19. Valley of Triumph

25 5 0
                                    

Karena Ryuu sudah memberitahunya bahwa jalur yang mereka lalui untuk sampai ke Valley adalah jalur awan yang membuat sayapnya tidak akan kehabisan energi, Auris tidak pikir panjang untuk menyanggupi ketika pemuda itu memintanya terbang mengikutinya selama enam sampai delapan jam. Yang luput dari pertimbangan Auris adalah kecepatan terbang Ryuu yang bahkan dalam satu kepakan saja sepertinya sudah melesat sampai belasan meter. Auris harus susah payah mengikis perbedaan jarak, tapi ia rasa jarak mereka malah semakin menjauh.

Gadis itu sempat berpikir kalau Ryuu memang sengaja akan meninggalkannya. Namun akhirnya ia menyadari bahwa Luka terbang tepat di samping kanannya. Tidak mungkin Ryuu akan meninggalkan Luka juga, kan?

Auris ingin mengobrol dengan Luka, sekadar mencairkan kecanggungan yang ada di antara mereka. Selama masih di Sanctuary, Auris sudah beberapa kali mencoba memulai pembicaraan dengannya, tetapi suaranya seakan dianggap sebagai angin lalu. Ia tidak tahu apa salahnya sehingga Luka bersikap begitu dingin hanya padanya. Di titik itu, Auris sudah tidak tahu lagi cara apa yang bisa ia lakukan untuk mendekatkan diri pada Luka. Bermusuhan dengan seseorang yang dekat denganmu itu… tidak enak.

Saat Auris harus susah payah menjaga kepakannya agar tetap stabil dan tidak melambat, dilihatnya Luka terbang dengan santai. Jubah hitam dengan bagian dalamnya yang merah mengepak ringan sekaligus bertenaga. Entah bagaimana, topi lebar yang selalu ia gunakan tetap terpasang di kepala, tidak terlempar angin. Ia juga tidak mengenakan topeng. Dengan kecepatan terbang seperti ini, bukannya angin akan menampar-nampar wajahnya?

“Lelet! Bisa terbang lebih cepat, tidak? Aku tidak bisa berada terlalu jauh dari Ryuu, tahu!”

Auris sedikit tersentak mendengar Luka yang berbicara tiba-tiba. Bukan karena isi perkataannya, tapi karena Luka yang lebih dulu berbicara pada Auris.

Tidak sempat memikirkan jawaban dengan hati-hati, Auris hanya menjawab dengan terbata. “Ta-tapi aku sudah berusaha mengepak secepat mungkin.”

“Berarti kepakanmu tidak cukup kuat!” Luka bahkan tidak repot-repot menyembunyikan kejengkelan dari nada bicaranya. “Padahal dulu kau bisa terbang secepat itu.”

“Maaf?” Auris tidak mengerti dengan kalimat Luka yang terakhir. “Tapi aku baru belajar terbang jarak jauh dari Kak Ryuu beberapa hari yang lalu.”

“Pura-pura lupa, hah?” todong Luka dengan nada menusuk.

Namun, mau dipikir bagaimanapun Auris tetap tidak mengerti. Apa yang dimaksud Luka dengan ‘dulu’?

Hanya ada suara kepakan jubah dan angin yang berembus di antara mereka karena Auris terlalu kebingungan untuk menjawab. “Apa… kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Tidak.”

Jawaban Luka membuat kebingungan Auris bertambah. “Kalau begitu apa maksudnya dengan kata-katamu tadi?”

“Yang mana?”

“Barusan Kak Luka bilang, kalau dulu aku bisa terbang dengan cepat.”

Luka hanya berdecak. “Sudahlah, lupakan saja semuanya. Lupakan!”

Dari nada bicaranya, jelas-jelas ia sedang kesal. Auris tidak bisa membedakan apakah Luka sedang berbicara sinis, sarkas, satire, atau memang benar-benar bermaksud seperti itu. Namun kalau Luka sendiri yang menyuruhnya begitu, Auris bisa apa? “Oke, percakapan tadi akan kulupakan.”

Sesudah itu Luka tidak bicara apapun lagi, tetapi Auris bisa melihat matanya yang melebar bergerak melirik singkat ke arahnya. Auris tidak tahu apakah ia harus bersyukur atau khawatir karena tidak bisa melihat ekspresi wajah Luka saat ini.

Kemudian tidak ada lagi dari mereka berdua yang bicara. Kecanggungan kembali terbentuk. Auris buru-buru memikirkan topik pembicaraan karena setelah ini Auris ragu ia akan punya kesempatan lain untuk berbicara empat mata seperti ini dengan Luka.

ProphecyWhere stories live. Discover now