Chapter 32

636 145 30
                                    

Guys.
Minta pendapat, nih.
Kan harusnya sekarang tuh Ercher udah tamat dan usah masuk awal cerita si CHARAEL. Tapi ingat kan karena aku mager jadinya ngaret parah 🥲🥲

Nah, menurut kalian, nih.
Bagusnya aku kebut Ercher biar bisa masuk Charael, atau tahun ini full buat Ercher aja? 🤣🤣 Jadi slow gitu.

Tolong pencerahannya. Karena mood bergantung sama pembaca. Nggak ada pembaca, cerita gk jalan. Wkwkwk

Tengkyu 😘😘

***

Pagi ini pun Ercher tidak muncul di rumah utama. Sejak Keir tak mempermasalahkan Ercher yang pindah tanpa izin ke paviliun, pria itu makin jarang muncul di rumah utama. Dia menghabiskan banyak waktunya di paviliun. Ditambah lagi sekarang dia sudah punya pelayan pribadi membuat Terra rasanya darah tinggi. Membayangkan Ercher di paviliun dengan Vanilla.

"Aaargg! Aku emosi!"

Jeni menghela napas mendengar teriakan Terra. Padahal sarapan baru saja selesai beberapa menit lalu, Terra langsung kembali ke kamar dan memutuskan untuk tidak keluar hari ini karena tidak mau menemui Vanilla.

Jeni bilang kalau Vanilla pagi-pagi sudah muncul di dapur untuk mempersiapkan sarapan Ercher. Yah, wanita itu rajin. Mungkin karena kewajibannya memang untuk melayani Ercher makanya Vanilla sangat rajin.

Tapi omong-omong, Terra melupakan sesuatu. Malam itu wajah Ercher terluka kan? Tetapi kenapa langsung baik-baik saja? Terus juga kenapa pria itu bisa muncul di dalam rumah, padahal jelas sekali Ercher sedang di lapangan beradu pedang dengan Keir?

Terra menatap punggung Jeni. Apa pelayannya itu tahu sesuatu? Kalaupun Jeni tidak tahu, pasti ayah Terra tahu sesuatu. Mungkin ia harus bertanya pada ayahnya melalui Jeni. Karena cuma Jeni pelayan yang boleh mengirimkan surat langsung pada Viscount Bellidona.

"Jeni?" panggil Terra.

Jeni menoleh. "Ya?"

"Ayo kirim surat untuk Ayah."

"Ha?" Jeni langsung menghampiri Terra. "Kenapa Anda bilang pada saya? Kan Anda bisa melakukannya sendiri."

Terra mengangguk. "Aku ingin kau yang mengirim surat."

Jeni memutar bola mata dan menghela napas. "Nona, jangan membuat ulah."

Terra mengerutkan kening. "Aku tidak membuat ulah. Aku jauh lebih tenang setelah datang ke sini. Aku hanya ingin kau bertanya sesuatu pada Ayah."

Jeni menatap Terra cukup lama. Ia bisa menerima ucapan Terra yang barusan. Jeni akui bahwa Terra benar. Setelah tiba di Monsecc, Terra jauh lebih tenang ketimbang biasanya.

Terra yang Jeni kenal nyaris selama setengah usianya, tak pernah setenang sekarang ini.

Terra Silka Bellidona. Putri bungsu dari pasangan Viscount dan Viscountess Bellidona. Putri dari dua bersaudara. Wanita itu kehilangan ibunya saat melahirkannya. Terra tumbuh dengan kurang kasih sayang karena Viscount Philips adalah orang yang sibuk mengurus wilayah.

Terra adalah orang yang berbanding terbalik dengan sang kakak. Karena kakaknya seorang pria, pendidikan diberikan cukup dini agar bisa dididik sebagai calon penerus Viscount. Terra juga dijadwalkan untuk diberikan pendidikan sejak dini. Namun, Terra akhirnya diputuskan untuk mendapatkan pendidik layaknya bangsawan saat usia 6 tahun.

Akan tetapi karena kurangnya pengetahuan, pendidikan Terra terlambat. Philips yang saat itu juga menjabat sebagai menteri perdagangan luar negeri, jarang bisa memperhatikan anak-anaknya. Akibat dari itu Terra tumbuh menyimpang.

The Baron's Heart (Tamat)Where stories live. Discover now