15. Rhythm

26 7 5
                                    

Setelah menemukan dan membawa tubuh Auris yang nyaris sekarat sebulan lalu, Ryuu benar-benar berharap ia tidak akan pernah melihat tempat ini lagi. Tapi di sinilah ia sekarang, berdiri dengan air hitam kental yang menggenangi betis, membiarkan energi cahayanya perlahan terkuras oleh air itu. Di sekelilingnya, kerangka raksasa yang sudah membatu masih berdiri kukuh. Graveyard, kuburan bagi para makhluk-makhluk purba dan juga mereka. Mereka yang seolah tidak pernah membiarkan Ryuu hidup dan tidur dengan tenang—dan pemuda itu pun sama sekali tak keberatan.

Ryuu mendongkak, mengantisipasi kemungkinan datangnya Krill yang tiba-tiba. Namun suasana Graveyard saat itu sangat sepi. Tak ada gemuruh dari Krill yang sedang terbang, desisan serak kepiting, atau sekadar derak kayu terbakar dari api unggun. Keheningan ganjil yang tak mungkin terjadi di tempat itu. Beberapa saat Ryuu menunggu, tak ada yang terjadi. Merasa tak ada gunanya tetap berada di sana, ia melangkah pergi, sebelum sadar bahwa sesuatu sedang memeluk kakinya.

“Jangan… pergi… Tolong… aku…”

Tidak jelas apakah suara laki-laki atau perempuan, suara itu terdengar serak seolah keluar dari tenggorokan yang tersayat. Ryuu menunduk. Dilihatnya sesosok Skykid yang setengah tergenang di air hitam dan terkapar. Hampir seluruh tubuhnya sudah berubah menjadi batu, termasuk kedua tangan yang melingkari kaki Ryuu.

Ia merinding, tapi cukup tenang untuk tetap mengatur napasnya yang mulai sesak. Ryuu sedikit bergerak, mencoba membebaskan kakinya dari pelukan tangan yang membatu itu tanpa menghancurkannya. Namun kedua tangan dan tubuh itu perlahan hancur, pecah menjadi kerikil dan pasir yang kemudian larut dalam air hitam.

Perasaan Ryuu saat ini campur aduk. Ia pernah melihat orang itu saat masih menjadi Valley Guard. Namun tidak ada bedanya, baik dulu maupun kini, ia tak bisa berbuat apa-apa. Maka ia hanya bisa menatap sisa-sisa tubuh itu dengan datar. “Kalau kau sudah telanjur seperti ini, aku tidak bisa menolongmu.”

“Bagaimana denganku? Harusnya aku masih bisa diselamatkan.”

Ryuu sedikit tersentak mendengar suara yang datang tiba-tiba dari belakang. Ia berbalik dan melihat seorang gadis muda dengan rambut panjang dikepang dua, wajahnya bersih hanya sedikit pucat, dan tubuhnya tak kurang satu apapun selain hilangnya core di dada dan meninggalkan lubang yang membuat darahnya mengalir tanpa henti.

Ah, lagi-lagi darah.

Bau anyirnya yang menyeruak benar-benar membuat Ryuu tidak tahan. Pemuda itu melangkah mundur satu kali, tapi gadis itu pun mendekat selangkah. Merasa tidak ada gunanya jika menghindar, akhirnya Ryuu hanya menutup hidung dengan tangan. “Aku tidak tahu siapa kau.”

Gadis itu memiringkan kepala dengan gerakan yang membuat tulang lehernya sendiri bergemeretak. “Tapi harusnya kamu bisa menyelamatkanku. Aku terbunuh karena kau.”

Ryuu mulai merasa pening. “Bukan aku yang membunuhmu. Aku bahkan tidak pernah bertemu denganmu.”

“Jangan pura-pura bodoh.”

Satu lagi suara di belakangnya. Suara remaja laki-laki. Kali ini Ryuu tidak mau berbalik melihat wujudnya. Suara itu benar. Pikirannya mengiyakan. Jangan pura-pura tidak mengerti dan merasa tidak bersalah, Ryuu.

Suara di belakangnya terdengar lagi. “Kau lebih memilih melindungi temanmu yang pembunuh itu dibanding nyawa kami.”

“Aku tidak melindunginya!” Tanpa sadar, Ryuu meninggikan suara. “Kalian itu hanya moth baru lahir yang belum punya apapun! Walau mati pun kalian bisa—“ Tidak, jangan lanjutkan. Itu terlalu kejam untuk dikatakan.

Suara lain di sampingnya menimpali. “Benar, kan? Kamu memang menganggap remeh nyawa kami.”

Lidah Ryuu kelu. Mendengar ucapan itu langsung dari mulut mereka membuatnya merasa tak pantas untuk membantah. Penjelasan dan pembelaannya tidak akan menghapus fakta bahwa dirinya pun ikut menjadi alasan mengapa mereka terbunuh.

ProphecyTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon