16. Rhythm (2)

24 7 3
                                    

Jemari lentik Auris meraba senar dari harpa yang baru saja ia dapatkan sekitar satu jam yang lalu. Ia tidak membelinya dan juga bukan pemberian, harpa itu tahu-tahu jadi miliknya. Seperti item yang bisa ia unlock setelah menyelesaikan suatu quest dalam game.

Beberapa waktu lalu Ryuu mengajarkannya tentang ‘ruang penyimpanan’ yang dimiliki setiap Skykid. Auris cukup memusatkan pikiran dan menggerakan tangannya ke depan pandangan dan sebuah layar transparan akan muncul di udara. Layar itu bisa menyimpan barang yang cukup banyak, tetapi kapasitasnya tetap terbatas. Layar Auris kini hanya menampilkan icon topeng, pakaian, jubah, dan harpa, juga dua digit saldo candles. Namun Ryuu bilang, semakin banyak skill yang Auris kuasai kedepannya, maka ia akan semakin banyak mendapatkan item lain.

Auris berpikir, mungkin butuh waktu sangat lama untuk mempelajari skill lain dengan kecepatan pemahamannya saat ini. Untuk hal sesederhana memanggil kupu-kupu cahaya seperti yang Ryuu contohkan saja ia butuh waktu sekitar seminggu. Meskipun telunjuknya sampai kram gara-gara terus menunjuk untuk waktu yang lama, saat mendapat harpa itu, kramnya seolah kalah oleh rasa antusias Auris untuk memainkannya. Tidak sabar menunggu pagi dan karena takut mengganggu Uri, Ryuu, dan Luka yang sedang tidur, Auris lebih memilih untuk memainkan harpanya di luar rumah.

Gadis itu tahu bahwa keluar rumah pada tengah malam hanya untuk bermain harpa bukanlah ide bagus. Apalagi saat ia harus mengumpulkan tenaga untuk menempuh perjalanan panjang esok hari. Kemarin sore Uri bilang bahwa di Valley of Triumph akan diadakan festival besar yang selalu ditunggu oleh para Skykid setiap tahunnya. Dan berdasarkan prinsip Uri, di mana ada tempat ramai di situ dagangan bisa digelar. Maka ia akan pindah ke rumahnya yang lain di Kerajaan Valley selama kurang lebih satu bulan untuk berdagang di sana. Di saat yang sama, Ryuu pun harus melakukan sesuatu yang berkaitan dengan misinya di Valley. Maka mau tak mau Auris pun harus ikut ke sana.

“Hanya latihan beberapa menit, setelah itu tidur!” tekad Auris pada dirinya sendiri.

Senar-senar yang dipetik Auris secara acak menghasilkan nada yang entah kenapa terdengar merdu di telinganya. Nada yang membuka inspirasi, yang tanpa sadar menuntun Auris memainkan nada-nada lain, membentuk melodi utuh yang betah Auris mainkan berlama-lama. Suara angin, debur ombak, dan sayup dengung manta seolah menjadi ritme yang mengiringi musiknya. Harpa yang ia mainkan membuat dirinya rileks.

Waktu berlalu dan Auris masih terhanyut dalam musik. Mungkin ia tidak akan berhenti bermain, sampai sebuah suara asing menginterupsi hingga membuat Auris tersentak.

Suara isakan perempuan.

Auris membeku. Hawa angin yang sejak tadi bersahabat tiba-tiba bisa membuatnya menggigil dengan dingin yang menusuk. Perlahan ia memeluk harpanya dengan kikuk. Matanya terbuka lebar memindai, mencari apapun yang mencurigakan. Telinganya pun sudah siap jika ada suara asing yang kembali terdengar. Bahkan tanpa sadar ia memelankan napasnya.

Namun, nihil. Auris tak melihat apapun yang mencurigakan. Langit tetap gelap, alam tetap mempertahankan ritmenya, dan dilihat darimana pun dirinya tetap sendirian di depan rumah Uri. Suara isakan itu pun tidak lagi terdengar, atau memang sejak awal itu hanya imajinasi Auris?

Tapi aku bersumpah suara itu terdengar sangat jelas dan bukan imajinasiku!

Tapi pikiran Auris yang lain kembali menginterupsi. Bukannya justru lebih baik kalau suara isakan tadi itu hanya imajinasi? Seperti kata pepatah, yang ditakutkan manusia itu bukan sendirian dalam kegelapan, tapi bagaimana jika ternyata ia tidak sendirian di kegelapan.

Auris cepat-cepat berdiri. Meskipun sekarang ia sudah bukan manusia, pikirannya tadi tetap dan malah membuatnya semakin gemetaran. Ia harus segera berlindung di balik selimut dan beristirahat untuk perjalanan besok.

ProphecyWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu