1. Bab 1

334 29 4
                                    

Kehidupan yang tidak teruji adalah kehidupan yang tidak bernilai.
_Socrates_

Seperti paralayang yang terbang menukik dari atas bukit, begitu pula dengan konflik yang melayang tanpa memberi ancang-ancang. Bak selayang pandang, secepat itu ia mendekat. Kita hanya harus siap memasang kuda-kuda. Praktis tanggap dengan cara semesta mengungkap fakta. Otak dalam tempurung itu, selayaknya masih bisa membisikkan getaran sejurus pada hati untuk tak lena dengan yang fana.

Namun, jika keinginan lebih kuat dari kebutuhan, maka ketangkasan berpikir pun akan serta merta tertendang, hilang oleh bulus yang berusaha mendapatkan mangsa dengan mulus. Seperti jatuhnya harapan seorang Nadia yang naif, dengan keinginan yang tak mengutamakan kebutuhan. Terperosok janji sang pengepul pundi-pundi dengan ludahnya.

Nadia baru saja menstrater motor, hendak mengantar kedua anaknya berangkat sekolah, saat bunyi notifikasi pesan mencari perhatian. Beberapa menit Nadia tidak membukanya karena diburu waktu, lalu menyusul bunyi panggilan telepon.

"Siapa, sih, pagi-pagi sudah ribut aja? gak, tau apa ini jam sibuk." Nadia langsung menuju pesan yang terkirim dari kontak yang tersimpan dengan nama Ibuku. Sedikit menahan napas ia membaca pesan itu.

[Nadia, apa kamu sudah transfer untuk cicilan bulan ini?]

[Pak Hasan dari bank itu sudah mengingatkan Ibu. Jangan lupa, segera transfer, ya.]

Nadia mengembuskan napas kasar dan tak langsung menjawab pesan itu.
Ah, tambah pusing rasanya.

Hatinya mulai berdetak tak karuan. Pikirannya melayang entah kemana. Sampai teriakan Arkan mengagetkannya.

"Mama, ayo, kita sudah siap, nih." Arkan yang berdiri bersisian dengan Jodi di samping motor menatap Nadia, menunjukkan wajah cerianya.

Nadia menarik garis lengkung ke atas di bibirnya lalu mengangguk. Ia lekas memasukan ponsel ke dalam tas dan bergegas melajukan motor sebelum terlambat. Dalam perjalanan, pikiran Nadia kusut. Hatinya begitu tercabik-cabik dengan pesan dari ibunya sendiri yang terus saja menuntut pembayaran utang ke bank. Dua tahun terakhir ini, hanya ia yang selalu melakukan cicilan atas hutang-hutang itu.

Sebuah kesalahan dan kebodohan yang Nadia lakukan empat tahun lalu saat dirinya berniat membuka usaha dengan meminjam dana ke bank. Sebagai seorang yang pernah berjuang demi mendapat kepercayaan Ibu, Nadia bekerja keras dan belajar di masa mudanya dengan harapan sang ibu bisa bersama-sama membantu mengembangkan bisnis keluarga.

Semua ilmu selama bekerja dan berbagai seminar yang Nadia ikuti, semata demi bisa melanjutkan usaha keluarga. Setidaknya ia tidak kehilangan pegangan. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, Bu Rosmia merasa tidak percaya dan tidak rela jika usaha itu dijalankan sepenuhnya oleh Nadia. Alasannya, di situlah sumber penghasilan satu-satunya. Kalau diserahkan untuk Nadia, otomatis Bu Rosmia tidak akan mendapat bagian dari pendapatan usahanya. Begitu yang dipikirkan oleh ibu kandung Nadia itu.

Merasa tidak dipercaya sang ibu, lantas Nadia nekad berencana meminjam dana ke bank untuk membuka usaha barunya.

"Lalu, bagaimana dengan jaminannya?" Bu Rosmia menanggapi percakapan Nadia saat membahas tentang rencana pinjaman ke bank.

"Nadia mau pinjam surat tanah rumah ini, Bu. Apa boleh?" Nadia memelas.

"Kalau surat rumah ini yang dijadikan jaminan, sudah otomatis Ibu yang menandatangani pinjaman itu, Nad. Lalu, gimana cicilannya nanti, apa kamu siap?" Bu Rosmia tidak menunjukkan roman lampu hijau.

"Sebagian dana itu akan Nadia masukan ke koperasi simpan pinjam, Bu. Di sana setiap simpanan akan mendapat jasa atau bagi hasil 10% jadi lumayan untuk bayar cicilan." Nadia dengan santai menjawab Bu Rosmia mengenai tawaran yang pernah ia terima dari seorang kawan.

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now