Hangover

86 13 6
                                    

Dengung ponsel, menarik paksa lelaki dua puluh lima tahun itu dari alam mimpi. Pada malam yang masih begitu pekat. Hanya hening dan dingin yang menyelimuti.

Di atas ranjang kapuk single, tubuh berbalut kaos bola tanpa lengan dan celana pendek kaos itu, menggeliat sesaat. Dahi mengernyit dengan mata yang masih terpejam. Lantas tangannya menggerayangi sekitar bantal, hingga berhasil menemukan ponsel  yang masih mendengung dengan layar menyala.

Perlahan, mata terpejam itu terbuka. Pada ruangan gelap dengan cahaya yang hanya berasal dari layar ponsel di tangan, Herman mencoba menangkap nama yang terpampang di layar. Dan, seketika membelalak hingga membuat tubuh lelaki yang sejenak lalu masih setengah sadar itu terduduk. Secepat kilat kembali seluruhnya ke dunia nyata.

Tanpa menghiraukan penunjuk jam ponsel yang memunculkan angka 00.47, lelaki berwajah simpatik itu menjawab panggilan gegas. Gadis kesayangannya. Teman paling berharga. Kamelia, telah menghubunginya dini hari ini.

"Lia, ada apa?" Nada suara Herman terdengar sangat khawatir. Lia bukan tipe gadis yang suka menelepon, terlebih lagi dini hari macam ini.

"Her ... papa, papa ...." Lalu, hening beberapa saat. Lantas, kata-kata itu kembali terucap diikuti hening seperti tadi. Begitu saja. Berulang-ulang hingga beberapa kali.

"Papamu kenapa? Kamu baik-baik saja, kan?"

" ... "

"Kamu di mana, Lia?" Nada suara Herman meninggi."

"Papa, Her ... "

"Lia!" Herman memekik. Pada suasana sehening ini, tentu saja akan terdengar hingga ke kamar kedua orangtua pemuda itu. Dan, membuat mereka seketika terbangun.

Herman beranjak gegas dari ranjang. Melangkah ke arah saklar. Menghidupkan lampu. Kemudian, mencari earphone dan memasangnya di telinga. Ponsel disimpan di kantong celana pendek birunya. Lantas, melangkah ke gantungan baju di sebelah lemari. Meraih jaket hitam dan segera memakainya.

Lelaki yang sangat mengkhawatirkan sahabatnya itu terus saja berusaha mengajak gadis di seberang berbicara. Sembari terus berganti pakaian.

Kali ini dia memindahkan ponsel ke saku jaket. Lantas memakai celana jeans biru yang diambilnya dari gantungan. Membenahi rambut ikalnya dengan jari-jari setelahnya. Membersihkan sudut-sudut mata dari kotoran.

Kemudian, melangkah keluar kamar, setelah meraih kunci motor dari gantungan kunci. Berjalan cepat ke pintu samping. Menuju garasi untuk mengeluarkan motor. Setelah sebelumnya memasang helm di kepala.

Dan, gerak-gerik putra bungsu Edi Baskara itu, menimbulkan sedikit suara ribut yang menarik perhatian Edi dan Ratih. Bisa dipastikan, orangtua lelaki Herman itu melangkah gegas ke garasi, menanyakan hal ini kepada putranya.

Tapi, sedikit terlambat, karena putra bungsunya itu sudah menyalakan mesin motor dan membuka pintu garasi. Bahkan, motor sudah berjalan mundur perlahan.

"Mau ke mana, Her?" Edi memekik.

"Darurat, Yah. Nanti aku hubungi. Aku pergi dulu." Herman sudah berhasil menurunkan motor dan melajukannya seketika.

"Tunggu--" Edi hanya bisa memekik tanpa bisa bertanya lebih jelas.

Motor melaju cepat. Membelah pekat malam. Panggilan masih belum terputus. Ponsel sudah berpindah ke saku jaket bagian dalam. Sementara earphone, masih terjejal di kedua telinga.

"Lia kamu tenang, ya! Aku ke sana." Suara deru motor berpadu desing angin menyela masuk di antara percakapan mereka.

"Jangan, Her! Nanti apa kata orang-orang? Sudah banyak pelayat di sini. Tapi ... aku sendirian." Nada suara Lia merendah.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now