13. Light Catcher

21 7 0
                                    

"Auris, aku tidak punya banyak waktu."

Tersentak dari lamunan, Auris langsung menyambar tangan hangat Ryuu. Gadis itu baru sadar kalau tangannya sendiri gemetar dan berkeringat dingin. "Ma-maaf…"

Tanpa menggubris suara Auris yang terdengar seperti decit hewan pengerat, Ryuu menarik tangan ramping itu dan membawa Auris terbang. Secara refleks Auris mempererat genggaman tangannya.

Mereka mendarat di puncak gunung, titik tertinggi di pulau utama Sanctuary. Debur air terjun di bawah mereka terdengar jelas bersama dengan dengung suara manta yang terbang di sekeliling pulau. Dari sini Auris bisa melihat hamparan laut tak berujung dengan makhluk serupa manta tapi juga mirip ikan besar yang melompat dari dalam laut. Lalu jauh di atas permukaan laut, beberapa pulau kecil mengambang di langit. Lebih tinggi dari itu ada sebuah pulau yang seolah mengintip dari balik awan tebal.

"Kamu takut ketinggian?"

Suara Ryuu mengalihkannya dari pemandangan Sanctuary. Buru-buru Auris menggeleng. "Tidak takut."

Daripada jawaban dari sebuah pertanyaan, ucapan Auris terasa lebih dimaksudkan untuk dirinya sendiri. Ada sedikit rasa tak nyaman saat berada di ketinggian, tapi ia tak boleh terus begitu.

Sebagai makhluk yang bisa terbang aku harus tidak takut dengan ketinggian.

"Bagus. Kalau begitu sekarang cobalah untuk terbang ke pulau itu." Ryuu menunjuk ke arah selatan.

Auris mengikuti arah telunjuk Ryuu, lalu menggosok mata, memastikan ia tidak salah lihat. Mungkin cahaya yang terlalu terang dari langit membuat matanya tak fokus. "Ke… pulau kecil melayang di sana?"

"Bukan yang itu." Ryuu mendekat, menyentuh kedua sisi kepala Auris, dan mengarahkan kepala Auris agar menghadap objek yang ia maksud. "Tapi pulau di atas awan sebelah sana."

Auris melongo. Bahkan di tempatnya sekarang pun ia harus mendongkak untuk melihat pulau itu. Jaraknya membuat gadis itu ngeri. Mana bisa aku terbang ke sana hanya dengan tiga kepakan?!

Tidak, jangan mengeluh. Auris menghirup napas dalam. Kak Ryuu pasti tidak asal-asalan menentukan latihan.

Ia menghela napas yakin sebelum bertanya. "Apa ada tips untuk sampai ke sana?"

Ryuu terlihat seperti berpikir sejenak sebelum memberi jawaban. "Menghemat energi sayap, tak perlu mengepak untuk mempercepat laju, hanya mengepak saat sudah tidak bisa mempertahankan ketinggian, pertahankan ketinggian selama mungkin, atur keseimbangan, rasakan udara di sekelilingmu, dan jaga postur tubuh saat terbang."

Untuk kesekian kalinya Auris hanya bisa diam. Instruksi Ryuu tadi berjejalan di kepalanya tanpa bisa ia pahami secara utuh, tapi ia segan untuk meminta penjelasan sekarang. Ryuu sudah bilang kalau waktunya tidak banyak. Auris harus menyelesaikan latihan ini secepatnya.

Setelah mengingat-ingat postur tubuh saat terbang yang pernah Ryuu ajarkan, Auris pun terbang, mengabaikan kengerian dan fakta bahwa tubuhnya ada di ketinggian yang sama–bahkan lebih–dengan ketinggiannya saat dijatuhkan oleh–

Jangan diingat-ingat!

Auris menepis pikiran buruk yang gemar sekali mengacaukan fokusnya. Ia mengalihkan perhatiannya dengan mengaktifkan kepekaan kulit yang merasakan tekanan udara di sekelilingnya. Beberapa menit berlalu, Auris masih bertahan dengan posisi terbangnya. Jauh lebih lama daripada yang bisa ia pertahankan saat terbang di dekat permukaan tanah.

Namun selang beberapa detik, matanya tergoda untuk melihat ke bawah.

Kalau aku jatuh dari sini, aku akan jatuh ke laut. Setidaknya lebih aman daripada mendarat di aspal, kan?

Tapi bukannya menurut ilmu fisika, kalau sudah dalam kecepatan tinggi, menabrak fluida pun sama sakitnya dengan menabrak benda padat?

Gadis itu meringis. Kenapa malah memikirkan itu?!

Auris melakukan kebiasaannya untuk kembali fokus pada suatu hal setelah teralihkan, yaitu menghirup dan mengembuskan napas dengan mata tertutup. Namun Auris terlambat menyadari kalau melakukan hal itu saat terbang bukanlah ide bagus.

Saat ia membuka mata, laut di bawahnya telah berubah menjadi aspal.

Eh?

Hal yang Auris lihat selanjutnya terasa lambat. Di atas aspal itu berseliweran garis-garis cahaya putih, kuning, dan merah melesat cepat, lurus berlawanan di kedua sisi.

Ini apa?

Pikirannya beku. Otaknya mendadak bekerja lambat, bahkan untuk menyadari bahwa tubuhnya sedang terjun bebas saat ini.

Aku harus memperlambat kecepatan terjun untuk mengurangi rasa sakit akibat benturan…

Baru saja memikirkan itu, tubuh Auris tersentak, mendadak berhenti meluncur. Sentakannya membuat kepala Auris berguncang bersamaan dengan luruhnya apa yang ia lihat tadi. Kemudian tubuhnya terangkat, seolah terbang terbawa angin sampai hinggap di salah satu pulau kecil yang melayang.

Auris linglung. Ia terduduk di rerumputan sambil menstabilkan keseimbangannya yang kacau, yang membuatnya ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya. Seseorang menyodorkan sekantung air minum dan Auris buru-buru meneguknya hingga tandas. Air itu membantunya menyegarkan pikiran dan membuatnya sadar akan suatu hal.

"Latihannya!"

Di samping Auris, Ryuu mengambil kantung airnya sambil menggeleng dan mengisyaratkan Auris agar tetap duduk.

"Ta-tapi aku belum sampai ke–"

"Aku tidak mau mendengar omelan Uri kalau kondisimu tambah parah."

Nada datar dari ucapan Ryuu membuat Auris terdiam, seolah kalimat itu mengandung makna tersirat, melatihmu yang sakit-sakitan itu merepotkan.

Seolah tahu apa yang gadis itu pikirkan, Ryuu menambahkan, "Maksudku untuk seukuran Skykid yang belum berpengalaman terbang, kemampuanmu sudah sangat baik. Lihat, puncak Sanctuary ada di sana dan kau sudah terbang sampai mendekati pulau ini dalam lima menit."

Auris menoleh ke arah yang ditunjuk Ryuu. Memang, ternyata jarak terbangnya cukup jauh, tapi tetap saja ia menghabiskan waktu yang cukup lama untuk jarak yang bisa Ryuu tempuh dalam beberapa detik.

Setelah itu saat hari mulai sore, Ryuu mengantar Auris pulang sedangkan pemuda itu harus pergi untuk melakukan tugas yang lain.

Auris membatin, Biasanya Kak Ryuu pergi untuk melakukan misinya pada pagi sampai malam hari, kan? Dan ia jadi harus mengubah jadwalnya hanya untuk melatihku…

"Maaf, aku merepotkan."

Tadinya itu yang akan Auris katakan, tapi ia sudah mengatakan itu beberapa kali di sepanjang perjalanan pulang dan Ryuu selalu menjawab, "Sudah tugasku." Sepertinya menyebut kata-kata itu lagi malah akan membuat Ryuu jengkel.

Maka Auris kembali menyusun kata dalam benak, dan mengatakannya dengan yakin sebelum Ryuu beranjak pergi dari rumah itu.

"Kedepannya aku akan berusaha lebih keras untuk melakukan semua instruksi dengan baik. Terima kasih sudah bersabar dan meluangkan waktumu yang berharga untuk mengajariku. Semoga misimu berjalan lancar."

ProphecyWhere stories live. Discover now