali mencari setiap sudut sekolah.

Bisnis Bodong (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang