Kerinduan

86 13 2
                                    

Stress ...

Tentu saja Lia mengalami stress berat. Tapi, semua selalu diabaikannya. Dia selalu merasa mampu dan baik-baik saja. Berkejaran dengan waktu. Membuktikan dan memenuhi janji kepada sang ibu. Padahal, ibunya sudah meninggal hampir tiga bulan lalu, tapi dalam pikiran Lia, seolah-olah Martini masih ada. Masih menunggunya sukses dan sama dengan kedua anaknya yang lain.

Tentu saja keduanya mudah dalam menggapai kekayaan materi, karena mereka mewarisi lahan dan usaha dari Sujatmoko dengan jumlah yang lebih dari cukup dan lahan yang sangat luas. Sedangkan Lia? Bukannya Lia tak mendapat warisan, tapi dia tak menghiraukannya dan merasa terbuang. Jadi, bagiannya digarap Martini. Dan kini, setelah Martini tiada, lahan yang seharusnya jatuh ke tangannya malah digarap Irwan sebagai anak pertama. Sedangkan rumah yang menurut penuturan Martini adalah hak Lia, malah ditempati Agus. Dan Lia yang memang malas ribut dan selalu merasa mampu, membiarkannya begitu saja.

Jika mau diumpamakan, keadaan Lia sekarang bak lilin. Dia mengabaikan dirinya sendiri demi orang lain. Dengan dalih malas ribut. Membiarkan orang lain bersenang-senang di atas penderitaannya. Dan hal itu juga karena ulahnya sendiri yang mau-mau saja melakukannya.

Dan tanpa disadari, sudah lebih dari dua minggu Lia mengalami gangguan tidur. Tak bisa tidur di malam hari, dan tetap terjaga di siang hari. Hanya tidur beberapa jam saja. Sungguh sangat-sangat kurang. Memang Lia masih membantu Ratih di dapur. Masih memandikan Cahaya. Tapi, selebihnya dia mengurung diri di kamar.

Lia merasakan ada hal tak beres dalam dirinya. Merasa seolah-olah selalu kehabisan energi. Tapi, kali ini Herman sudah tak menegurnya lagi. Bukannya tak peduli, tapi Herman tak mau bertengkar lagi. Sedangkan Lia tak mampu mengatakan sejujurnya kepada Herman. Dia pun takut bertengkar.

Hingga di suatu waktu, Lia benar-benar tak mampu lagi. Bahkan, ada perasaan aneh dalam dirinya. Lia merasa sedih dalam hatinya. Tapi ... tak benar-benar tahu karena apa. Lia berpikir bahwa sedih itu disebabkan oleh kerugian-kerugian yang telah dialami. Dan ini membuatnya lagi-lagi semakin memforsir tenaganya untuk mengejar keuntungan. Kali ini, bukan lagi mobil yang menjadi tujuan, tapi Lia ingin rasa sedihnya hilang.

Total hampir tiga minggu Lia seperti orang gila. Dan Herman kembali khawatir. Dan sore itu, ketika harusnya Lia memandikan Cahaya, tapi malah tertidur.

"Bun ... kamu enggak mau mandiin Aya?" Herman menepuk pelan lengan istrinya.

Perlahan, Lia membuka mata. Lantas, tersenyum.

"Oh, Mama ..." Lia kembali memejam.

Herman sangat heran dengan tingkah istrinya. Dia berusaha membangunkan istrinya kembali. Tapi gagal. Lia sama sekali tak bisa dibangunkan, dan hanya sedikit menggeliat seraya bergumam, "Iya, bentar lagi aku bangun, Ma. Ini hari Minggu biarin Lia tidur bentaran."

Herman terdiam melihat tingkah istrinya. Ada sebersit rasa cemas. Dia meletakkan telapak tangan di dahi sang istri, memeriksa suhu tubuh wanita yang kini sangat dikhawatirkannya itu.

***

Hari-hari berikutnya, Lia malah lebih banyak tidur. Seolah-olah kehabisan energi saja. Tapi, jika terbangun, yang dicarinya hanya ponsel. Lalu, jika dibangunkan, Lia sering bergumam tentang Martini.

Dan siang ini, Lia sedang duduk bersila di ranjang, menekuni layar ponsel. Sedangkan Herman baru pulang dari gudang untuk istirahat siang. "Sudah makan, Bun?"

"Oh, belum lapar, Yah." Lia hanya mendongak sebentar. Tersenyum tipis. Lantas kembali menekuni ponsel.

Lagi, rasa cemas kembali menelusup di dada Herman. Karena, jika tak diingatkan, Lia tak akan makan.

"Temani aku makan, yuk!" Herman duduk di bibir ranjang. Mendaratkan tangan di paha sang istri sembari tersenyum manis dan menatapnya hangat.

"Lia mengehentikan kegiatannya sesaat. Membalas tatapan sang suami sembari mengembangkan senyum. Menghela napas dalam dan mengembuskannya perlahan.

"Oke. Ayo!"

Keduanya menuju ruang makan. Dan benar saja, Lia makan dengan lahap. Bahkan, seperti orang kelaparan.

Hal ini sudah terjadi lebih dari tiga minggu ini. Dan secara diam-diam, Herman pun telah mencari beberapa informasi tentang keanehan istrinya ini. Ditengarai, Lia mengalami depresi. Herman curiga, kalau kematian Martinilah yang menjadi penyebabnya.

"Bun, aku ada kenalan. Dia istri temanku. Psikolog. Kamu mau melakukan konseling? Tak perlu ketemu kalau tak nyaman. Lewat chat saja. Bagaimana?" Selepas makan, Herman mengajak Lia bercakap-cakap di tuang tengah.

"Psikolog? Buat apa, Yah? Aku baik-baik saja. Apalagi bayarnya mahal."

"Enggak. Ini gratis. Beneran gratis. Cuma chat. Dia istri temenku." Herman berusaha meyakinkan istrinya. Karena sadar, jika Lia sampai tahu biaya yang harus dikeluarkan, pastinya Lia tak akan berkenan. Karenanya, Herman memilih untuk konseling via chat atau panghilan telepon. Agar istrinya percaya jika ini adalah layanan cuma-cuma.

"Tapi, aku merasa baik-baik saja, kok, Yah." Lia mengernyitkan dahi. Memandang Herman keheranan.

"Hmmm ... gini, Bun. Kamu jangan tersinggung atau marah-marah dulu. Ya? Beberapa hari ini, tiap dibangunin, kamu selalu bersikap seolah-olah aku ini Mama. Lalu, aku perhatiin, kamu sering enggak bisa tidur kalau malam. Tapi, siang juga kayak yang enggak ngantuk. Tapi, kalau ketiduran, kamu pulas banget. Nafsu makanmu pun terganggu. Aku jadi khawatir."

Lia terdiam. Melemparkan pandangan ke lantai. Menggigit bibir bawahnya. Lamat-lamat dia mengamati perasaannya. Tentang sedih dan rasa aneh yang tak berkesudahan. Bahkan, dua hari lalu, Lia mengalami profit cukup banyak, tapi rasa sedih tetap tak berkurang, apalagi menghilang.

Butuh beberapa menit, hingga Lia mau mengungkapkan perasaannya kepada Herman. "Yah, sepertinya emang apa yang Ayah khawatirin bener. Aku ngerasa cukup aneh. Tapi, kupikir enggak apa-apa. Kupikir, aku sedih karena rugi lumayan banyak. Tapi kemarin lusa, ketika aku dapat profit banyak pun, rasanya sama. Tak sesenang dulu. Rasanya flat aja."

Herman meraih telapak tangan istrinya. Menatap matanya lekat-lekat. "Bun, kamu mau hidup bahagia, kan? Kalau aku saranin kamu berhenti trading, apa kamu mau?"

"Tapi, Yah. Kalau aku enggak trading, aku ngapain? Kalau aku bosan gimana?"

"Kamu konseling aja dulu, gimana? Kita pikirin nanti untuk kegiatan kamu. Aku enggak mau kamu pusing nyari duit, Bun. Biar itu jadi tugasku." Herman masih menggenggam tangan istrinya.

Hati Lia menghangat mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir lelaki yang begitu disayanginya itu. Dan, tiba-tiba saja, Lia ingin menangis. Matanya berkaca-kaca. Napasnya sedikit memburu.

Herman beranjak sembari tetap menggenggam tangan sang istri. "Kita ke kamar aja, Bun!"

Lia mengikuti suaminya. Dan ketika mereka masuk kamar dan Herman mengunci pintu, seketika itu juga Lia menjatuhkan diri ke dada suaminya. Menangis sepuasnya.

"Mama ... Mama ..." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Lia.

Herman membimbing istrinya untuk duduk di bibir ranjang. Dan Lia masih saja terus menangis. Memeluk suaminya begitu erat.

Lia merasa sangat-sangat sedih. Tapi, seiring air mata yang mengalir begitu deras di pipinya, perlahan kesedihan itu berkurang. Tak banyak, tapi tak semenyiksa sebelumnya.

"Bun, kamu sedih kehilangan Mama, kan? Kamu mengabaikan perasaanmu, Bun. Kamu enggak jahat. Hanya terlampau sedih dengan kepergian Mama yang mendadak." Herman membelai lembut punggung istrinya.

"Aku enggak tahu, yah. Hubunganku enggak pernah baik sama Mama. Selalu saja berselisih." Lia masih terisak. Kesedihan begitu terasa. Dan kini sangat spesifik. Ada sedih dan rindu di hatinya. Rindu yang tak mungkin bisa diobati. Karena yang dirindukan telah tiada.

(Complete) Perempuan yang TerbuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang