Memutus Lingkaran Setan

256 10 2
                                    

Lia berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghubungi nomor yang telah diberikan Herman semalam. Afni, nama psikolog yang katanya merupakan istri salah satu teman suaminya itu. Entah mengapa, terasa begitu berat bagi Lia untuk sekadar mengirim pesan obrolan berupa salam perkenalan. Padahal, dia juga yakin kalau perkiraan suaminya tentang kemungkinan depresi itu benar adanya.

Lia masih menatap layar ponsel. Ruang obrolan dengan kontak bernama Afni, masih saja kosong. Pesan obrolan yang sudah diketik, kembali dihapus. Lia menggigit bibir bawah dengan dahi berkerut. Ragu.

Terasa ada tembok tinggi, panjang, dan begitu tebal menghalangi Lia kali ini. Mengapa hanya sekadar berkonsultasi dengan ahli harus sesulit ini?

Apakah nantinya tak memalukan jika aku menceritakan semua?

Bagaimana nanti penilaian wanita itu kepadaku?

Apakah nantinya aku akan dianggap sebagai perempuan tak waras dan lemah iman?

Berbagai pertanyaan berkelebatan di kepala Lia. Hingga, Lia melempar ponsel begitu saja ke ranjang. Lantas, merebahkan diri di ranjang dengan posisi miring. Memeluk Cahaya yang sedang menikmati susu dari botol.

Cahaya yang beberapa waktu belakangan ini sangat jarang menerima perhatian ibunya, tampak senang ketika tangan Lia melingkar di tubuhnya. Balita itu berbalik sembari tersenyum dengan tetap menggigit ujung nipple botol susu. Lantas, telapak tangan imutnya mendarat di pipi sang ibu. Iris kecokelatan itu berbinar.

Lia merasa seolah-olah ada selimut hangat dan lembut telah menyelimuti hatinya yang kedinginan. Jiwanya yang selama ini membeku, seolah-olah mencair. Senyum polos dari putri tersayangnya.

Lia tersenyum tipis, menatap mata indah sang putri lekat-lekat. Lantas mendaratkan bibir di kedua pipi gembul buah hatinya.

"Main di luar, yuk! Masih pagi. Bukan saatnya istirahat siang, kan?"

Lia memutuskan untuk bermain-main dengan putrinya terlebih dahulu. Menikmati pagi yang beranjak siang. Mencoba menata hati dan mengumpulkan keberanian lagi.

***

Ratih tersenyum tipis mengamati Lia yang sedang bermain ayunan bersama Cahaya di halaman depan. Wanita paruh baya berhidung mancung itu sangat bahagia kali ini. Ada rasa lega dan nyaman yang tiba-tiba menelusup di hatinya. Menantu tersayangnya, istri dari putra bungsunya, kini mulai mau keluar kamar.

Tak seperti mertua pada umumnya, Ratih berbeda. Wanita paruh baya itu begitu baik pada anak menantunya. Dia memahami sakit yang mungkin dirasa Lia. Bukan kebetulan Ratih bisa peka. Tapi, sejak Herman belum menikah dengan Lia, bahkan jauh-jauh hari sebelum Herman menydrinkalau telah jatuh hati kepada perempuan ayu itu, Ratih sudah acap kali mendengar cerita tentang Lia dari bibir putranya.

Berselisih dengan orang tua bukanlah hal menyenangkan. Sejatinya, itu hanyalah serangkaian kesalahpahaman yang berubah menjadi kebencian. Cinta dan kasih sayang yang disalahartikan. Bukankah sangat menyakitkan bagi keduanya?

Terlebih lagi, ada hal yang tak Lia ketahui. Dan Ratih berharap, Lia tak akan pernah mendengar hal itu.

Ketika Lia kabur ke Pasuruan, mendiang Martini sering membicarakan putrinya itu. Ibunda Lia itu acap kali menjelek-jelekkan Herman dan menyalahkan pilihan putrinya. Dan hal itu diketahui Ratih dari beberapa penuturan orang-orang.

"Sungguh, Lia itu anak kesayangan saya. Saya begitu menyayanginya. Dia mendapat warisan paling banyak dari mendiang Papanya. Tapi, Lia malah memilih mengikuti tukang selingkuh seperti Herman. Saya sangat yakin kalau Lia sudah kena guna-guna."

Tentu saja, sebagai seorang ibu, Ratih sangat tersinggung dengan ucapan besannya. Tapi, sebagai orangtua, tentunya sedikit banyak Ratih paham. Dan, Ratih juga tahu, tak mudah menjadi orang terhormat macam Martini dan Sujatmoko. Kesalahan kecil saja, akan mendapat hujatan dan menjadi bahan gunjingan di masyarakat.

Suara jingle melody es krim keliling, membuyarkan lamunan Ratih. Cahaya yang sedari tadi tertawa cekikikan di atas ayunan bersama ibunya, mendadak mendongak ke belakang.

"Bunda, es kim ..."

Lia menahan ayunan seketika. Tersenyum tipis, lantas membantu putrinya untuk turun dari ayunan.

"Kita beli, yuk!"

Cahaya mengangguk senang. "Hu'um."

Keduanya melangkah ke arah pintu pagar untuk menunggu penjual es keliling itu.

"Biar Uti yang belikan, ya?" Tiba-tiba suara Ratih menghentikan langkah menantu dan cucunya.

Keduanya menoleh. Memperhatikan Ratih yang kini sudah menuruni undakan teras dengan langkah cepat, mendekati mereka.

Keduanya tersenyum menunggu Ratih. Hingga ketika Ratih sampai di ssmping mereka, ketiganya pun berjalan beriringan, dengan Cahaya di antara kedua wanita itu.

***

"Sudah berkirim chat sama Afni, Bun?" Pertanyaan Herman yang begitu tiba-tiba di saat keduanya makan siang, membuat Lia seketika tersedak.

Herman yang posisinya lebih dekat dengan botol air minum, segera saja menuangkan air ke gelas dan memberikannya pada Lia. "Minum dulu!"

Lia yang masih terbatuk-batuk, menerima gelas itu, lantas meminumya.

"Ayah ini, ngagetin aja. Habis ini aku chat. Sekarang kita makan aja, yuk! Tak elok kalau ngobrol tengah makan." Lia mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Oh, oke." Herman menuruti kemauan istrinya. Meskipun ada rasa curiga di hati bahwa Lia sengaja menunda-nunda waktu untuk menghubungi Afni.

***

"Apa yang membuatmu selalu menunda-nunda untuk menghubungi Afni?" Herman memeluk pu dak istrinya dari samping. Keduanya duduk di sofa ruang tengah setelah makan siang.

"Ehm ... entahlah, Yah. Ada banyak hal yang tak bisa kujelaskan. Aku takut. Pun sungkan. Biaya konseling, kan, enggak murah. Nah, ini aku dapat gratis. Terus ... aku juga malu dan takut untuk menceritakan semua. Apa nanti enggak memeprmalukan Ayah juga? Atau malah dia mengnggapku perempuan freak yang enggak normal. Lalu--"

Belum juga Lia menyelesaikan kalimatnya, Herman sudah menyela, "Bun, dia itu profesional. Ada sumpah profesi yang dia pegang. Pun tahu ilmunya. Konseling itu bukan curhat sama teman. Beda, Bun. Dan urusan biaya, aku tahu Bunda enggak enakan. Kapan-kapan, kita silaturahmi dan belikan sesuatu untuk Afni. Bagaimana?"

Lia terdiam. Menggigit bibir bawahnya sembari menunduk. Menjatuhkan pandangan ke lantai. Sementara tangan kekar Herman masih memeluk hangat pundaknya.

Butuh sepersekian menit hingga Lia mendongak. Perempuan yang sejatinya ingin berdamai dengan semua lukanya itu mulai menghela napas dalam. Lantas, mengembuskannya perlahan. Lia menatap manik kecokelatan duaminya lekat-lekat. Senyum tipis terulas di bibirnya. "Baiklah, Yah. Mau sampai kapan kalau aku terus saja takut dan ragu?"

Ada rasa lega yang tiba-tiba hadir di hati Herman. Refleks, lelaki yang sangat mengkhawatirkan keadaan istrinya itu, memperetat dekapan tangannya. Mengusap lengan sang istri beberapa kali. "Semangat, Bun! Kita berjuang bersama, ya?"

***

Dan sore ini, sebuah pesan chat terkirim ke kontak Afni. Perkenalan pertama yang dibalas dengan sangat ramah.

Dan setelah serangkaian basa-basi perkenalan, Lia mendapat kiriman file angket yang harus diisi. Lia membaca dan mengisinya dengan penuh ketelitian.

Memang, proses penyembuhan luka batin bukan hal mudah. Butuh tekad kuat dan kesadaran diri menjalaninya. Tak sedikit penderita yang mengingkari luka-luka dalam dirinya. Bersikap dan berkata seolah-olah baik-baik saja.

Semua tak hanya karena ketakutan dianggap gila pun tak waras. Lebih dari itu, anak kecil ringkih dan terluka yang bersembunyi di dalam diri, merasa ketakutan jika harus berhadapan dengan kenyataan.

Dan setelah serangkaian konseling yang ternyata berjalan dengan baik, Lia mulai mampu menghadapi gejolak emosi yang datang. Mau mengakui dan memeluk luka dan tiap kekeliruan. Berdamai dengan diri. Mengakui keberadaan jiwa kanak-kanak yang terluka. Perlahan tapi pasti, menjalani tiap prosesnya. Berusaha memutus rantai setan emosi terpendam. Semua, demi kehidupan bahagia. Baginya, pun Cahaya.

[END]

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now