26. Bab 26

41 9 0
                                    

Entah, Nadia harus bersedih atau bahagia dengan kondisi pandemi ini. Secara pribadi ia bersyukur karena ditengah kegalauan untuk segera memindahkan anak-anak ke sekolah baru dengan biaya baru dan adaptasi baru juga, kini bisa sedikit ditangguhkan selama pembelajaran online.

Meskipun berat karena harus mengawasi dua bocah dan tugas-tugas sekolah yang lumayan bikin geleng-geleng kepala. Namun, selama belajar di rumah, Nadia bisa mengetahui bagaimana sistem belajar yang sebenarnya sekolah berikan kepada anak-anak. Di samping itu ia juga merasa tertolong sekali dengan kondisi ini karena sedikitnya menyelamatkan Arkan dari perilaku teror yang sengaja dikirim untuk menurunkan mentalnya.

Setidaknya Nadia masih bisa berpikir lebih jernih dan teliti dalam memilih sekolah baru untuk anak-anak kelak jika belajar offline sudah kembali diterapkan. Ibu muda itu yakin dan pasti akan memindahkan kedua bocah SD itu dari sekolah yang sudah memiliki cacat di matanya.

"Ma, Arkan lapar," rengek si sulung di tengah pelajaran berlangsung.

"Jodi juga, Ma." Meja mereka yang hanya bersekat ukiran kayu, bisa saling mencontek pelajaran masing-masing.

Nadia pun kini tak perlu repot menyediakan 4 boks bekal makan pagi dan siang dengan diburu waktu, sementara ia juga harus gegap gempita menyiapkan seragam dan perlengkapan sekolah keduanya. Sekarang, ia bisa sambil menyediakan makanan dan bahkan menyuapi mereka makan meskipun pelajaran tengah berlangsung, asal tidak terkena sorot kamera.

Ia menuju dapur, di sana sudah ada beberapa biji sosis yang sudah diturunkan dari freezer dan juga mie, telur untuk dibuat martabak mie. Dengan santai ia meracik makanan untuk anak-anak. Sesekali di selingi mengecek ponsel yang masih menerima chat dari customer.
Satu notifikasi pesan masuk, terlihat nomor Witama di sana.

[Assalamualaikum, Sayang. Gimana kabar kalian? Gimana sekolah anak-anak? Kalau tidak sibuk tolong kirim pesan ke Mama di Surabaya, ya. Sekedar menguatkan. Keadaan di sana sedang tidak baik.]

Tanpa bertanya lebih lanjut, Nadia hanya membalas tanda menyanggupi. Beberapa pesan ia kirim keapda sang mama mertua.

Kabar keluarga di Surabaya mengalami penurunan di usaha telor bebeknya. Beberapa karyawan harus berhenti. Produksi telur Bebek pun menurun karena kualitasnya banyak yang tidak sesuai standar. Puluhan bebek mati. Di tambah kesehatan Mama yang kadang tidak tentu karena ia memiliki history medis.

Sementara Antasena--kakak iparnya--semakin disibukkan dengan tugas lapangan karena pengamanan yang harus diperketat mengikuti anjuran pemerintah setempat.

Tugas kakak iparnya itu tidak seberapa jika dibandingkan sang istri, selain sobuk sebagai ibu bhayangkari, ia juga bertugas di klinik umum sebagai perawat. Itu lebih berat lagi, karena setiap hari harus menghadapi puluhan pasien dengan kondisi yang sebagian besar terkontaminasi virus itu.

"Assalamualaikum, Nad." Sang mama mertua menymabut hangta saat dilihatnya nomor menantu jauh itu menelepon.

"Waalaikumsalam, Ma. Gimana kabar keluarga di Surabaya?"

"Sejauh ini kami sehat, Nad. Hanya saja ada sedikit masalah dengan peternakan bebek dan produksi telurnya pun menurun drastis." Lalu cerita mengalir begitu saja, Mama Arika menceritakan semua kondisi di Surabaya termasuk juga dengan kakak ipar Nadia dan keponakannya di sana.

"Arkan dan Jodi gimana?" sambung Mama Arika.

"Alhamdulillah mereka sehat, Ma. Sekolah online juga di sini."

"Kalian jaga diri baik-baik. Mama tau, ini berat buat kamu, Nad. Apalagi jauh dari Tama dengna kondisi seperti ini." Nadia sungguh terenyuh dengan kelembutan sang mama mertua.


Sejauh masa pandemi, ibunya sendiri bahkan belum menanyakan kabar cucu-cucunya ataupun sekedar mengabarkan keadaan di rumah. Padahal sejak merebaknya isi virus itu, ia lah yang paling gencar berkomunikasi dengan keluarga di kampung. Alih-alih mendapat respon pesan tentang kabar keluarga, ia justru mendapatkan nasihat sindiran seperti biasa dari Kak Nina.

[Nad, harusnya kamu yang paling dekat, tengok ibu langsung, jangan hanya bertanya lewat pesan.]

Nadia tak membalas pesan itu. Ia paham kakaknya masih menyimpan kekesalan atas percakapan terakhir mereka.lalu hanya menyisipkan emoticon angkat jempol sebagai respon.

Beberapa kali Nadia mencoba menghubungi nomor ibunya, tetapi tidak ada tanda-tanda telepon terjawab. Akhirnya ia hanya berkirim pesan.

[Assalamualaikum, Bu. Gimana keadaan di sana? Semoga sehat dan baik-bajk saja.]

Pesan itu terkirim, tampak 2 garis abu-abu. Namun, tak jua kunjung membiru. Tak ambil pusing, Nadia beralih pada aktivitas sehari-hari di rumah. Kelas belajar telah usai, tugas-tugas sekolah masih ada beberapa yang harus diselesaikan.

"Ayo, Arkan, Jodi, selesaikan dulu tugasnya. Biar Mama tenang."

Jodi menggerakkan badannya sedikit malas saat harus berhenti bermain game. Berbeda dengan Arkan yang sedikit lebih rajin. Tugas-tugas tertulis dan foto, dengan mudah telah diselesaikan dengan baik. Masih ada beberala tigas lagi yaitu yang diiringi pembuatan video. Biasanya tugas ini dari pelajaran seni atau hafalan.

Beberapa kali Nadia dihadapkan pada kondisi harus belajar banyak sabar, tetapi faktanya ia sering tak tahan dengan sikap-sikap Arkan dan Jodi yang tak begitu serius menyelesaikan tugas.

"Cerita ini Arkan sudah mengerti, kan?" Nadia bertanya ulang setelah Arkan membaca cerita fabel di buku. Arkan hanya mengangguk.

"Oke, sekarang kita mulai bikin video-nya, ya?"

Arkan pun menurut, tetapi di tengah pembuatan video selalu saja ada yang salah atau Arkan lupa, sehingga harus diulang lagi dan lagi. Kadang membuat emosi memuncak.

"Ya, ampun, Arkan! Yang bener, dong!" Tak sengaja Nadia kembali pada kebiasaan lama jika sudah mendesak. Arkan terkejut dan kembali mengulang dari awal.

Meskipun hasilnya tidak begitu sempurna, tetapi masih lebih baik. Nadia pun segera meng-upload tugas-tugas yang baru saja diselesaikan melalui aplikasi kelas khusus. Bernaaps lega sejenak, kemudian dilanjutkan dengan tugas Jodi yang lebih menantang karena anak bungsunya itu sedikit memiliki sikap berbeda dengan Arkan. Jika sudah bosan atau tak suka, ia tak bisa dipaksa. Maka mau tidak mau Nadia melakukan pendekatan yang berbeda.

Menjelaskan dengan gambar, menghitung dengan bantuan alat atau gambar dan cerita. Jodi paling tidak suka didikte, ia akan seketika berhenti. Jika sudah demikian, maka Nadia harus kerja keras mencari cara agar Jodi mau menyelesaikan tugas-tugasnya.

"Aku ngantuk, capek, Ma."Jodi mulai merengek. Bosan.

" Oke, iya. Nanti boleh tidur tapi selesaikan dulu tugasnya, ya. Satu video lagi."

Berkali-kali Nadia menarik napas, khawatir Jodi akan berhenti di tengah jalan kalau lupa lirik lagu Garuda Pancasila yang ditugaskan.

Benar saja, tanduk di kepala hampir saja keluar seperti saat membimbing Arkan, tetapi akhirnya lagu itu bisa selesai meski dengan intonasi nada yang sedikit berbeda.

"Yang penting liriknya sama. Setidaknya yang terakhir sudah lumayan." Nadia merasa puas, sekaligus tak tega jika terus diulang karena mata dan kepala Jodi sudah memutar tidak jelas. Ngantuk berat!

Berat, bukan? Ah, tapi masa-masa ini harus dilewati. Meski dengan kedongkolan yang sebagian besar Mama mengalaminya.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now