42. Bab 42

41 6 0
                                    

Nadia tertegun setelah menerima telepon dari sang suami yang menceritakan kisah Mas Sena dan istrinya. Rasanya mustahil ada perempuan yang mampu menerima begitu saja pernikahan kedua suaminya, meskipun tanpa surat resmi. Tetap saja ada hati yang terkhianati, entah alasan apa pun di balik Sena melakukan itu.

"Sudah makan, Mas?" Nadia mencoba mencairkan kebekuan otaknya yang masih terserap cerita Tama.

"Sudah. Kamu dan anak-anak gimana?"

"Alhamdulillah kami sehat, Mas. Terus gimana keadaan Mbak Indah sekarang?"

"Dia bilang, sih, baik-baik saja, tapi tidak tau dalam hatinya. Aku udah sarankan kalau mau Sena menceraikan Anita, bisa saja. Apalagi pernikahannya belum masuk pengadilan negeri. Tinggal turunkan talak, selesai. Anaknya biar Mas Sena yang tanggung jawab."

Penjelasan Tama kali ini membuat Nadia sedikit meregangkan ketegangan di otaknya. Masuk akal, karena bagaimana pun anak itu sudah terlanjur lahir. Meskipun dalam hati Nadia tetap menolak restu untuk poligami.

"Tetep aja kesel, Mas. Kalo aku, sih, gak mau. Mending pisah, bawa anak-anak."

"Yakin?"

"Yakinlah. Buat apa bertahan dengan orang yang udah membagi hati. Kita para istri udah capek ngurus anak, masih juga sakit hati. Mending merdeka." Nadia sedikti memberikan kalimat sindiran.

"Ya, itu, kan, kamu. Bukan Mbak Indah."

"Jadi, Mas maunya aku kayak Mbak Indah. Nerimo aja kalo tetiba kamu nikah diam-diam, gitu?"

"Loh, kok, malah aku yang disalahkan. Aku, kan, hanya menanggapi pendapatmu. Pendapatmu tadi, kan, beda dengan isi kepala Mbak Indah."

"Memang, ya, meminta maaf itu jauh lebih mudah daripada minta izin. Makanya banyak para suami yang nikah diam-diam, lalu menggampangkan perasaan istri pertama. Aku gak akan terima, ya, Mas. Gak bakal!"

"Kok, aku yang dimarahi? Kan, sedang membahas kasus Mas Sena dan Mbak Indah. Memang susah kalo membahas soal ini sama perempuan. Terlalu terbawa perasaan." Tama terkekeh mendengar kalimat panjang istrinya yang makin geram dengan kakak iparnya.

"Awas aja, kalo kamu begitu. Mending bilang di awal, biar jelas. Jujur, kan, lebih enak."

"Emangnya kamu menerima kalo jujur di awal?" timpal Tama sengaja membuat Nadia makin panas.

"Gaklah! Maksudku mending pisah aja. Silahkan pilih yang baru. Kalo diam-diam, lalu ketauan. Gak akan kukasih ketemu anak-anakku dengan kamu."

Tama semakin tergelak mendengar respon istrinya.

"Hey, itu, kan, bukan aku. Hanya nanya aja."

"Kok, nanyanya gitu? Jangan-jangan kamu punya rencana, nih!" Nadia terus membujuk otkanya untuk menyerang sang suami. Siapa tahu benar, Tama akan keceplosan atau menjujurkan sesuatu.

"Mulai lagi aneh-aneh. Aku ini bukan Mas Sena atau orang lain. Aku, ya, aku. Sampai kapanpun tidak akan pernah setuju dengan keputusan poligami atau berpikir mencari yang baru. Kehidupan kita aja masih terus terpisah, kalo ketemu pasti hanimun terus. Mana mungkin aku bosan sama kamu." Tama mulai mengeluarkan jurus gombalan garingnya.

"Bukan masalah bosan, Mas. Tapi kita, kan jauhan terus. Siapa tau kamu gak kuat jauh dari istri, eh, nyari yang deket."

"Aku gak segila itu, Sayang. Aku pernah bilang ujian rumah tangga itu beda-beda. Mas Sena dan Mbak Indah dekat, tetapi harus menerima pilihan berat itu. Kak Nina dan Kang Angga lancar diurusan pernikahan, tetapi godaannya muncul dari harta dan tahta. Kita harus bersyukur hanya diberikan ujian jarak jauh. Percaya sama suamimu ini, Mas hanya berjuang dan bertahan bekerja di sana untuk kalian. Mas mau kita punya istana sendiri. Tidak perlu mewah, yang penting cukup. Mas takut nanti khilaf, karena manusia akan diberikan ujian ketakutan agar kita tetap selalu bersyukur."

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now