72

7 1 0
                                    


"Tuan Reno!"

"Kalian pergilah."

Setelah dua bodyguard yang menghadang Revan pergi, Revan akhirnya memasukkan kembali pistolnya dan hendak melewati Reno ketika lengannya tiba-tiba ditarik kembali." Apa yang prince lakukan?"

Revan yang sudah memastikan koridor ini sepi langsung menghempaskan tangan Reno sedikit kasar," kenapa memangnya?"

"Prince berubah, terlalu gegabah."

Revan berdecih lalu mengalihkan pandangan ke pintu belakang yang terbuka menampakkan halaman belakang yang gelap gulita." Lalu, apakah aku harus menunggu si bajingan itu membunuh Reva juga?"

"Kecelakaan malam itu membunuh keluarga Reva dan si bajingan itu tidak ada sedikitnya tanggungjawab. Apa aku masih bisa bersabar? Reva adalah orang yang aku cintai dan si bajingan itu telah merenggut keluarga dan kebahagiaannya. Apa yang masih bisa di tolerin? Kau pun juga ikut menyembunyikan masalah ini."

"Semua itu ketidaksengajaan! Jika prince tidak diculik, kecelakaan itu juga tidak mungkin terjadi. Seharusnya prince paham!" Ujar Reno menekan semua yang ia katakan, bahkan tanpa sadar kedua tangan yang tergantung itu mengepal kuat.

"Tapi setidaknya dia harus tanggungjawab! Bajingan itu menggelapkan barang bukti dan sekarang kalian tidak mau mengakuinya!"

"Apa kamu menginginkan kakakmu dipenjara?" Teriak Reno murka, bahkan ini kali pertamanya Reno berteriak pada Revan." aku bahkan menyesal telah menjadi kaki tanganmu yang menusuk kakaknya sendiri."

"Aku tidak menawarimu untuk menjadi kaki tanganku," balas Revan dengan enteng, salah satu tangannya mulai memainkan pistolnya dengan acuh," Bagaimana ya perasaan bajingan itu kalau-kalau tahu sebenarnya asistennya telah diam-diam membantuku membentuk kelompok baru tanpa sepengetahuannya. Dia akan marah atau kecewa? Hemm sepertinya aku akan membantumu mengungkapkannya."

"Diam!"

Bogeman mentah itu hanya melayang di udara karena notabenenya Reno itu tidak akan pernah bisa menyakiti Reva ataupun Revan, dengan gusar ia menurunkan kembali tangannya dan berusaha cepat mengontrol emosinya.

"Seperti ini balasanmu untuk kakakmu sendiri?" Geram Reno membuat Revan menaikkan satu alisnya." Memang dia berkorban apa buatku? Dia hanyalah pembawa sial, dia mengacaukan keluargaku dan bahkan seluruh negara ini. Jika saja ia masih bersama laki-laki tua itu, pasti semua akan damai-damai saja."

"Tutup mulutmu itu, dasar adik tidak tahu diuntung. Kenapa kamu bisa berubah seperti ini? Hanya karena gadis itu? Gadis yang aneh sepertinya selalu kamu bela, sedangkan kakakmu sendiri yang selalu mempertaruhkan nyawanya untukmu engkau hina seperti ini. Apa kamu ingat tujuanmu membangun Snowblood? Membantu kakakmu bukan? Apa kau sudah melupakan hal itu bodoh?"

Revan menatap Reno cukup lama dan hanya berdiam tanpa menyanggah perkataannya sedikit pun. Dengan dengusan kasar ia berbalik untuk melanjutkan langkahnya menuju halaman belakang namun terhenti karena Reno menarik kasar bajunya dan memberinya bogeman mentah. Revan yang sedari rumah Reva sudah diliputi emosi membalas bogeman mentah itu dan terjadilah pergulatan sengit. Beberapa penjaga yang mendengar suara perkelahian segera mendekat dan berusaha melerai mereka walau beberapa dari mereka harus mendapat lebam biru.

"Dasar pengkhianat, Eva-ku tidak membutuhkan orang sepertimu lagi. Pergi dari sini!"

"Siapa kau yang berani menyuruhku? Kau hanya babu disini! Jangan kira aku juga tidak tahu kalau kau mencintai bajingan itu!"

"Ada apa ini?"

"Tuan, tuan Revan dan tuan Reno ingin berkelahi," ujar Salah satu penjaga membuat kening Adit berkerut. Pemandangan ini sungguh diluar dugaannya, banyak kejutan yang ia sendiri tidak tahu bagaimana menengahinya.

"Tutup mulutmu! Jangan bicara omong kosong!" Teriak Reno tidak terkendali.

"Aku berbicara kenyataan, kau mencintai Rheva kan? Dasar munafik!"

"Kau yang munafik dasar bodoh!"

"Diam!"

Semuanya bak terkena sihir Elsa yang membuat mereka semua membeku ditempat. Semuanya lantas menoleh ke sumber suara dan mendapati Reva dan Rheva berdiri tidak jauhnya dengan ekspresi yang hampir sama, dingin tidak tersentuh.

Dengan mantap, seseorang yang mendapat gelar Queen mafia di raganya itu berjalan mendekati mereka dan tanpa diduga memeluk Adit tanpa aba-aba. Tangisan yang keras dan tersedu-sedu menggegerkan semua yang menyaksikannya dan Rheva yang berdiri menyaksikannya hanya diam tanpa menegur Reva kalau ia sudah merusak reputasinya. Ini bahkan belum seberapa daripada dirinya yang sudah merusak keluarga Reva.

Para penjaga yang menahan Reno dan Revan lantas melepaskan keduanya saat dirasa keduanya sudah tidak setegang tadi, namun kini mereka lebih waspada ke Rheva yang telah membuat nona-nya seperti ini.

  "Kak Adit hiks... kenapa ini sangat menyakitkan?" Lirih Reva menggenggam erat hoodie Adit sekuat mungkin dengan airmata mengalir deras, entah kenapa ia hanya ingin mendapat pelukan sekarang.

  "Tenang, berhentilah menangis," bujuk Adit seraya membalas pelukan Reva dan mengusap rambutnya pelan.

  "Hiks... kenapa kenyataan ini begitu sangat berat? Apa salahku hiks...."

  Brugh

  "Reva/nona!"

•••

  Angga baru saja menyelesaikan semua tugas yang Rheva berikan dan jam menunjukkan pukul 21.00 yang berarti ia harus pulang. Setelah ia menata berkas-berkasnya dan memasukkan kembali laptopnya, pintu kantornya tiba-tiba terbuka oleh seseorang yang sudah membantu menuntaskan hasratnya yang selama ini ia tahan. Angga tidak menampilkan senyuman yang ia tunjukkan seharian ini namun malah wajah datar dan dingin, pikiran Angga tiba-tiba saja tertuju pada Rheva dengan dada sedikit sesak.

  "Tuan Angga, mau mengantarku pulang? Aku sedikit merasa sakit dibawah jika harus naik motor," rengek Maya duduk di sofa ruangan itu dengan lancang. Namun ia merasa akan memiliki semua ini suatu saat nanti, bukankah atasannya ini sudah menerimanya? Sebentar lagi ia akan jadi nyonya besar pemilik kantor ini.

  "Panggil taksi, saya harus pulang cepat."

  Walaupun Maya senang dilempari beberapa uang merah namun ia juga sedih karena ia tidak jadi dapat tumpangan untuk pulang dan dia tidak bisa pamer ke tetangga-tetangganya yang sering mengejeknya kalau ia sudah perawan tua. "Tenang Maya, jika kecebong itu tumbuh cepat maka kamu akan tinggal dirumah kaya hahaha......cepat tumbuh ya kecebong hahaha....."

   Mobil yang biasanya berkendara pelan itu melaju kencang membelah jalanan kota Jakarta yang masih ramai. Tidak ada yang keluar dari celah bibirnya sedaritadi namun kerutan di dahinya menggambarkan kalau dia sedang bingung dan khawatir. Atensi yang awalnya hanya menatap ke jalanan, tiba-tiba saja teralihkan ke penjual martabak di ujung jalan. Melihat martabak itu, ia tiba-tiba saja teringat Rheva dan ia ingin membawakannya martabak.

  Setelah memarkirkan mobilnya, Angga turun untuk memesan martabak sesekali melihat ke ponselnya untuk melihat apakah ia mendapat pesan dari mansion. Entah kenapa perasaannya hanya ingin pulang cepat dan segera menemui Rheva.

  Driing...

  "Ya."

  "lembur lo selesai belum? Supir mansion tidak dapat dihubungi."

  "Ada taksi."

  "Gue males cari, cepetan gue mau pulang capek."

  "gue juga mau pulang, capek."

  "Anjing, malah lo yang irit bicara. Cepetan, gue tunggu di depan RS. Pulang lo searah nggak usah banyak alesan."

  Pip

  Dengan kesal, Angga mematikan telponnya dan segera mengambil pesanan martabaknya untuk menjemput pak Dokter Leo yang merengek ingin dijemputnya. Walau RS hanya dua belokan lagi, ia benar-benar sepenuh hati ingin segera pulang.

Behind The New LifeWhere stories live. Discover now