32. Bab 32

40 7 0
                                    

Pesan dari pemilik rumah kembali memenuhi layar datar milik Nadia, bermaksud menanyakan kelanjutan masa kontraknya. Jika tidak berlanjut, maka si pemilik akan segera bertindak untuk mengiklankan rumahnya lagi. Demi menghindari kekosongan terlalu lama, sementara dirinya tinggal di luar kota.

[Maaf, Bu Nadia, sekadar mengingatkan. Sisa dua bulan kontrak rumah selesai, apakah mau lanjut?]

[Mohon info sebulan sebelumnya, ya, Bu. ]

Tak langsung membalas, Nadia masih berpikir ulang jika memungkinkan bisa membayar setengah tahun. Dengan demikian, ia tidak harus mengangkut semua barang ke rumah ibunya. Mencoba bertahan dengan keadaan untuk tidak kembali ke rumah itu. Kepalanya terasa pening, untuk semua yang berkaitan dengan kehidupan di kotamya tinggal, ia harus berpikir dan memutuskan sendiri bagaimana seharusnya.

Berkali-kali diskusi dengan sang suami, akhirnya keputusan akhir tetap diserahkan kepada Nadia.

[Bu, maaf, kalo kontraknya diperpanjang enam bulan apakah bisa? Karena untuk saat ini keadaan tidak memungkinkan untuk membayar full satu tahun.]
Nadia mencoba bernegosiasi dengan si pemilik rumah.

[Baik, Bu. Tidak apa-apa. Kami pun memaklumi leadaan sekarang sedang tidak stabil.]

Melihat jawaban si pemilik rumah, Nadia bernapas lega. Tinggal meyakinkan Tama untuk menyediakan dana sewa, apakah ia bersedia atau ada pemikiran lain. Segera Nadia melakukan panggilan telepon.

"Assalamualaikum, Sayang." Suara bariton khas milik Tama memenuhi ruang dengar saat sambungan diangkat.

"Mas, pemilik rumah bertanya lagi mengenai kelanjutan sewa rumah. Terus aku meminta keringanan pembayaran sewa untuk enam bulan. Menurutmu gimana?"

"Dia jawab apa?"

"Dia sendiri gak keberatan, malah sangat paham kalo keadaan saat ini memang sedang tidak stabil."
Terdengar embusan napas berat.

"Kalo menurutmu itu ide bagus, aku gak masalah. Jadi kamu tidak perlu repot dengan kondisi masih genting begini. Kapan harus melakukan pembayaran?"

"Kalau memang sudah pasti, bisa dibayar saat tanggal kontrak habis, Mas. Jadi tidak perlu membayar dari sekarang. Kan, masih ada sisa dua bulan." Nadia menerangkan.

"Oke, baguslah. Kamu baik-baik, ya, di sana. Mana anak-anak?"

"Mereka di kamar sedang tidur."

"Good, biar gak selalu dengan ponsel. Mas, selesaikan kerjaan dulu, ya. Assalamualaikum."

"Iya, Mas. Waalaikumsalam."

Terkadang Nadia merasa kehidupan rumah tangga yang ia jalani sangat monoton. Setiap hari komunikasi dengan Tama tak pernah berubah, seperti pesan template yang sudah disetting. Jika tidak ada pembahasan penting lain, maka percakapan pun terhenti. Meskipun Nadia selalu berusaha mengajak berkomunikasi lebih lama saat menelepon.

Ia ingin tak hanya melulu soal bertanya kabar atau diskusi tentang keperluan anak atau kebutuhan rumah, tetapi ia pun ingin bercerita, didengarkan atau sekadar berbagi keluh kesah. Namun, seringnya Nadia merasa seperti ditinggalkan saat hendak bercerita, lantas Tama begitu cepat menyudahi percakapan. Yah, memang Nadia tidak dan belum sempat berkata meminta untuk didengar.

Mengharapkan kepekaan dalam hubugan jarak jauh, bukanlah hal yang tepat dan bijak. Mengingat kembali apa yang terjadi dengan suami kakaknya, Nadia berpikir setiap rumah tangga mengalami ujian yang berbeda. Tuhan tidak oernah salah dengan desain takdir yang dibentuk untuk masing-masing manusia.

Musibah ataupun kejatuhan berkah melimpah, itu semua adalah rezeki yang Tuhan antarkan dalam bentuk yang berbeda. Dimana setiap manusia diuji, akankah lulus melewatinya. Genangan bening diambang pelupuk tertumpah deras. Ia menyeka kasar deraian yang kian menderas itu. Sesaknya tidak hanya dirasakan rongga dada, tetapi memenuhi isi kepala.

Betapa menyadari dirinya begtiu kurang bersyukur dengan melakukan kebodohan beberapa tahun silam. Benar kata Nindi dulu, jika saja tidak dengan nafsunya mengikuti saran kawan Nadia, Ferli, mungkin tidak akan pernah terjadi kemalangan yang merugikan hingga bertahun-tahun.

Sekarang, Bu Rosmia pasti tengah nelangsa dengan kabar buruk si sulung kebanggaannya. Dulu, dirinya yang membuat sang ibu kecewa. Meskipun Nina tidak secara langsung yang melakukan kesalahan itu.

Bunyi notifikasi pesan berkali-kali bertabuh dari ponsel Nadia. Ia hanya meliriknya sekilas, paham bahwa banyak chat customer yang harus ia tanggapi. Matanya langsung menangkap pesan nomor yang tersimpan dengan nama ibuku.

[Nad, gimana, kamu jadi pindah kapan?]

[Bu, Nadia sudah diskusi dengan Mas Tama dan pemilik rumah kontrakan, kalau Nadia akan masih memperpanjang kontrak enam bulan kedepan. Maaf, mungkin belum ada rencana pindah.]

Setengah hati Nadia merasa kasihan apda sang ibu yang kini tinggal sendiri, selama Nindi masih tinggal di tempat Rizal bekerja. Setengah hati lainnya, ia masih tak ingin kembali ke rumah itu. Sedikit banyaknya kekecewaan mendalam masih ia rasakan larena sikap Bu Rosmia terhadapnya. Meskipun dirinya sadar, kekecewaan itu banyak berasal dari kecerobohannya.

Kenangan waktu jualan kue, kenangan waktu menjadi penata busana berkat keterampilan yang didapat saat masih kerja dulu. Kenangan yang tak mengenakan saat dikomplain customer. Dimana semua kemarahan dilimpahkan pada kedua jagoan kecilnya, tanpa berpikir betapa terlukanya mereka.

Seperti kehilangan akal, setiap Nadia merasa kesal, ia tak akan berhenti berteriak pada Arkan dan Jodi sampai merasa benar-benar puas.
Sering! Dan itu terjadi saat usia mereka masih balita, bahkan batita. Semua teori-teori parenting yang pernah ia ikuti dan pelajari, menguap begitu saja. Jalan ninjalah yang banyak digunakan.

Ketika kedua bocah itu meributkan hal-hal sepele, tanpa pikir panjang dan tanduk di kepalanya mulai keluar, maka bentakan lah yang ia gunakan untuk membuat mereka diam.

Di sini, di rumah kontrakan hanya ada mereka bertiga. Jika tanpa kedua malaikat kecil itu, Nadia akan merasa terasing dalam kesendirian. Ia benar-benar merasa Tuhan mengirimkan mereka itu adalah sesuatu yang tepat, karena Tuhan Maha tahu jalan seperti apa yang aku lalui.

Nadia gegas berlari menuju kamar di mana kedua bocah kecil itu tertidur. Diciumimya telapak-telapak kecil itu, dahi-dahi dan pipi-pipi dengan kulit yang masih mulus, bau khas bayi masih segar menguar di indera penciuman.

"Maafin Mama, Sayang. Maafin Mama, Nak." Derai-derai kristal bening diiringi entakan sesak membuat tubuhnya berguncang dalam isak yang tertahan.

Notifikasi pesan masih terus berdentang. Nadia segera membenahi diri. Ia harus tetap melakukan tugasnya jika masih ingin mendapat pendapatan dari pekerjaan tak tentunya. Namun, tujuan utamanya beralih ke pesan Bu Rosmia yang baru saja mendarat.

[Iya, tidak apa-apa. Nina katanya mau pulang untuk mendinginkan pikiran selama beberapa waktu.]

[Kemarin dia sempat ragu pas denger kamu juga mau pindah lagi ke rumah.]

Isakan Nadia benar-benar terhenti setelah membaca pesan Bu Rosmia tentang Nina. Ia merasa jika kakaknya itu masih enggan bertemu dengannya karena perihal waktu itu.

Mengetahui itu, Nadia jadi urung untuk melanjutkan permintaan bantuan kepada Mas Sena, itu pun karena ibunya yang mendesak. Selain segan terhadap kakak iparnya, Nadia pun ragu jika mengumbar masalah yang dihadapi suami kakanya, justru akan membuat tersebar kemana-mana.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu