Cikal Bakal Kisah

85 14 5
                                    

Herman menyeka titik-titik keringat yang masih keluar dari pelipis gadis kesayangannya dengan tisu yang tadi dibelinya di swalayan 24 jam. Gadis cantik itu terbaring dengan posisi miring. Kedua tangannya tertangkup, dijadikan bantal di bawah pipi. Matanya terpejam. Nafasnya teratur. Damai .... Tapi, bibirnya begitu pucat. Dan kulitnya pun sedingin es.

Suasana sangat hening. Di luar masih sangat gelap. Jam dua dini hari. Terdengar sayup-sayup bunyi kendaraan dari jalanan. Selebihnya, hanya suara nafas Lia yang keluar masuk lewat pernapasan.

Herman memilih penginapan ini begitu saja. Tanpa banyak mencari. Hanya melajukan motor, ketika mengingat tempat ini. Penginapan yang berada di jalan menuju pelabuhan.

Tentu saja, mana mungkin dia akan tahu informasi penginapan di dalam kota selain yang biasa ditemui? Untuk apa menyewa penginapan ketika berada di kota sendiri, kan?

Penginapan sederhana. Tanpa pendingin ruangan, hanya kipas angin dinding. Ranjang queen size, lemari kecil, dan meja rias, menjadi pelengkap wajib. Tak lupa televisi LCD ukuran kecil menempel di dinding. Dua kursi kayu beralas spons dengan satu meja kecil berada di sisi ruangan. Berseberangan dengan ranjang.

Herman sengaja meletakkan salah satu kursi di sebelah ranjang dan duduk di atasnya. Dia ingin menjaga Lia. Khawatir terbangun. Lagi pula, kalau pun dia ingin tidur, tak mungkin juga bisa tidur di sebelah gadis yang tengah beristirahat ini.

Sejenak, lelaki berwajah simpatik itu mengamati kembali wajah lugu yang terpejam di depannya. Menyeka keringat yang kini juga muncul dari atas bibir pucat dan di ujung hidungnya.

Tapi tiba-tiba, gadis yang sedang tertidur pulas itu menggeliat. Lantas tangannya meraih telapak tangan Herman. Menariknya seketika. Kemudian meletakkannya di bawah pipi yang sama dinginnya dengan tangan tadi.

Untuk beberapa saat. Lelaki yang belum benar-benar tahu keadaan gadis yang terbaring di ranjang ini, sangat terkejut. Memang mereka sangat dekat. Beberapa kali kontak fisik memang terjadi. Hanya sekadar senggolan. Tepukan-tepukan iseng dan nakal antar teman seperti biasa. Tak ada yang berlebihan.

Tapi kali ini berbeda. Ketika tangan telah menyentuh pipi gadis yang masih terpejam dan bernapas dengan damai itu, ada gelenyar aneh yang memaksa keluar dari dada Herman.

Sebenarnya, desiran aneh ini sudah terjadi tadi, ketika Lia memeluknya dari belakang. Tapi, seketika memudar saat Herman tahu kalau gadis yang diboncengnya itu sedang tak baik-baik saja. Rasa cemas lebih mendominasi.

Tapi sekarang, degupan cepat pada jantungnya begitu jelas terasa. Berbeda. Herman gugup.

Di umur yang bisa dibilang dewasa, tentu saja lelaki bermata tajam itu tahu kalau rasa ini adalah pertanda ketertarikan hati. Tapi ... mengapa baru kali ini? Setelah mereka bersahabat lebih dari setahun? Terlebih lagi, saat ini dia masih memiliki kekasih.

Ah, mungkin saja hanya rasa sesaat. Bukan rasa sesungguhnya. Dan Herman ingin mengamini pikirannya yang ini. Dia menyayangi Lia seperti adik. Adik yang sangat berharga. Adik yang ingin selalu dilindungi.

Herman takut jika saat ini menginginkan hal berlebihan dari Lia. Dia cemas, karena jika Lia tak merasakan hal yang sama, Herman mungkin akan kehilangan gadis kesayangannya itu. Dan lelaki berwajah simpatik itu tak mau hal ini sampai terjadi.

Tapi, jiwa kelelakiannya tak bisa dibendung. Tak bisa dibohongi. Herman menginginkan Lia. Semua telah berubah. Atau memang ini sudah terjadi lama?

***
Dan bersamaan dengan mentari pagi yang menyapa, wajah lesu itu berangsur berubah segar. Bibir yang tadinya pucat perlahan memerah lagi. Senyum sudah merekah di bibir cantik itu.

Lia duduk bersandar di ranjang. Menikmati segelas teh hangat yang dipesan Herman melalui room service. Perlahan Lia menyesap teh dari bibir gelas. Dan ... tiap kali bibir cantik itu beradu dengan bibir gelas, ada rasa aneh yang terjadi di hati lelaki yang tak mampu lagi mengingkari rasa yang telah terjadi.

Oh, tidak. Herman benar-benar menginginkan Lia.

Karenanya, lelaki bertinggi sedang itu berdiri gegas. Lantas pamit keluar, beralasan untuk mencari sarapan.

"Jangan tinggalin aku! Anter aku pulang lagi, ya? Papa mau dimakamkan jam sepuluh nanti. Aku harus nyampe rumah sebelum itu. Sebelum rumah sepi. Biar enggak ada yang tahu kalau aku udah kabur." Lia mendongak, menatap lelaki yang selalu ada bersamanya itu dengan tatapan penuh permohonan.

Herman berdecak pelan, lantas mendengkus sekali. Dan, kembali duduk. "Oke. Kita langsung pulang. Tapi pastiin kamu bener-bener udah baikan!"

"Hu'um. Aku enggak sakit, kok. Untung bisa segera kabur. Kalau banyak orang terlebih lagi suasana sedih, bikin aku gampang kena hangover." Lia tersenyum lebar. Mata sayunya menyipit.

"Owh ... hangover karena banyak orang. Kukira kamu habis minum alkohol." Herman tergelak. Kedua bahunya terguncang beberapa kali.

"Ngawur. Mana mungkin aku minum alkohol. Gila aja. Ini emang biasa kejadian sama orang dengan kepribadian kayak aku. Introvert Hangover. Aku baru tahu beberapa bulan lalu. Dari artikel di internet. Dulu, kupikir aku ini aneh, tiap ada rame-rame gitu gampang pusing. Pernah sampe pingsan juga."

Lia menghela napas dalam, lantas mengembuskannya perlahan. Menjeda kalimatnya. Menyesap teh hangat dari gelas.

"Her, menurutmu, aku harus gimana? Papa meninggal semalam jam sebelas. Mama pingsan beberapa kali. Orang-orang sibuk ngurus mama. Dan ... alih-alih sedih karena meninggalnya papa, aku malah sebel liat orang ngerubutin mama." Mata sayu itu memandang teh dalam gelas yang berada di pangkuan. Tertangkup dua telapak tangan.

"Sebel? Kok?" Herman mengernyit. Menatap gadis di hadapannya penuh tanya.

Lagi, helaan napas dalam mengawali ucapan yang keluar dari bibir tipis itu.

"Aku enggak tahu. Aku sebel aja. Bahkan, aku bingung. Kenapa rasanya biasa aja pas tahu papa meninggal. Kenapa aku enggak sedih kayak lainnya? Aku jahat banget." Gadis cantik berkulit cerah itu menunduk. Menggigit bibir bawahnya.

"Kamu pikir begitu? Kamu jahat?" Herman mengulangi ucapan Lia. Menjadikannya pertanyaan.

"Entahlah. Kenapa kelakuanku selalu aneh-aneh dan berbeda. Kenapa aku enggak bisa sama kayak yang lain, lalu bikin keluargaku seneng dan bangga, sih? Sulit banget." Lia mendengkus kasar.

Dan keluham macam ini, selalu menyakiti hati Herman. Dia tak mau Lia bersedih dan kesakitan. Tapi ... lelaki yang sangat menyayangi Lia itu tak mampu berbuat apa-apa.

Dia bukan pria yang mampu menghibur temannya dengan baik. Dia hanya bisa mengajak Lia bercakap-cakap. Bermain-main.

Hanya saja, ketika gadis cantik itu mencurahkan segala isi hatinya, Herman selalu merasa tak nyaman. Herman tak mau melihat Lia menangis. Herman benci perempuan yang menangis.

"Kamu kayaknya udah baikan. Ayo, segera habisin tehnya. Kita segera pulang!" Lelaki bertinggi sedang itu seketika beranjak. Sengaja, untuk menghentikan segala keluh kesedihan gadis cantik di hadapannya.

***

Lia sampai di rumah, beberapa saat sebelum jenazah orangtua lelakinya dibawa ke pemakaman. Herman mengantarnya pulang. Menurunkannya beberapa meter sebelum pagar di rumah. Lantas menunggunya hingga dipastikan bahwa gadis cantik itu benar-benar telah sampai.

Dan karena suasana masih ramai, Lia bisa dengan mudah menyusup masuk. Tak ada seorang pun yang menegur, menanyakan keberadaannya semalam. Seolah-olah memang tak ada yang menyadari bahwa dia telah pergi ke luar rumah sejak dini hari tadi.

Dan tentu saja. Hal ini membuat Lia merasa aman dan berpikir bahwa perbuatannya tak menimbulkan masalah. Meskipun sejatinya, buntut dari perbuatannya kali ini adalah serentetan kisah yang terjadi dalam hidupnya. Kisah yang sama sekali tak pernah dia pikir akan menimpanya.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now