41. Bab 41

56 5 0
                                    

Di sudut kota Bandung, Nina semakin kalut. Ia ingin marah tapi Angga sudah tak mungkin lagi menanggapi kemarahannya seperti hari-hari lalu saat mereka masih seatap di rumah megah yang mereka bangun dengan perjuangan. Merintis bisnis dari nol. Dunia memang sering kali membuat mata menggelap.

Hampir dua minggu, kesehatan Caca belum tampak ada tanda-tanda pulih. Nina sudah mencoba saran Bu Rosmia untuk memberi air kelapa campur lemon dan berbagai minuman kesehatan alami lainnya yang tengah booming saat itu. Bahkan Nina menyuruh ART-nya membelikan beberapa dus kaleng susu naga.

"Omaygat!" Rasanya sudah mau pecah kepala Nina. Ia mondar-mandir di luar pintu kamar Caca yang baru saja diberikan obat dan istirahat.

"Nana, Lala!" Nina berlari menuju kamar kedua anaknya yang lain. Ia menengok satu per satu kamar putrinya.

"Nana, sudah makan, Sayang?" Nina merengkuh si bungsu setelah melihat respon anggukannya.

"Sabar, ya, Sayang. Untuk sementara di kamar dulu. Kak Caca sedang sakit. Mama takut kalo kamu dan Kak Lala juga akan tertular."

Nana hanya mengangguk sekali lagi. Setelah mengecup pucuk kepala bungsunya, Nina meninggalkan kamar dan menuju pintu sebelah. Di sana Lala tampak tengah mengerjakan sesuatu. Anak tengahnya itu memang sangat menyukai menggambar. Gadis pecinta anime itu banyak memfokuskan gambarnya pada semua sosok anime kesayangan.

Kali ini bukan sosok anime yang ia gambar, tetapi sebuah rumah bertingkat dengan desain sangat unik. Rumah itu tampak tak berpenghuni, tak terawat dan terlihat potongan gambar lelaki dan perempuan tengah bersitegang. Terlihat dari bentuk mulut yang menganga dengan alis menjungkit, keduanya saling mengadu tatap. Seperti saling berteriak. Di balik kaca jendela, tersembul tiga kepala yang sama-sama menatap ke arah orang dewasa yang tengah bertengkar itu.

Gambar yang cukup rumit bagi seorang anak usia kelas 6 SD, tetapi Lala mengemasnya dengan sangat apik. Bakatnya di bidang seni rupa memang sangat keren, meskipun Lala adalah anak paling pendiam di antara saudaranya yang lain.

Benar kata nasihat seseorang, jika anak kedua itu unik. Ia lebih tegar dan mandiri, jika mempunyai keinginan itu kuat sekali dan tidak mau diatur-atur. Tak banyak kata, tetapi banyak bekerja dan sedikit keras kepala.

Nina tersenyum kecut melihat gambar itu. Pandangannya memburam, kedua sudut kelopak itu menghangat dan melelehkan butiran bening dengan cepat. Segera jemarinya menyeka kasar pipinya yang basah.

Perasaan yang beberapa menit lalu terasa sangat lelah dan kesal luar biasa. Ingin rasanya menjerit. Namun, setelah melihat pemandangan yang terukir di tangan anak tengahnya, Nina meluruh. Seolah-olah gambar itu mewakili isi hati Lala tentang apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya dan bagaimana pemandangan rumahnya saat ini.

Bukan pemandangan yang sesungguhnya, tetapi pandangan orang-orang yang mengetahui masalah keluarganya. Betapa rumah itu sekarang menjadi sesuatu yang sangat kramat karena milik seorang penipu uang masyarakat.

Sanksi masyarakat tak henti dilayangkan kepada keluarga Nina dan Angga, itu cukup mengganggu ketenangan ketiga anak mereka. Terutama Lala yang paling perasa.

"Lala, sudah makan, Nak?" Sapaan lembut itu mengagetkan Lala yang tengah fokus.

Segera Lala menutup gambar itu dengan tangannya, lalu berbalik memindai wajahnya kepada sang Mami. Nina yang melihat ekspresi Lala, bersikap seolah-olah tidak melihat gambar yang dibuatnya.

"Sudah, Mi. Tadi mbak buatkan Lala bubur dan jeruk anget." Lala yang selalu peka dengan keadaan, selalu melakukan inisiatif sendiri tanpa diperintah. Jeruk hangat cukup baik dikonsumsi di saat seperti ini, karena membutuhkan banyak vitamin C.

"Gimana Kak Caca, Mi?" Lala bertanya hati-hati, agar tidak membuat ibunya sedih atau marah. Karena bisa kapan saja kadang Nina menjawab ketus, saat pertanyaan itu mengganggu mood-nya.

"Masih sama, Sayang." Terdengar embusan napas kasar.

"Mi, aku sayang Mami." Keduanya seperti mendapat isyarat hati, langsung berpelukan erat dan menumpahkan tangis.

"Papi kapan pulang, Mi?" Bukan Lala tidak mengetahui berita tentang sang papi. Anak seusianya zaman kini pasti sudah pandai bermain media sosial dan dia pasti sudah membaca keterangan berita-beita itu.

Nina melepas pelukan seraya menggeleng pelan. Masih terlihat Nina menyeka air matanya.

Bagi Nina, selama ini ia terlalu sibuk dengan Caca. Kedekatannya dengan Lala hanya sekadarnya saja. Di saat-saat seperti inilah, Nina baru menyadari bahwa semua kehadiran anaknya adalah penting.

Dalam keadaan terbelenggu seseorang pasti akan banyak meluangkan waktu untuk merenung. Seperti berdiri di depan kaca benggala, Nina bagai melihat pengulangan sejarah saat dirinya masih kanak-kanak. Persis seperti yang ia lakukan kepada Caca, Bu Rosmia pun sama halnya. Selalu paling depan, paling diutamakan.
Lalu, di saat kita tak lagi mampu menumpu kekuatan, maka anak-anaklah yang memberinya kekuatan.

***

Keadaan keluarga besar Angga meminta Nina untuk tetap mengunci diri saat berbagai sumber mencoba mencari tahu. Sebagaimana sebagian besar orang-orang mengetahui jika keluarga Angga cukup punya nama. Selain ayahnya seorang pejabat setempat, mereka adalah pemikik radio daerah.

Apalagi ketika kasus telah naik, ayah mertua Nina memberi saran agar tidak memberikan keterangan apa pun kepada pihak media manapun.

Setiap hari ada saja beberapa wartawan lokal yang mangkal di depan rumah Nina. Tujuannya satu, mencari informasi. Apalagi Angga termasuk orang penting, pasti akan sangat diburu beritanya.

Terlihat tiap pagi hari atau tengah hati saat Nina berangkat kerja sesuai jam tugas, dari dalam mobilnya ia akan menemukan beberapa orang menunggu dan tak jarang mengejar mobil untuk meminta keterangan.

Suara teriakan para wartawan itu kerap kali menyoraki. Nina cukup gentar menghadapi kondisi ini.

"Kenapa para wartawan itu sibuk mengorek berita ini? Sepenting itukah, apa tak sebaiknya cari informasi tentang perkembangan kasus virus dengan segala dramanya?"

Situasi paling tak nyaman selama hidup Nina. Ia sama sekali tidak menyangka akan mengalami hal semacam ini, bahkan rasanya lebih buruk dari berita kematian yang disebabkan virus itu.

Tak hanya membunuh karakter nama besar keluarga, apa yang dilakukan suaminya itu telah membunuh kenyamanan dan kemerdekaan bertumbuhnya ketiga anak perempuan mereka.

"Bu, gimana tanggapan Ibu tentang kasus yang dihadapi Bapak?"

"Bu, bisa berikan keterangan sedikit saja bagaimana awalnya Bapak terjun ke dunia trading? Apakah uang Bapak mulai menipis, sehingga harus menipu uang masyarakat?"

"Bu, infonya dong, Bu?"

"Bu, kami dapat bocoran juga Bapak terdaftar sebagai anggota dewan daerah ya, Bu?"

"Gimana, Bu, apakah sudah resmi jadi anggota dewan?"

"Bu dewan, gimana, nih, Bu. Jawab, Bu. Uang masyarakat kasian, loh, Bu."

Teriakan-teriakan wartawan tiap pagi dan siang selalu menggemuruh, yang kini seolah-olah menjadi santapan rutin saat keluar rumah. Nina hanya mengikuti saran ayah mertuanya untuk tetap bungkam.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang