65

11 0 0
                                    


  Rheva sedikit terkejut melihat lambang itu dan ia sangat mengenalnya. Namun jika disangkutkan dengan pak Hakim, apa masalah pak Hakim dengan mereka? Hal apa yang membuat pak Hakim ikut tersangkut?

  "Anda punya masalah dengan seseorang?"

  Pak Hakim terdiam lalu mengerang frustasi. Ia tersadar mungkin mereka sekelompok orang dari si Queen mafia, dan sekarang anak istrinya sedang dalam bahaya karenanya.

  "Anda telah menyadari lambang ini bukan? Berarti anda tahu siapa sekarang yang anda lawan," ujar Rheva bersedekap dada dan menatap pak Hakim dingin. Apak pak Hakim bersekongkol dengam mata-mata itu?

  Pak Hakim memutar otaknya cepat, ia langsung berdiri ke ruangannya dan langsung keluar sembari menelepon seseorang. Aluna pun khawatir kalau pak Hakim akan pergi menyusul tanpa persiapan apa pun.

  "Tenang Aluna, paman masih memilili personil. Perlihatkan ini pada nak Reva, paman pergi dahulu."

  "Tapi paman..."

  Setelah peninggalan pak Hakim ruangan itu menjadi sunyi, mungkin hanya ada beberapa suara yang sayup-sayup terdengar dari Aluna yang katanya sedang menelepon ayahnya di dapur. Rheva juga tidak tinggal diam, ia dengan ekspresi kakunya menanyakan informasi ke Rheva tentang apa hubungannya mereka dan pak Hakim sebenarnya. Apa pak Hakim benar-benar bersekongkol dengan mata-mata itu? Tetapi, untuk saat ini Reva tidak menjawab satu pun pesannya.

  "kenapa lo diam?"

  Revan mengangkat wajahnya menatap Rheva dengan perasaan tidak karuan. Sebenarnya pertama kali ia melihat lambang itu ia sudah tahu siapa mereka. Mereka adalah tim paruh Rheva yang jarang menunjukkan lambang mereka sebenarnya. Namun hari ini mereka berani menunjukkan lambang itu berarti pak Hakim benar-benar menjadi sasaran mereka. Bagaimana Revan tahu hal itu padahal Rheva yang asli tidak pernah memberitahu semua struktur tim-nya? Karena pada dasarnya Revan tahu luar dan dalam semua struktur tim Rheva tanpa diketahui.

 "lo tahu lambang itu?" Tanya Revan ke Rheva dengan sengaja mengalihkan topik pembicaraan.

  "Lo disini yang lebih tahu."

  Kedua manik mata itu bersitatap dengan pemikiran berbeda-beda. Yang satu sisi Rheva curiga pada Revan kalau adik kembarnya ini telah mengetahui semuanya secara diam-diam. Rheva tidak mencurigainya secara sembarangan, melainkan melihat gelagat Revan setelah lambang itu dengan gestur bingung telah menjelaskan semuanya. Sedangkan disisi lain Revan bingung dengan diri Reva yang sekarang menunjukkan sisi berbeda, ini lebih condong ke Rheva yang asli membuat pemikiran bodoh itu datang lagi. Jika asumsinya itu benar, berarti ia dibohongi selama ini.

  "Kalian ngapain liat-liatan kaya itu? Ayo pergi ke rumah gue, ada yang mau gue tunjukkin terutama lo Reva."

  "Pulang ke rumah gue, tidak perlu lari lagi."

  •••


  "Ternyata Rheva sialan itu ngincer gue duluan," gumam Reva membuang map pink itu ke tempat sampah di belakang. Dengan kasar ia pun melanjutkan membaca dokumen lainnya sekali-kali mengetukkan bolpoinnya ke kepala agar otaknya mau bekerjasama. Namun bagaimana pun juga ia belum memahami perusahaan selevel ini, jika tanpa bantuan Reno yang senantiasa disampingnya pasti sudah dalam 5 menit belakang tadi perusahaan ini sudah hancur karena ia hampir mendatangani investor licik.

"Huft, kak Reno kapan ini selesai?"

"Apa dokumen kerjasama Z.X Grup dan Metro grup sudah ditanda tangani? Jika sudah saya akan menyerahkannya ke seketaris dua dan mengatur jadwal untuk pertemuan," ujar Reno tanpa mengalihkan dokumen-dokumen yang ingin Reva baca. Jangan sampai ia kecolongan hal 5 menit lalu.

  "Sudah, boleh aku pulang? Badanku pegel," rengek Reva membuat Reno meliriknya sekilas." Masih ada 10 dokumen lagi dan nona bisa pulang."

  Helaan nafas panjang itu kembali dikeluarkan bersamaan dengan pintu ruangan itu terbuka dan menampilkan Langit yang masuk seraya melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Reva yang duduk di kursi Ceo itu menatap Langit dengan senyum yang menurut Langit itu menyebalkan. Dia hanya menjabat sebagai seketaris tapi kenapa harus mengikuti rapat dan segala pertemuan itu? Sedangkan bocah ingusan itu sekarang menatapnya dengan penuh ejek, jika seperti ini kenapa dia tidak sekalian menjadi Ceo hah?

  "Kak Langit, apa seluruh jadwal yang Reno bagikan sudah kakak selesaikan?" Tanya Reva seraya mengambilkan Langit air dari dispenser samping lalu berjalan untuk duduk disampingnya. Ia sedikit meringis melihat lirikan Reno yang duduk di sofa single karena ia meninggalkan mejanya yang penuh dokumen itu.

  "Tuan Gama tidak mau datang ke kantor dan aku harus menemuinya di Bogor nanti. Jadi rapat yang dijadwalkan pukul 7 malam nanti aku tidak bisa handle," jelas Langit menyesap segelas air itu hingga tandas. Tiga kancing atas kemejanya ia buka lantaran merasa sedikit gerah.

  "Tinggal rapat itu dan semuanya selesai?"

  "Iya."

  Reva terkagum dan dengan antusias memijat lengan sedikit berotot milik Langit karena merasa Langit itu sangat hebat dapat menyelesaikan 25 jadwal yang sudah Reno buat. Bahkan dirinya saja hanya mengecek dokumen setengah jam saja sudah mengeluh pegal.

"Anda sudah menemui tuan Heru di caffe Snooze?" Tanya Reno seraya menscrool ponselnya melihat jadwal Reno.

  "Masih ada 10 menit, apa aku tidak bisa beristirahat sebentar?"

  "Bukannya kak Langit harus ke Bogor? Masih harus menghadiri pertemuan lagi?"

  "Setelah pertemuan dengan tuan Heru aku akan langsung ke Bogor. Untuk jadwal pertemuan tuan Heru ini aku targetkan hanya 30 menit dan setengah 5 aku harus sudah meluncur."

  "Fighting kak!"

"Tapi aku gugup jika tidak aada kak langit, bisakah rapat itu daring?" Tanya Reva mengerjakan matanya lucu membuat Langit menghela nafas lelah. "Itu terserah kamu, nanti hanya laporan rutin dari beberapa perusahaan yang kita tanami saham."

  
•••

Ketiga orang tadi akhirnya berada di rumah Rheva dengan paksaan Rheva tentu saja. Ia sedang tidak ingin lari kemana-mana karena menurutnya itu tidaklah berguna, masalah itu harusnya dihadapi dan bukannya dihindari.

  "Gue ambil laptop lo ya."

  Setelahnya Aluna berlari ke dalam kamar Rheva meninggalkan Dua jiwa bersaudara itu termenung di kursi ruang tamu. Ya  hanya Revan saja, Rheva masih memantau perkembangan penyelidikan itu dari ponselnya. Akan tetapi sampai detik ini juga tidak ada berita terbaru membuatnya berdecak kesal karena Reva juga sudah memblokir nomornya hingga membuatnya tersendat informasi.

  "Itu apa?" Tanya Reva membuat Aluna yang ingin memasukkan flashdisk itu menghentikan gerakannya seperkian detik. "Sesuatu yang diupayakan Paman Hakim untuk lo."

  Kepalang penasaran Rheva dan Revan segera mendekat ke Aluna yang sedang memutar sebuah vidio namun masih saja loading. Aluna mengigit bibirnya takut, ia takut kalau vidio ini kosong dan yang dilakukan pamannya selama ini sia-sia. "Nah ini dia!"

Behind The New LifeWhere stories live. Discover now