Monster yang Tertidur

100 15 5
                                    

Pagi masih basah. Hanya hening yang sesekali diselingi desiran angin semilir. Dinginnya udara masih terasa menusuk tulang. Herman terbangun dengan Lia yang masih di rengkuhannya.

Wajah perempuan yang sangat dikasihinya itu masih terpejam. Sisa tangis dan kelelahan masih tampak begitu jelas. Kedua kelopak mata itu masih sedikit sembab.

Perlahan, lelaki yang semalaman tidur sembari memeluk istrinya itu, mengangkat kepala. Detik kemudian, bibirnya telah mendarat di kening perempuan dalam rengkuhannya.

Lantas, menarik perlahan tangannya dari bawah kepala Lia. Menggantinya dengan bantal. Memastikan sang istri berada di posisi nyaman. Lia menggeliat sedikit. Lantas kembali tenang.

Herman beranjak perlahan. Menoleh ke sebelah sisi yang lain. Cahaya masih nyenyak dalam tidurnya. Nafas balita cantik itu sangat teratur.

Garis-garis wajah balita itu begitu tegas. Mewarisi garis wajah lelaki bermata tajam dengan hidung yang tegas dan bangir. Sementara kulitnya mewarisi kulit secerah pualam milik sang ibu.

Herman menghela napas dalam. Hatinya ngilu ketika memperhatikan Cahaya. Dia benar-benar merasa bersalah. Menorehkan ingatan buruk pada memori anak sekecil itu. Tapi, dia tak bisa mengendalikan semua. Herman tak mau menjadi ayah yang buruk. Tapi, dia bisa apa? Jika semua seolah-olah terjadi begitu saja. Tanpa bisa dikendalikan.

Perlahan, tangan kekar itu membelai lembut pucuk kepala balita cantik di sampingnya. Menggumamkan permintaan maaf dan doa yang dilangitkan untuk kebahagiaan gadis kecilnya itu.

Dan, sejenak terlintas di pikirannya, ucapan Lia tentang kutukan sang ibu mertua kepada putri kecilnya. Seketika Herman bergidik ngeri. Dan, amarah tiba-tiba menggelegak di dada.

Tapi, lelaki bertubuh tegap itu menghela napas dalam gegas. Berusaha menghalau berbagai pikiran buruk dan amarah. Dia tak mau pada pagi buta yang masih hening, pikirannya sudah dipenuhi ketakutan dan segala hal tak nyaman.

Perlahan, Herman berdiri. Melangkah perlahan keluar kamar. Lantas menuju pintu depan. Berjalan berjalan ke dapur yang berada di samping tempat tinggalnya.

Lelaki bertinggi sedang itu mencuci muka. Lantas menakar beras dan mencucinya. Tak ketinggalan, dia memeriksa sayur yang mungkin bisa diolah. Biasanya, Lia meletakkan sayur di keranjang plastik pada bibir bak air semen di bangunan itu. Herman menemukan dua ikat bayam.

Selanjutnya, memeriksa keranjang yang tergantung pada bambu langit-langit bangunan kecil ini. Satu papan tempe yang dibeli Lia sore kemarin, terbungkus plastik bening. Dua bungkus kecil ikan teri kering di sebelanya.

Herman menghidupkan kompor satu tungku dan menaruh dandang di atasnya. Memasukkan beras.

Sembari menunggu, lelaki yang ingin menyenangkan keluarganya itu, membersihkan bayam. Mengolah lauk yang ada.

Dan ketika fajar menyingsing, sarapan sudah siap. Herman membawa makanan itu ke kamar dengan hati-hati. Tak ada tempat lain. Karenanya, kamar tak terlalu luas itu pun dijadikan tempat makan.

Menata piring, wadah nasi, dan lauk di sisi lain ruangan. Menutupnya dengan tudung saji plastik.

Setelah memastikan semua tertata baik, lelaki bertinggi sedang itu beranjak, melangkah kembali ke luar. Hendak mandi pagi.

Butuh sekitar lima belas menit, sampai Herman kembali lagi ke kamar. Mengganti pakaian. Lantas, melangkah mendekati istrinya yang masih tidur. Perlahan, lelaki yang sebenarnya memiliki hati penyayang itu, membangunkan Lia dengan ciuman hangat yang mendarat di pipi cantiknya.

"Bun, sudah pagi. Bunda enggak mau bangun, kah?"

Perlahan, mata indah itu terbuka. Dan ketika dilihatnya wajah lelaki yang dikasihinya tersenyum, Lia pun menarik perlahan kedua ujung bibirnya, membentuk busur tipis. Mata yang baru terbuka itu seketika berbinar.

Dengan perlahan, Lia beranjak dari pembaringan. Duduk sejenak, menoleh ke arah di mana sang buah hati beristirahat. Mengintipnya melalui lengan sang suami. Kedua tangannya sibuk membenahi rambut ikal kecokelatannya. Menggulung dan menjepitnya. Membentuk sanggul kecil di kepala. Lantas, bernapas lega ketika melihat putri cantiknya masih tidur dengan begitu tenang.

Tapi, saat pandangan mata Lia menangkap tudung saji yang tampak menutupi tempat nasi dan lauk di bawahnya, sontak mata sayu itu membulat. Kemudian kembali menoleh, menatap lelaki yang masih duduk di sebelahnya dengan tatapan penuh tanya.

Kepala wanita cantik berkulit cerah itu sedikit miring. Kedua alisnya terangkat.

Dan, iris kecokelatan di hadapannya pun balik menatap. Senyum tersungging di bibir yang dipenuhi kumis dan jenggot tipis.

"Aku masak buat kalian." Lagi, senyum hangat menyertai suara merdu penuh kasih itu.

Seketika Lia tersenyum. "Makasih, ya, Yah. Maafkan aku yang keterlaluan. Tiap kali teringat mama dan saudara-saudaraku. Aku enggak bisa menahan diri. Ayah tahu sendiri, kan, bagaimana mereka. Terutama mama--"

Seketika Herman meletakkan ujung jarinya di bibir Lia. Ketika nada suara istrinya itu terdengar makin meninggi. Menyiratkan emosi yang meningkat.

"Ssstt ... Jangan diterusin! Pagi-pagi enggak perlu ingat-ingat hal yang enggak nyaman. Suara kamu udah berubah. Kamu udah emosi. Kalau pagimu udah dipenuhi amarah, nanti seharian malah marah-marah mulu. Kamu mau kita kayak kemarin? Udah, ya, Bun!"

Lia menatap nyalang. Menangkap sirat ketegasan dari iris kecokelatan di hadapannya.

"Iya. Maaf, Yah." Lia menunduk. Menghela napas dalam. Kemudian mengembuskannya perlahan dengan mata yang terpejam.

Ciuman hangat kembali mendarat di kening Lia. Belaian lembut terasa di pipi kiri wanita cantik itu. Detik kemudian, ciuman pun berpindah pada kedua pipi. Dan belaian itu berpindah ke pucuk kepala.

"Udah, Bunda mandi, gih! Aku jagain Aya. Mumpung masih pagi. Siangan dikit Bunda berangkat ke pasar! Biar Aya aku yang jagain."

Lia mengangguk. Beranjak dari duduknya. Melangkah ke luar. Menuju bangunan kecil di sebelah.

Selalu. Setiap kali bertengkar hebat, Herman akan berbuat manis kepada sang istri setelahnya. Bahkan, bisa berhari-hari. Untuk apa lagi, kalau bukan menebus rasa bersalah.

Dan hal semacam ini seolah-olah menjadi candu bagi Lia yang kesepian, haus perhatian dan kasih sayang. Membuat Lia seolah-olah dengan mudah memaafkan kesalahan Herman seketika. Melupakan tamparan itu, cekikan yang membuatnya tak sadarkan diri, dan mata merah menyala yang menakutkan. Seolah-olah benar-benar lupa.

Meski senyatanya tak begitu adanya. Lia tak benar-benar lupa. Semua emosi itu hanya mengendap di dalam hatinya. Tertutupi karena sikap manis. Hanya seperti bom yang sewaktu-waktu bisa meledak jika pemantiknya terlepas.

Pun ditambah amarah dan dendam yang masih bersarang di dalam dirinya. Amarah dan kekecewaan terhadap keluarganya. Membuat Lia sewaktu-waktu bisa berubah gila dan tak terkendali.

Dan serupa dengan Lia. Herman tak benar-benar manis dan menyesal.

Ada segunung emosi negatif dan kenangan buruk yang masih bersarang di hatinya. Tak hanya amarah karena umpatan Lia yang sering merendahkannya ketika mereka bertengkar. Lebih dari itu.

Ada kenangan buruk yang mengendap sangat dalam. Yang membuatnya mampu menghabisi orang terkasihnya sewaktu-waktu.

Ingatan buruk yang dia pikir telah dilupakan. Tapi senyatanya, memori itulah yang selalu mengambil alih kendali ketika Lia marah dan menangis. Kenangan buruk masa kecil yang ditorehkan sang ayah.

Memori pahit yang telah bersarang lebih dari dua puluh tiga tahun di pikirannya. Hanya menunggu momen saja untuk membuat Herman berubah menjadi monster mengerikan.

Dua anak manusia yang sama-sama menyimpan kenangan buruk. Monster yang tertidur. Membuat mereka bisa saling menyakiti. Saling menghabisi.

Tapi, ada setitik cinta yang berpendar di hati mereka. Cinta inilah yang masih membuat mereka bertahan. Meski tak menjamin mereka akan selamat.

Hanya waktu yang mampu menjawab semua. Dan tentu saja, Cahaya yang jadi taruhannya.

(Complete) Perempuan yang TerbuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang