60

18 1 0
                                    


  "Mau mengelak? Murid-murid itu ada bukti vidionya! Jangan berpikir lagi kalau harta, tahta dan kejahatanmu dapat berlaku disini. Ingat Rheva, sebelum kamu masuk sekolah ini kamu sudah tanda tangan diatas materai untuk tidak melukai warga sekolah disini. Tapi sekarang apa? Kamu sekarang memukuli temanmu yang kakinya sedang sakit, apa kamu tidak punya hati?"

  "Ibu salah paham, dia duluan yang melakukannya!" Tunjuk Reva ke Rheva yang hanya diam menyaksikan.

  "Benar, tidak seserius itu," sahut Rheva datar membuat bu Windi menunjukkan wajah masam, anak ini pasti diancam terlebih dahulu.

  "Tenang nak, jangan termakan ancamannya. untuk sekarang ibu akan melindungimu, jadi mari kita selesaikan di ruang BK," ucap bu Windi menggandeng Rheva pergi walau si empu-nya juga menolak. Bagaimana ini? Rhva harus memilih melindungi harga diri aslinya atau yang sekarang ia tempati?

  "Sialan, dasar brengsek," umpat Reva pelan lalu mengikuti bu Windi ke ruang BK.

  Lorong sekolah sekarang sudah sepi karena bel sudah berbunyi sekitar 5 menit yang lalu, nmaun bagaimanapun Reva merasa sangat tertekan dan malu pada dirinya sendiri. Se-badgir nya dia, tidak pernah dirinya ingin memukul teman-temannya bahkan sampai tega melakukannya. Mau ditaruh dimana wajahnya sekarang? Bahkan mungkin sekarang ia tidak punya wajah.

  "Ada apa ini bu Windi? Kenapa keduanya babak belur?" Tanya pak Jaya mewakili bu Rumi yang keduanya juga guru BK.

  "Begini pak, keduanya berkelahi ditaman belakang sekolah. Pagi ini, lebih tepatnya Felisya yang menyerang Aristasia. Saya mendapat laporan dari siswi-siswi beserta bukti vidio."
 
  "Jadi kalian dengan mata telanjang melihat mereka berkelahi? Kalian juga tahu alasannya?"

  Salah seorang dari mereka maju dengan butiran keringat dingin di wajahnya karena sedaritadi ditatap tajam si Queen mafia, bahkan kata-kata yang ingin diucapkan tersangkut di tenggorokan karena melirik kedua tangan Felisya terkepal kuat. Baiklah dia mulai menyesali hal yang baru saja ia lakukan, ia terlalu berani!

  "I-iya pak, sa-saat kami bertiga ingin mencari gelang teman kami yang tadi terjatuh ditaman belakang kami tidak sengaja melihat mereka berdua berkelahi. Ka-karena kami tidak akan bisa melerainya dan melihat Reva yang kakinya masih sakit diserang brutal seperti itu, ma-maka kami merekamnya dan memberitahu bu windi," ujarnya dengan cepat menundukkan kepala dengan kedua tangannya dengan cepat berubah menjadi es yang dingin.

  Reva berdecih dan mengusap sedikit ujung bibirnya yang ternyata berdarah. Entah mengapa ia bingung ingin menangis atau tertawa sekarang. Apa-apaan itu, mereka bertiga kasihan pada diri aslinya? Cih,  bahkan waktu dulu saat Reva sedang dihukum mengepel lantai dikamar mandi dengan sengaja ketiganya menumpahkan air pel-nya dan menyebarkan jejak air-nya di lantai lorong sekolah hingga kotor. Huh, perlakuan itu akan ia ingat sampai kapan pun dan ia tidak akan terpedaya dengan bibir semanis madu.

  "Boleh kirimkam ke bapak vidio-nya?"

  "Bo-boleh pak."

  Vidio terkirim, sekarang Rheva dan dirinya duduk berdampingan dihadapan pak Jaya dan bu Rumi diruangan itu. Sedangkan bu Windi dan tiga murid tadi sudah membubarkan diri.

  "Bapak panggil kalian Arista dan Felisya saja ya? Biar mudah."

  Reva mengangguk dan Rheva hanya terdiam. Jujur saja ini kali pertamanya bagi Rheva untuk masuk ke ruang BK karena perkelahian dan ia sedikit gugup.

  "Jadi apa alasan spesifik kalian berkelahi kali ini?" Tanya pak Jaya membuat Reva sedikit bersemangat, ia akan menunjukkan bagaimana ia dipukuli nanti.

  "Hiks...pak! Apa bapak tahu? Hiks....tadi kan saya baru sampai tuh di Sekolah, baru mau duduk tiba-tiba saja Rheva datengin saya terus dia tarik saya ke belakang sekolah. Saya tanya dong ada apa, tapi tiba-tiba dia cengkeram dagu saya begini (Reva mempraktekkan dengan mencengkeram dagunya sendiri) ya saya tidak terima, lalu kita berakhir berkelahi. Jadi pak, saya korban disini," cerita Reva mendramatisir membuat Rheva disampingnya menahan malu. Bagaimana citranya setelah ini? Queen blood tidak pernah mengemis seperti itu.

  "Jaga harga diri Queen mafia bodoh," bisik Rheva sembari mencubit paha Reva keras.

  "Aduh, sakit bodoh."

  "Bagaimana denganmu Arista?"

  Rheva terkesiap sebentar sebelum menatap manik mata pak Jaya dengan berani," tidak seserius itu, hanya bercanda."

  "Bercanda lo bilang? Lihat wajah gue yang lebam-lebam ini! Lo pikir hanya candaan?" Cerocos Reva me Rheva yang hanya melirik sekilas, sangat menyebalkan.

   "Berarti akar masalahnya dimulai dari Felisya?" Tanya Bu Rumi ragu.

  "Ya/tidak!"

  "Siapa yang benar disini?"

  "Saya pak! Bapak ibu tidak lihat saya babak belur disini? Saya itu korban!" Seru Reva tanpa sadar menaikkan nadanya satu oktaf.

  "Kaki saya sakit, bapak ibu pikir saya bisa melakukannya?" Sahut Rheva tiba-tiba membuat mata Reva terbelalak, sepertinya psychopat ini tidak mau kalah.

  "Tapi kenyataan..."

  "Sebentar, disaat kita menganalisis ulang vidio ini. Bukankah yang dominant disini Felisya? Lagipula bukankah kamu juga sering berkelahi dan memegang senjata? Jadi, kenapa kamu malah masih kekeuh menjadi korban?

Ceklek

  "Reva! Reva! Apa yang terjadi sama lo!"

  Keempat manusia yang ada di ruangan itu serentak melihat ke sumber suara, terlihat Aluna dan Revan bergegas masuk dan menghampiri Rheva dengan guratan cemas membuat Reva yang melihatnya langsung cemberut. Seharusnya mereka yang menanyakan hal itu padanya, seharusnya Reva merasakan kekhawatiran Revan secara langsung.

  "Kenapa kesini?"

  "Ya kita khawatir sama lo. Lo tahu nggak? Setelah kita lihat vidio perkelahian lo di grup sekolah kita langsung panik ke sini. Kita harus mastiin lo baik-baik saja. Lo nggak kenapa-kenapa kan?:

  Senyuman kecil terukir di wajah Rheva yang biasanya membeku itu. Dengan perasaan senang ia menepuk kecil punggung Aluna dan mengatakan kalau dia baik-baik saja.

  "Lo ngapain dia hah? Lo itu memang manusia nggak punya hati!" Seru Revan dingin menarik kerah Reva keras membuatnya lantas berdiri. 

  "Apaan sih lo! Kalian itu salah paham!" Balas Reva berusaha melepaskan cengkeraman itu namun tidak berhasil.

  "Revan lepaskan! Kasus ini bisa dibicarakan baik-baik," ujar pak Jaya mencoba melerai mereka.

  "Gue muak sama lo!" Tekan Revan menyayat hati Reva tanpa diketahui. Reva lalu terdiam menatap manik mata Revan yang tersirat perasaan marah dan kecewa bersamaan. Apa ini akhir dari perasaannya? Ia belum siap jika Revan mulai membencinya.

  "Rheva, lo berhasil curi semua yang gue punya," batin Reva yang tanpa ia sadari air matanya mulai menetes deras.

  "Gue sangat kecewa."
 
  Itu kalimat terakhir yang Reva dengar dari Revan sebelum seseorang membenamkan kepalanya di dada-nya dan menepuk punggungnya pelan membuat isakan yang coba ia tahan keluar.

  "Lo cowok bodoh yang pernah gue kenal," ujar Zayn mengusap rambut lembut Reva yang ada di pelukannya.



 

Behind The New LifeWhere stories live. Discover now