18. Bab 18

46 9 0
                                    

"Ndi, nih, ada bebeberapa yang menghubungi Ibu. Tanya-tanya soal tanah itu. Sepertinya ikhtiar ke si Abah itu ada pencerahan." Bu Rosmia merasa yakin kalau usahanya menemui orang pintar itu berhasil.

Beberapa Bukti ia menerima SMS dan chat whatsapp menanyakan tentang tanah yang akan dijual. Padahal semua chat itu datang dari iklan ynag Nadia buat.

"Masa, Bu? Apa bukan dari iklannya Mba Nadia?" Nindi sedikit tidak percaya.

"Jalannya bisa jadi dari iklannya Nadia tapi kalau tidak dibantu ikhtiar si Abah juga pasti tidak secepat ini dapat responnya." Bu Rosmia tetep kekeuh.

"Iya, juga, ya." Nindi menyetujui. "Terus gimana, Bu, apa sudah ada yang deal atau mau liat tanahnya?" lanjut Nindi.

"Belum, sih. Masih nego harga aja. Dari kemairn mentok diharga. Apa kita patok harganya ketinggian, ya?" Bu Rosmia mulai berpikir ulang.

"Kalau ikutin penawaran mereka, nanti rugi, Bu. Biarin ajalah, sampe dapet yang pas dan cocok harganya." Nindi bersaran.

Bu Rosmia setuju dengan pendapat bungsunya, tetapi ia ingat bagaimana Nina selalu mendesaknha untuk segera terjual. Pesan terakhir dari Nina bahkan ia rela saja meski harus dijual murah. Ibu setengah baya itu mulai kebingungan, antara ingin segera menyelesaikan masalah dan sayang jika dijula murah.

"Jadi, harus gimana, Ndi? Kakakmu membujuk terus."

"Bu, Nindi jadi penasaran, deh. Untuk apa, sih, kak Nina mau cepet-cepet dapet uangnya? Feeling, Nindi, sih bukan untuk beli tanah, deh."

"Masa' sih? Jangan suuzon sama kakakmu. Dia bilang ada rencana buka toko di samping rumahnya itu. Ya, mungkin untuk usaha, Ndi." Bu Rosmia merasa kali ini dugaan Nindi hanya menerka-nerka saja.

"Apa ibu ikut saja, saran Kak Nina, ya? Biar sajalah dijual murah asal cepet. Soalnya Pak Hasan juga sudah mulai nanya lagi. Entah Nadia masih transfer cicilannya atau nggak." Sang ibu pun terdesak karena pinjaman bank itu.

***

Trauma Arkan makin menjadi. Ia tak mau lagi masuk sekolah. Nadia mencoba berdiskusi kembali dengan suaminya dan pihak sekolah.

"Mas, bagaimana, ini? Kok, malah makin parah. Aku jadi berpikir negatif sama sekolah itu. Antara ada yang bulky atau ada maksud lain." Nadia menghububgi Tama dengan nada panik dan kesal.

"Kalo Jodi, gimana? Apa ikut terpengaruh?"

"Nah, herannya kenapa cuma Arkan yang mengalami itu."

"Bisa gak kalo kamu coba tanya dan diskusikan dengan pihak sekolah, apa mungkin ada anak jahil."

"Aku usahakan, Mas."

Hidup bertiga dengan sang anak, berjauhan dari suami dan keluarga saja sudah membuat Nadia kelimpungan menguatkan diri. Harus berpikir dua kali lebih cepat dan tepat saat ada sesuati terjadi di luar dugaan. Bahkan ia mempertahankan kesehatan sekuat mungkin agar tidak terlalu sering sakit, karena jika sakit siapa yang akan mengurus rumah dan anak-anak.

Saat-saat seperti ini Nadia benar-benar membutuhkan Tama untuk bisa sama-sama mencari solusi dan menguatkan diri. Kekhawatiran Nadia semakin meningkat. Bukan malah membuat Arkan kembali nyaman, tetapi semakin tertekan.

Nadia berusaha berbicara dengan Bu Vania sebagai wali kelas Arkan. Bu guru itu pun berusaha untuk membantu mencari solusi, meski masih belum pasti.

[Yth, orang tua Arkan. Sehubungan dengan nilai Arkan yang semakin menurun, dengan ini kami beritahukan untuk fasilitas beasiswa Arkan akan ditinjau kembali]
Begitu pesan yang baru saja diterima Nadia dari pihak admin sekolah.

[Saya paham, Bu. Tetapi anak saya bukan tidak mampu, dari awal dia mampu mengerjakan tugas dengan baik. Karena kejadian yang menuatnya trauma secara  berulang-ulang di sekolah, saya mohon peninjauannya ditangguhkan. Mohon untuk dibantu untuk melacak kejadian yang Arkan alami. Terima kasih]

Alih-alih mendapat respon baik, justru Nadia sangat kecewa mendengar kabar dari pihak sekolah. Ia masih penasaran apa dan siapa yang melakukan itu pada Arkan. Pasti ada motif tertentu, desakan hatinya sangat kuat.

Nada notifikasi pesan kembali menerobos ponsel Nadia, dari Bu Rosmia.

[Nad, untuk cicilan ke bank masih lancra, kan?]

[Mohon bantu untuk diteruskan, ya. Karena Pak Hasan mulai mengubungi Ibu lagi. Apa kamu macet cicilan sekarang?]

[Masih, Bu. Mungkin Pak Hasan mau menawarkan kontrak pinjaman yang baru. ]

Di tengah kebingungan, Nadia masih terus ditekan keliarha untuk ikut serta membantu mempromosikan tanah kak Nina.

***

"Pak Anto ke mana, ya, Bu?" tanya Bu Vania kepada Ibu penjaga kanitn sekolah, ketika tak dilihatnya kepala security di sekolah itu. Ia bermaksud ingin meminta bantuan kepada Pak Anto untuk meninjau CCTV di hari kejadian yang menimpa Arkan.

"Loh, Bu Vania memangnya belum dengar, kalo Pak Anto sudah berhenti dari sekolah?"

"Hah, berhenti?" Bu Vania cukup terkejut dengan berita itu karena selama ia bergabung di sekolah itu, Pak Anto termasuk kepala security yang rajin dan tidak pernah lengah melakukan tugasnya.

"Iya, katanya karena Pak Anto sudah tenang dengan usahanya. Semua manusia juga gitu, Bu. Kalo ada usaha sendiri, mending gak usah kerja sama orang, kan, ya." Bu kantin menambahkan. Seraya tangannya sibuk memindahkan gorengan dari wajan ke penyaringan minyak.

Perkiraan Bu Vania rasanya cukup janggal jika karena usaha, Pak Anto rela keluar dari pekerjaan. Sedangkan ia tahu banyak pekerja dinas atau karyawan swasta menjalankan usaha sambil bekerja. Bukankah itu lebih menyenangkan? Walaupun tidak menutup kemungkinan bagi Pak Anto itu adalah pilihan yang lebih baik.

Perasaan penasaran tak menghentikan Bu Vania untuk tidak mencari tahu secara jelas, meskipun itu tidak ada kaitan dengan dirinya. Hanya saja ada hal penting yang ingin ia tanyakna kepada beliau.

Berkat keinginan yang kuat dan keyakinannya membantu anak didiknya yang sedang dilanda trauma karena kejadian "gaib" itu, akhirnya Bu Vania berhasil menemukan alamat rumah Pal Anto.

"Bu Vania, kok, repot-repot." Pak Anto berbasa-basi. Ia membersihkan tangannya yang baru saja menyirami tanaman di kebun samping rumahnya.

Bu Vania menengok kiri kanan dan mengitari pandangan ke seluruh bagian rumah, mencari tanda-tanda usaha yang dijalankan Pak Anto saat ini, yang membuatnya sampai mengundurkan diri.

"Duduk, Bu. Gimana, Bu, ada yang bisa saya bantu?" Tampak Bu Anto membawa namoan berisi air putih dan beberapa gorengan.

"Tidak usah repot-repot, Bu Anto. Saya cuma sebentar, mampir. Tadi kebetulan lewat sepulang dari sekolah," ucap Bu Vania basa-basi, padahal arah rumahnya tidak melewati perkampungan Pak Anto.

"Gak apa-apa, Bu."

"Saya dengar Pak Anto sudah tenang dengan usahanya, makanya sampai keluar dari pekerjaan di sekolah. Saya penasaran, Pak Anto menjalankan usaha apa, biar saya juga bisa ngikutin idenya Pak Anto." Bu Vania mencoba memancing langsung ke titik utama.

Kedua suami istri itu sejenak saling pandang dengan raut yang idak tahu bagaimana menggambarkannya. Lalu tersenyum kaku merespon ucapan Bu Vania.

"Padahal, kan, sayang, Pak. Sambil bekerja, kan, bisa sambil usaha, jadi masih punya tabungan." Bu Vania sudah mulai menangkap sesuatu yang tidak normal dari bahasa tubuh Pak Anto.

"Lah, memangnya Bu Vania tidak tau kalau.... " Istri Pak Anto hampir saja mengatakan sesuatu kalau saja Pak Anto tidak segera memotong.

"Memang begitu, Bu. Kita ada usaha kebun di samping." Bu Anto mendelik dan saling menatap satu sama lain dengan Bu Vania. Padahal Bu Anto hanya ingin mengatakan jika Pak Anto tidaklah keluar bekerja tetapi dipaksa pihak aekolah untuk keluar, atau dengan kata lain dipecat secara halus.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang