52. Bab 52

48 8 1
                                    

"Mas, jangan aneh-aneh, ya. Sudah kamu undang dia ke sini hari ini, terus mau kamu simpan dia di paviliun yang anak-anak tempati? Cukup, Mas Sena, jangan melebihi batas." Indah berang saat berada di kamar mereka.

Acara makan malam telah selesai, ditutup dengan sedikit ketegangan. Tergurat sedikit jelas dari wajah Indah.

"Indah, bukankah kamu sendiri yabg bilang sudah menerima Anita dan Dion sebagai bagian dari keluarga ini?"

"Aku menerima pernikahan kalian dan itu pun tidak harus diresmikan. Bukan berarti aku menerima sepenuhnya mereka di rumah ini. Meskipun ini rumah kamu. Bisa saja aku buka mulut, jika tidak tahan dengan semua tingkah seenaknya dari kamu. Kalau aku keluar dari rumah ini, tunggu saja pemecatan tidak hormatmu dari kantor." Indah mengembuskan napas tak beraturan karena menahan emosi.

"Tapi tidak ada perjanjian seperti itu dari awal, Indah."

"Kamu pikir, cuma kamu yang bisa mengambil keputusan seenaknya?"
Sena mengusap kepalanya kasar dan bersiap untuk mengantar Anita dan Dion pulang ke rumah.

"Indah, tidakkah kamu kasian sama Dion. Dia kelelahan dari pagi tidak tidur di tempat yang nyaman." Sena memelas kepada sang istri pertama.

"Itu bukan urusan aku, Mas. Itu tanggung jawab kamu, aku tidak menyuruh kamu mengundangnya. Sekarang itu urusan kamu, aku mau tidur. Capek!" Indah bersiap menjatuhkan diri ke atas kasur dan menarik selimut tebal menutupi seluruh badannya.

Sementara Sena masih kebingungan, walaupun ia tahu Anita pasti akan mengerti dengan sikap Indah. Ia pun bergegas menuju lorong dapur menuju kamar asisten rumah tangga. Di sana, di kamar Mbok Sur, Anita menunggu keputusan Sena.

"Mas, jadi Anita tidur di mana?" Tiba-tiba Tama menghentikan langkah Sena saat melintasi teras belakang.

"Mungkin aku akan mengantar mereka pulang ke rumah di peternakan." Sena tak menunggu lama, ia segera melanjutkan langkah ke kamar Mbos Sur.

"Mas, tadi aku udah bicara sama Nadia, kalau Anita bisa menumpang di paviliun kami. Biar aku yang tidur di kamar tamu rumah Mama." Tama mensejajarkan langkah Sena.

Sejenak Sena tampak berpikir dan menyetujui keputusan Tama, tetapi ia sadar jika besok pagi Indah mengetahui Anita bermalam di rumah ini, pasti akan timbul ketegangan lagi. Mengalahkan ketegangan di Selat Hormuz. Ah, pusing!

Sena mengusap wajahnya dan menolak tawaran Tama.

"Bukankah peternakan itu jauh, Mas. Ini sudah malam sekali. Kalau menempuh perjalanan jam segini, sampai sana sudah larut dan bahaya kalau Mas Sena nyetir malam kembali ke sini."

"Mungkin aku akan bermalam di rumah peternakan malam ini, Tam."

Tanpa menunggu saran lain dari Tama, Sena segera mengayunkan langkah panjang. Tama hanya melihat sang kakak menghilang di balik tembok lorong ke arah dapur dan kamar asisten rumah tangga mereka.

"Mas, tidak perlu terlalu jauh ikut campur urusan rumah tangga mereka." Nadia menyambut Tama di pintu depan paviliun sekembalinya dari lorong dapur.

Tama sedikit terkejut melihat istrinya masih terjaga. "Kamu belum tidur, Sayang?"

Nadia menggeleng seraya berjalan  mendekati sang suami dan duduk di teras paviliun.

"Aku belum ngantuk. Aku ngerti maksud baik kamu sama Anita dan Dion, tapi apa kita tidak menyakiti perasaan Mbak Indah?"

Tama menggeleng gusar mendengar pertanyaan Nadia.

"Ini sudah larut, kalau mereka harus kembali ke peternakan."

"Apa tidak ada saudara Anita yang tinggal di dekat sini?"

"Dia itu yatim piatu, anak tunggal. Saudara keluarganya semua tinggal di luar Jawa. Setelah Anita berpisah dari suami pertamanya, dia bekerja di sebuah pondok pesantren sebagai pengajar. Anak dari pernikahan pertamanya terpaksa ikut bapaknya karena keadaan Anita yang tidak memungkinkan untuk mengurus anak."

"Terus sekarang di mana mantan suaminya dan anaknya?"
"Mereka pindah ke daerah asal mantan suaminya di Madura."

"Kasian anaknya, gak bisa ketemu sama ibunya."

"Lebih kasian lagi kalau dibawa Anita, belum tentu punya penghidupan yang layak. Makanya Anita waktu itu menerima putusan pengadilan agama."

"Ya, Mudah-mudahan anaknya dirawat dengan baik juga oleh bapaknya. Gak percaya seratus persen kalau anak dibawa bapaknya akan bahagia. Aku yakin Anita tidak siap berpisah dari anaknya." Nadia berkata seolah memposisikan dirinya sebagai Anita.

"Kenapa harus bercerai kalau masalahnya masih bisa diselesaikan dengan baik-baik, ya?"

"Sudah jalan Tuhan juga mungkin."
Nadia memeluk lengan Tama, seolah-olah tidak ingin hal serupa terjadi pada mereka. Tama menoleh dengan tatapan heran tetapi juga bahagia, bahwasanya sampai hari ini rumah tangganya baik-baik saja meski harus menjalani hubungan jarak jauh.

***

Bukan tanpa alasan Anita seketika menerima permintaan Sena untuk kembali menjalin hubungan setelah puluhan tahun terpisah. Ia membutuhkan lelaki sebagai imam dan pelindungnya dalam perjalanan hidup menyendiri. Ia juga mempertimbangkan posisi Sena sebagai seorang petugas kepolisian, yang mungkin saja suatu saat bisa membantu mempertemukan kembali dirinya dan anak dari pernikahan pertama yang dibawa mantan suaminya.

Sudah hampir sepuluh tahun, sang mantan suami berpindah dan memisahkan anaknya. Tanpa kabar sedikitpun. Selama ini Anita hanya bisa berpasrah dan berdoa jika Tuhan akan memberinya jalan kemudahan.

Tak diduga pertemuan di acara reuni SMA itu ternyata menjadi jalan terbukanya kehidupan baru bagi Anita dengan harapan bisa melanjutkan usahanya untuk menemukan anak pertamanya.

Perpisahan tidak seharusnya jadi malapetaka tanpa ujung bagi anak jika saja para orang dewasa yang terlibat tetap mengingat satu hal: mereka tetaplah orang tua. Anak-anak memiliki perspektif tersendiri tentang perpisahan orang tua mereka. Mereka menarik kesimpulan yang mungkin tampak tidak masuk akal bagi orang dewasa, namun sangat masuk akal di mata anak tersebut. Kesalahan penafsiran ini terus melekat di benak mereka.

Seharusnya setelah hubungan itu berakhir dan konflik yang sudah berlangsung lama juga usai, para ibu dan ayah bisa fokus lagi kepada anak-anak mereka. Namun, banyak anak tidak mendapatkan informasi latar belakang yang cukup. Mereka memang bisa merasakan ketegangan atau permusuhan di antara orang tua mereka, tetapi tidak mengerti sumbernya.

Pemikiran seperti itulah yang lebih dulu mendarat di otak Indah jika ia memaksa untuk berpisah dari Sena. Ada banyak hal yang harus ia pertimbangkan. Meskipun tidak terlalu tertarik dengan masa lalu Anita, sedikitnya ia mendengar kabar itu dari Sena. Sebab itulah Indah kini berada pada posisi yang sangat tidak menyenangkan.

Di sati sisi ia harus menyelamatkan kewarasan pikiran dan mentalnya, di sisi lain ia harus mencoba bercermin dari kondisi yang dialami Anita dan anaknya setelah perpisahan terjadi.

Apakah untuk menyelamatkan dirinya, ia harus mengorbankan kedua anaknya dan melukai Dion yang juga anak Sena? Lalu Anita akan kembali pada kondisi yang sama seperti kemarin.

Sesungguhnya Indah tidak memiliki ketegaan seburuk itu.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ