Mama

79 11 0
                                    

Adalah Martini, wanita yang dalam hatinya merasa begitu menyayangi Kamelia Sujatmoko. Bagaimana dia tak menyayangi anak perempuan bungsunya itu. Pun Lia adalah anak perempuan satu-satunya. Anak yang sangat cerdas meskipun memang terkesan bandel dan pemberontak.

Putri bungsu yang lahir di saat Martini sudah tak muda lagi. Tiga puluh lima tahun umurnya kala itu. Sementara kedua anak lelakinya telah beranjak remaja. Irwan empat belas tahun, sedangkan Agus sudah sebelas tahun.

Lia adalah putri yang sejatinya begitu diharapkan. Tapi, sejak berhenti mengkonsumsi kontrasepsi hormonal selama delapan tahun, tak jua ada tanda-tanda kehamilan.

Baru di tahun kesembilan, Martini mengandung kembali. Di saat harapannya telah menguap bersama angin yang datang tiap kemarau. Melebur bersama derasnya hujan yang turun setelah angin berlalu.

Kehamilan yang ... bisa dikatakan sedikit terlambat. Tak tepat waktu. Di saat Martini sudah berhenti berharap. Sudah malas menimang bayi. Sudah terbiasa dengan kebebasannya dari kegiatan ibu-ibu.

Awalnya, Martini sempat mengeluh, karena dipikirnya pasti tangannya yang telah lama tak menimang bayi, akan memjadi kaku. Tenaganya untuk mengejan atau merawat buah hati yang dikandung, akan semakin melemah. Tapi, ketika dokter mengabarinya bahwa si janin adalah perempuan, seketika itu juga keluhan dan kemalasan yang sempat ada, menghilang.

Bayi perempuan lucu dan cantik. Setelah sibuk berkutat dengan dua bocah lelaki yang cukup melelahkan, kini tiba masanya dia akan menimang si bayi cantik.

Segala bayangan dan harapan seketika hadir dalam benak wanita yang begitu bahagia itu. Gadis kecilnya akan didandani dengan saangat cantik. Baju-baju indah. Rambutnya akan dikuncir dengan karet warna-warni dan jepit gemerlap yang indah. Kaki mungilnya akan dihias sepatu berbagai model. Mulai yang berlampu, hingga yang mengkilat bak kaca.

Dan beberapa bulan kemudian, setelah umur kandungan cukup untuk melahirkan, Lia bayi terlahir ke dunia. Bayi cantik yang ditunggu-tugggu.

Bulan berganti tahun. Dan, tahun-tahun berlalu. Lia kecil tumbuh sebagai anak yang sangat cerdas. Di usianya yang baru empat tahun, dia sudah mampu membaca, padahal belum juga masuk Taman Kanak-kanak. Lia pandai bercerita. Dari tayangan-tayangan televisi, kemudian diceritakannya kembali.

Tak hanya itu, ketika sudah duduk di bangku sekolah dasar, tanpa usaha berarti, Lia kecil selalu berada di urutan pertama. Mengerjakan semua PR tanpa sedikit pun bantuan orang lain. Martini dan Sujatmoko begitu bangga dengan anak bungsunya ini. Dia sangat mandiri. Martini tak perlu bersusah payah menemani putrinya belajar. Apa yang akan diajarkan, jika Lia tahu jauh lebih banyak dari ibunya?

Pun perkara acara sekolah. Lia tak pernah rewel. Ketika Martini atau Sujatmoko tak bisa datang dalam acara pengambilan raport, Ali menggantikan mereka, dan Lia tak banyak protes. Karenanya, setiap acara sekolah, Alilah yang datang. Berbeda dengan kedua kakak lelaki Lia yang akan protes dan mengamuk jika bukan orangtua mereka sendiri yang datang.

Tak hanya itu, ketika pendaftaran masuk Sekolah Menengah Pertama pun, Lia melakukan semua sendiri. Anak gadis tiga belas tahun, mendaftar sendiri. Bahkan, melakukan daftar ulang dan mengurus semua administrasi sendiri saja. Tanpa sedikit pun bantuan orangtuanya. Tentu saja, untuk jenjang pendidikan berikutnya, Lia mengerjakan semua dengan mudah.

Tak hanya itu, berbagai prestasi juga begitu membanggakan kedua orangtua Lia. Berbagai piala dan piagam penghargaan menumpuk di lemari.

Dan, atas usulan dari Sujatmoko, kedua orangtua Lia tak menampakkan pujian atau sikap bangga berlebih di depan anak gadisnya. Meskipun sejatinya, keduanya begitu bangga. Sujatmoko hanya ingin putrinya menjadi pribadi yang rendah hati dan tak mudah berpuas diri.

(Complete) Perempuan yang TerbuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang