58

67 1 0
                                    


" Dia masih lupa ingatan tapi sikapnya perlahan mirip seperti dulu," gumam Langit membuat beberapa dari mereka senang dan sedih. Ya, tidak sedikit berharap Rheva kembali seperti dulu. Walaupun mereka tersakiti dan diperalat setidaknya mereka merasa aman, ya seperti hidup di dalam sangkar emas.

" Pusing ah, aku mau makan sekarang. Kalau kalian tidak mau makan harap diam."

Reva langsung saja melahap cepat makanan di piringnya sebelum para pria itu mengajukan pertanyaan lagi padanya. Apa mereka tidak merasa lapar? Meja makan itu untuk makan bukannya berdiskusi atau berdebat.

"Oh, uhuk... kenapa lo masih ada disini? Bukannya gue suruh kaka Reno minta lo jaga kamar Zelo?" Tanya Reva ke Bastian yang hanya menaikkan satu alisnya.

"Gue mau pergi sebentar, ada yang mau gue urus."

"Ngurus apa? Lha terus yang jagain Zelo siapa hah?"

"Penjaga disini banyak, bye!"

Setelah kepergian Bastian Reva hanya bisa melampiaskan amarah dengan makanan di hadapannya, mengabaikan keberadaan Naufal yang paling dekat dengannya bergetar takut.

"Lo tenang, Zelo nggak bakal berani ngapa-ngapain lo sekarang," bisik Zayn ke Naufal yang mengangguk ragu. Ya, yang terpenting Reva sudah tahu Zelo pernah membullynya sebelumnya.

"Kalian bertiga sibuk nggak pagi ini? Kita harus berdiskusi sebentar," tanya Angga ke Leo, Adit dan Langit.

"Kalau sebentar, gue bisa luangin waktu," balas Leo diangguki dua lainnya.

Sedangkan disisi lainnya Axel dan David saling berbisik-bisik mengenai apakah mereka harus memberitahu Reva tentang kejadian di kampus kemarin atau tidak. Namun melihat kondisi sekarang ini mereka memilih diam. Beruntung saja hari ini mereka tidak ada jadwal sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini.

"Tengah malam tadi Rheva kirim email yang harus di selesaikan ha...."

Traang....

"Uhuk...uhuk....ouh, gue mimisan?" Tanya Reva lirih namun semua orang bisa mendengarnya karena ruang makan langsung sunyi setelah mendengar suara sendok terjatuh.

"Rhe-Rheva ka-kamu nggakpapa?" Tanya Naufal panik beranjak mendekati Rheva yang masih bingung dengan hidung terus mengeluarkan darah hingga mengotori kedua tangannya." Gue mimisan Fal."

"To-tolong! Bagaimana ini?"

"Tenang, biar aku ambilkan kotak obat!"

Setelah kepergian Leo, Angga segera beranjak mendekati Reva yang sudah berlinang air mata membuatnya begitu panik. Dengan cepat ia memerintahkan seorang pelayan untuk mengambilkan sebaskom air dan kain bersih.

"Om, aku takut hiks...."

"Udah nggak papa, tidak akan terjadi apa-apa," ujar Angga memeluk kepala Reva singkat lalu bergegas membersihkan tangan dan wajahnya yang terkena darah.

"Minggir-minggir, gue datang!"

Leo yang baru saja datang dengan kotak P3K itu langsung saja duduk di kursi yang tadi di duduki Revan, berhadapan dengan Reva langsung. Sedangkan yang lainnya dengan cepat menghabiskan sarapan mereka agar meja makan cepat dibersihkan dan melihat keadaan Reva.

"Kepalamu pusing?" Tanya Leo dan Reva langsung mengangguk. Memang setelah bangun tadi kepalanya sedikit berdenyut nyeri.

"Mu-mungkin karena tadi malam aku tidur terlalu larut dan kemarin terlalu banyak menghirup aroma alkohol jadi....."

"Itu bukan masalahnya, mari kita cek ke rumah sakit," ujar Leo dengan alis menukik tajam. Hal seperti itu bukanlah alasan yang tepat untuknya yang biasa bergaul dengan kehidupan gelap yang seharinya tidak tidur dan sering minum-minuman.

Reva langsung saja menggeleng ribut dengan tangan yang masih memegang tisu untuk menyumbat hidungnya. Ia yakin dirinya hanya mimisan biasa, tidak perlu sampai-sampai ke rumah sakit kan? Jika awalnya dia panik, seketika langsung saja bersikap tenang ketika mendengar kata rumah sakit. Lagipula siapa juga yang akan senang jika akan dibawa ke rumah sakit?

"A-aku tidak apa-apa, ini hanya mimisan biasa aku yakin."

"Kak, kemarin juga Rheva pingsan ketika upacara," lapor Zayn membuat Reva merengut. Apa-apaan itu mengadu? Seperti anak kecil saja.

"Kita ke rumah sakit ya? Hanya check up sebentar," bujuk Leo namun Reva masih kekeuh menolak.

"Rheva dengar, mungkin ada efek samping yang belum di temukan dari kecelakaan kemarin. Lebih baik kamu cek ke rumah sakit ya?" Bujuk Angga membuat Reva menunduk menyembunyikan airmata yang siap turun kapan saja. Ia belum pernah merasakan perasaan seperti ini sudah sangat lama. Perasaan di perhatikan dan dibujuk dengan tulus, mengingatkannya pada keluarga kecilnya yang sudah hancur dan menyisakan dirinya seorang diri.

"Huft, jika aku merasa tidak nyaman nanti aku akan ke rumah sakit sendiri dan berobat secepatnya. Kalian tidak usah khawatir, aku sekarang baik-baik saja," ujar Reva pelan seraya menggendong tas-nya lalu lantas berdiri.

"Aku mau sekolah dulu."

"Gunakan kertu debit ini jika terjadi apa-apa, pin-nya nanti aku chat," ujar Angga menyerahkan salah satu card debitnya dengan raut wajah khawatir.

"Yoo, debit card hehe..... gomawo yeobo," seru Reva senang lalu menyimpannya di saku. Sepertinya om-nya ini tidak tahu kalau dia sudah menggunakan kartu-nya sendiri.

"Bye semuanya, aku berangkat dulu!"

"Nathan! Zayn! Kalian jagain dia, aku yakin dia tidak sedang sehat," pesan Angga membuat kedua cowok itu mengangguk patuh. Tanpa di beri perintah pun mereka akan menjaganya.

•••

"Jadi, anda menerima tawaran saya?"

Nana meremat kedua tangannya yang terasa dingin, perasaannya menjadi bimbang seiring ia memikirkan keputusannya kembali. Tapi bagaimana ini? Bukankah cintanya harus di perjuangkan? Tapi kenapa ia jadi ragu?

"Hahaha... anda ragu? Dengar, nona Rheva sepertinya tidak ada rencana dalam waktu dekat untuk memutuskan kontraknya dengan yang lain karena...... Sepertinya nona Rheva ingin membuat mereka jatuh cinta padanya."

Brakkk

"Bagaimana bisa?"

"Ah, maaf-maaf. Saya hanya reflek, maafkan saya."

Pria dengan topi hitam itu hanya terkekeh kecil sembari mengangkat cangkir kopinya yang masih mengepul. Ia pun mengalihkan pandangan keluar jendela agar perempuan di hadapannya tidak terlalu gugup atau merasa terintimidasi. Namun, sampai kapan ia harus menunggu untuk orang yang ragu sepertinya?

"Anda lihat itu! Perempuan itu bahkan tidak malu memperjuangkan cintanya walau sudah jelas-jelas ditolak, apalagi di depan umum."

Nana mengikuti pandangan pria itu keluar jendela lebih tepatnya kearah perempuan gemuk dengan kotak bekal di tangan kanannya yang sedang berusaha mencoba mengejar seorang pria yang sedang berjalan dengan perempuan lain yang lebih seksi dan lebih cantik. Yang menarik perhatiannya yaitu perempuan gemuk itu masih terus kekeuh menarik lengan pria itu yang jelas-jelas terus mendorongnya kasar dan membentaknya di depan umum. Seberapa besar nyalinya hingga ia tidak merasa sedikit pun malu? Nana jadi prihatin melihatnya, jika perempuan itu sudah jelas ditolak kenapa masih harus mengejar? Seperti tidak ada pria lainnya.

"Anda paham apa yang saya maksud?


Behind The New LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang