7. Bab 7

65 15 0
                                    

"Ma, aku mau mainan kayak Farihana." Arkan mulai merengek sepulang dari sekolah. Nadia bahkan belum sempat melangkah masuk rumah. Ia masih mengemasi tas kedua bocah kecilnya yang bergelayut di motor.

"Bentar dulu, ah. Mainan apaan, sih. Baru dateng, kok, ribut mainan. Emang ada Farihana waktu kamu di rumah Nenek?"

Nadia menyusul kedua bocah yang langsung bergeletakan di lantai. Ibu muda itu menumpuk tas dan berkas sekolah anak-anak ke laci biasanya. Mendengar perkataan mamanya, Arkan hanya mengangguk sambil menatap wajah sang mama.
Selama Arkan ditinggal Nadia di rumah ibunya ke Jakarta, ia sempat bermain dengan Farihana, anaknya Kak Nina yang bungsu yang biasa dipanggil Nana. Nina adalah kakak tertua di keluarga Bu Rosmia. Nadia anak kedua dan Nindi bungsu.

Mereka bermain mainan baru Farihana yang baru saja dibelikan ayahnya. Sebuah gamepad. Ia merengek karena masih belum puas bermian mainan itu, bahkan sampai harus berebutan dengan Jodi juga. Melihat ketiga bocah itu rebutan mainan, ayah Farhan memisahkan mereka bermain dan membatasi memainkan mainannya. Sebab itu Arkan mencoba peruntungan meminta dibelikan kepada Nadia.

Saat kembali dari Jakarta, Nadia tidak melihat ada kakaknya di rumah sang ibu. Sebab itu ia tak menyangka saat Arkan mengatakan mereka bermain dengan Farhan. Kak Nina tinggal di luar kota. Sulung Bu Rosmia itu jarang sekali pulang, bahkan sekedar menengok Bu Rosmia sekalipun. Ia biasanya mampir ke rumah jika ada hal yang sangat mendesak dan tentu saja ada kaitan dengan kebutuhan atau keinginannya. Namun, ia begitu mendapat tempat di hati Bu Rosmia.

Kelulusannya dengan nilai baik dari universitas ternama di Bandung, membuat Bu Rosmia membanggakan sulungnya kemana-mana. Berkarir di perusahaan BUMN dan menjadi seorang ASN adalah keinginan setiap orang tua, dan itu berhasil didapatkan oleh Kak Nina. Jadi, wajar jika ada kebanggaan yang tak henti-henti dari sang ibu. Meskipun banyak hal di luar logika yang diminta Kak Nina selalu disetujui Bu Rosmia tanpa menunggu berganti hari. Sampai menikah dan tinggal di Bandung, Bu Rosmia selalu menyempatkan menengok tiga cucu kesayangan ke Bandung setiap bulan.
Nadia berpikir, kenapa mereka tidak menginap? Supaya bertemu Nadia dan Nindi, walau hanya sebentar. Bu Rosmia pun tidak memberitahukan tentang kedatangan Kak Nina. Entah, mungkin tidak begitu penting diketahui Nadia.

Sekali lagi Arkan merengek meminta mainan serupa. Nadia yang baru saja ingin beristirahat, bukan saja karena lelah setelah bergelut dengan udara panas Cirebon yang seperti biasanya, tetapi urusan yang berbelit-belit membuatnya masih tidak mampu berpikir dengan tenang. Ia berusaha tidak menghiraukan keinginan Arkan, karena itu akan membuat pikirannya makin penuh. Namun, Arkan terus saja merengek sebelum mendapat respon.

"Bisa diem dulu, gak! Baru sampe, Mama capek, pusing. Udah, nanti aja mainannya. Sekarang kalian mandi sana, ganti baju. Mama buatkan makan." Tak jarang, saat Arkan atau Jodi meminta sesuatu di waktu yang kurang tepat dengan kondisi mood Nadia, mereka langsung mendapat tekanan atau bentakan.

Cara itulah senjata pamungkas Nadia untuk menghentikan keributan jika dirinya tengah dilanda keribetan. Setelah kedua bocah itu pun tenang dengan sendirinya dan pikiran Nadia kembali normal, barulah ibu muda itu menghampiri dengan perasaan menyesal.

Permintaan sederhana seorang anak yang diutarakannya, semata-mata hanya mengharapkan perhatian, meksipun tidak dikabulkan. Namun, seringnya Nadia mendahulukan emosi daripada menenangkan hati bocah kecil itu.

***

Dilihatnya Arkan dan Jodi masih berkutat dengan ponsel setlah menyelesaikan tugas sekolah.

"Memangnya Arkan mau mainan apa?" Saat kondisinya sudah tenang, Nadia menghampiri anak-anak sambil mengemasi buku-buku yang sudah beres mereka kerjakan tugasnya.

"Gamepad, Ma." Arkan menjawab dengan setengah takut.
Nadia mendekap lembut lelaki kecil berusia delapan tahun itu. Ia mengusap dahi dan rambut Arkan perlahan.

"Arkan doakan Mama, ya, agar Mama bisa belikan mainan baru buat Arkan dan Jodi."

"Benar, Ma?" Arkan terdengar sumringah. Nadia mengangguk, menampakkan garis lengkung di bibirnya. Menatap pupil hitam polos di depannya. Mata itu, jernih tanpa noda kebencian meski tak terhitung berapa kali Nadia mendaratkan kemarahannya. Mungkin saja itu tak terlihat di mata polosnya, tetapi akan diingat dalam otaknya yang masih lembut itu.

Nadia mendekap lebih erat tubuh Arkan yang gempal.

"Maafin, Mama, Sayang. Sekarang tidur dulu, yu. Besok Arkan harus bangun pagi. Kan, masih sekolah lagi." Nadia mengecup dahi lelaki kecilnya.

"Selamat malam, Ma." Arkan balas mencium pipi Nadia.

"Selamat malam, Sayang." Kemudian Jodi pun menghampiri dan mengecup pipi sang mama sebelum pergi tidur.

Kegiatan rutin Nadia setiap hari hanyalah berkutat pada anak-anak, rumah dan berjualan online atau melakukan part time online sebagai customer service. Ia mendapatkan kesempatan itu dari salah satu mentor kelas digital marketing ynag pernah diikutinya. Mentor tersebut ternyata seorang pemilik usaha retail fashion terbesar di Jakarta, dan sedang membutuhkan banyak customer service. Strategi sang mentor membuka freelance sebagai customer service, menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pihak perusahaan tidak perlu membayar sesuai upah minimum, upah dibayar sesuai persentase penjualan. Sementara dari pihak freelancers pun tidak terikat kontrak kerja dan pekerjaan dilakukan dari rumah.

Bukankah sama-sama diuntungkan?

Sekaligus berbagi sedekah kepada mereka yang benar-benar ingin memanfaatkan waktu yang menghasilkan. Memang tidak banyak yang dihasilkan, tetapi cukup membantu saat saldo sekarat.

Selain menjadi freelancers, Nadia juga terdaftar sebagai reseller produk makanan dan kecantikan yang sedang hits. Hari ini banyak sekali chat masuk dari hasil beriklan di salah satu media sosialnya. Memanfaatkan ilmu yang pernah ia ikuti di dunia digital marketing, Nadia berani mengeksekusi iklan produk jualannya. Tersenyum lega Nadia hari ini, dari sekian chat yang masuk, hampir 50% membeli produknya. Tentu saja ia juga masih ingat dengan keahliannya sebagai seorang customer service dan sales yang baik di tempat kerjanya dulu. Namun, seramai apa pun jualannya, jika hanya sebagai reseller, ia hanya mendapat komisi sekian persen. Meskipun hasil omzet penjualannya tinggi. Untuk saat ini, jalan itulah yang terbaik ia lakukan.

Tiba-tiba notifikasi pesan masuk, menghentikan konsentrasi jualannya. Nadia langsung mengalihkan perhatiannya melihat pesan dari Nindi.

[Mbak, kemarin lalu, Kak Nina dateng ke rumah Ibu.]

[Kita gak sempet ketemu]

[Ibu bilang, dia mau minta hak waris atas tanah bagiannya itu untuk dijual saja.]

[Tapi Ibu bingung mau jual ke mana, ke siapa dalam waktu dekat.]

Deg!

Nadia sudah merasa ada sesuatu tentang Kak Nina sejak Arkan mengatakan kedatangannya ke rumah Ibu, pasti bukan tanpa alasan. Informasi Nindi memberikan jawaban atas dugaannya itu, dan dari pesan terakhir Nindi sepertinya Ibu Rosmia menyanggupi. Nadia tercenung, sementara dirinya yang perlu dibantu, tetapi bantuan itu diberikan san Ibu kepada yang tidak terlalu urgent. Namun, Nadia pun menyadari kesusahannya adalah karena kebodohannya. Ia membuang napas kasar.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon