75

15 0 0
                                    


  "Sebentar, memang ada apa dengan papa?"

  Reva menggeleng ribut, mana mungkin selama ini ternyata ayahnya yang hilang telah menjadi ayah barunya Rheva? Kenapa ayahnya tidak pulang dan mencarinya? Apa ayahnya sudah melupakan keluarganya yang dulu? Kenapa hidup ini penuh misteri.

  "Hiks...ayah kenapa ada disini? Kenapa ayah tidak pulang? Reva rindu ayah," racau Reva mendongakkan kepalanya sebentar untuk melihat ayahnya lalu membenamkan dirinya ke dada sang ayah yang hangat.

  "Ayah tahu tidak? Hiks...semuanya telah hancur ayah, ibu telah me...."

  "Rheva, ada apa denganmu nak?"

  Reva melirik wanita asing berkursi roda yang menyentuh lenganya dengan lembut, perlahan ia mulai melepaskan pelukannya namun tidak mau berpindah tempat. Pandangannya pun ia edarkan kebelakang wanita itu dan mendapati seseorang yang dulu dikenalkan kakaknya tengah berdiri memandanginya dengan bingung.

  "Welcome sobattt!" Sapa seorang laki-laki yang baru saja keluar dari rumah kayu itu.Hem,menurut Reva lebih tampan kakaknya,kapasitas tampan wajah teman kakaknya hanya 80 persen menurut Reva.

  "Yakk Bryan,apa lo punya cctv diluar rumah sampai lo tahu kalau gue sudah dateng ha?" Canda Farel membuat Bryan merangkul pundak sahabatnya itu dan tertawa kecil.

  "Bahkan hanya dengar suara nafas lo aja gue udah tahu kalau itu elo hahaha...." tawa Bryan saat Farel memukul bahunya dengan sengaja.

  Reva sesenggukan melihat kenyataan yang ada di hadapannya, selain ayahnya yang menjadi ayah Rheva ternyata sahabat karib kakaknya dulu adalah kakak kandung Rheva. Tidak Reva sadari kalau selama ini keduanya sudah berkaitan.

  Reva mencoba menetralkan diri, ia pun langsung meminta maaf dan bercanda kalau dirinya tengah memainkan drama. Karena tidak ingin suasana canggung itu terus berkelanjutan Reva langsung pergi ke Bryan dan berbisik kalau dia harus menolongnya. Walau sedikit aneh, Bryan langsung mengubah suasana agar mereka semua pergi ke halaman belakang, disana dia sudah menyiapkan meja besar untuk meminum teh bersama. Jangan salahkan rumahnya yang kecil, suami Reva saja yang terlalu banyak.

  Reva tidak memiliki rasa kedekatan dengan ibu Rheva, Lisya. Namun karena sifat Rheva yang dulu lebih ke tidakpedulian, tidak ada yang aneh dengan perilaku Reva yang gugup dan canggung. Malahan sang ibu, papa dan kakaknya senang jika Rheva sudah mau mendekatkan diri dengan keluarga secara perlahan.

  "Ibu, apa kaki ibu sudah ada perkembangan?" Tanya Reva pelan seraya mendorong kursi roda Lisya menuju halaman belakang. Jika dia tidak mengetahui alasan ayahnya dan ibu Rheva bisa menikah ia tidak akan bisa menerima ibu Rheva dan hanya ada rasa hormat untuknya.

  "Sudah lebih baik, sebenarnya ibu sudah bisa berjalan dengan tongkat. Tapi papamu bersikeras agar ibu menggunakam kursi roda, bagaimana ibu bisa sembuh coba?"

  "Mungkin papa mengkhawatirkan kondisi ibu setelah terapi, makanya ibu dilarang menggunakan tongkat dulu. Setelah ibu mendingan, ibu boleh menggunakan tongkat," ucap Reva menempatkan ibunya di dekat meja dan ia duduk disamping.

  "Ibu bahagia Rheva, kamu sudah mulai mendekatkan diri dengan keluarga," ujar Lisya tersenyum lembut membuat Reva terhenyak. Ia tidak berniat mendekatkan diri dengan keluarga ini. Karena keluarga inilah keluarganya hancur, karena keluarga inilah ia harus merasakan pahitnya kehidupan. Reva tidak berusaha untuk lebih dekat lagi, ia hanya memanipulasi semua orang sampai jiwanya dapat kembali ke raganya yang asli. Jika ia berbuat buruk saat ini, ia pasti akan terkena imbasnya dan ia harus lebih berhati-hati lagi untuk melangkah.

  "Aya...hahaha.....aya!"

Reva menoleh dan mendapati Bryan tengah menggendong seorang anak kecil. Reva suka anak kecil, ia pun langsung melompat dari duduknya dan mengambil alih anak kecil itu yang tertawa padanya.

  "Ululu lucunya, anak siapa ini kak?"

  "Tentunya anakku, menurutmu siapa?"

  Reva mencibik ke Bryan dan pandangannya ia alihkan ke seseorang dibelakangnya, sepertinya dia tidak asing dengan wanita itu.

  "A-aku akan membawa Sastra kedalam jika dia berisik," ucap wanita itu pelan. Sebenarnya ia sangat takut kalau Rheva akan berbuat sesuatu yang jahat pada anaknya, karena dia tahu kalau Rheva itu membenci anak kecil.

  "Dia tidak berisik, biar aku menggendongnya sebentar kakak ipar," ucap Reva tenang lalu membawa anak itu ke tempat duduk para suaminya. Selain Angga dan Adit yang berbincang dengan Ayahnya, sisa lainnya hanya berbincang ringan dan sesekali memberi makan ikan di kolam sebelah mereka.

  "Halo dokter tampan, sudah lama tidak manggil dokter tampan hahaha...."

  Leo menyingkirkan cangkir tehnya ketika Reva beralih duduk di meja mereka, diseberangnya ada Langit yang langsung meletakkan rotinya dan beralih menggoda Sastra hingga bayi itu cekikikan.

  "Ulululu lucunya, dokter mau ini satu!"

  "Bawa pulang," ujar Leo cuek membuat Reva cemberut lalu beralih menarik pelan rambut Langit hingga si empu mengalihkan pandangan ke arahnya.

  "Kak Langit, mau kaya Sastra satu."

  "Ya bikin, susahnya apa?"

  "Bikin sama kakak yuk."

  "Uhuk...uhuk..."

  Leo yang disebelahnya langsung terbatuk air liurnya sendiri dan kelabakan mencari air, sedangkan Axel dan David yang tidak sengaja mendengarnya langsung mematung dan menatap Reva tidak percaya.

  Langit menunjuk dirinya sendiri dengan kosong," sama aku?"

  "Lha iya dong, masa aku sendiri ya nggak bisa. Kalau sama kak Langit nanti anaknya dikasih nama Angkasa hahaha...."

  "Boleh sama aku, tapi kamu harus lulus sekolah dulu. Terus nanti kita bikinnya jangan dimansion, kita harus honeymoon di..."

  "Lo bicara lagi gue suntik mati lo," ancam Leo langsung berdiri dan membawa Langit pergi dengan paksa.

  "Ada apa itu?" Tanya Bryan seraya mengambil anaknya dan memandang kedua laki-laki itu dengan tatapan bingung.

  "Kayanya kaum-kaum pelangi sampai disini deh, kak Bryan harus hati-hati."

Tuk

"Mulutnya," tegur David menyentil bibir Reva pelan namun si empu malah cemberut dan langsung melompat pergi ke sisi Zayn dan Naufal yang sedang memetik anggur diseberang," nggak care ah."

  "Ada apa?" Tanya Liam dengan mulut penuh cookies pemberian istri Bryan yang dibawa dari luar negeri. Karena mereka malas bercerita ulang, mereka meninggalkan Liam sendiri yang kebingungan," kenapa saat gue datang semua pergi?"

  Makan siang ini mereka barbeque-an bersama dengan Reva yang sekarang lebih lengket ke papa Sagara, karena ibu Rheva sedang istirahat dikamar ia bisa leluasa memberikan perhatian ke ayahnya tanpa rasa canggung. Dengan kesempatan ini juga Reva bisa mencari tahu kenapa ayahnya bisa terdampar di keluarga ini.

  Hidangan ketiga sudah disajikan dan ini adalah celah bagi Reva untuk bertanya hal yang sedaritadi menghantui pikirannya, dengan halus ia mengajak papa-nya untuk duduk di meja kecil dibawah pohon kelengkeng yang merupakan meja tanam di sana.

  "Ayah tidak menyukai sosis bukan? Reva beri ayah banyak daging."

   Dengan senyuman Reva memperhatikan ayahnya makan daging dengan lahap, sedangkan ia melahap bakaran sosis di depannya dengan pelan seraya menyusun kata-kata yang cocok untuk mengawali pertanyaan.

  "Nak Rheva sepertinya beberapa minggu ini ada banyak hal yang terjadi."

  "Ada banyak sekali yah, tapi ngomong-ngomong kenapa ayah bisa terdampar disini?"

  Sagara meletakkan garpunya dan menatap Reva dengan penuh kasih, tatapan inilah yang paling Reva rindukan dari sang ayah.

  "Apa yang nak Rheva ingin tahu lagi? Bukannya nak Rheva sudah tahu semua tentang papa?"

  Sudah tahu semua? Apa Rheva menyembunyikan hal sebesar ini padanya? Dasar brengsek!

Behind The New LifeWhere stories live. Discover now