Teror

139 16 5
                                    

Amarah sepasang suami istri itu, seketika terlupakan dengan datangnya motor gerobak roda tiga. Motor dengan bak terbuka yang akan membawa barang-barang mereka ke kontrakan baru.

Sebenarnya, baik Herman atau Lia, sama sekali tak tahu, seperti apa dan di mana tempat itu. Mereka menyerahkan semua urusan pada lelaki paruh baya berjenggot itu. Bahkan, urusan perhitungan berapa harga sewa dan untuk berapa lama. Berapa total harga barang yang akan dijadikan barang dagangan pun, keduanya sama sekali tak tahu.

Lia dan Herman yang tengah menikmati makan malam, kontan menoleh ketika mendengar bunyi mesin motor roda tiga berhenti di depan rumah.

"Sudah, kalian makan saja, dulu!" Yanu yang ikut makan bersama di ruang tengah--mereka makan di ruang tengah, karena ruang makan sedikit lebih sempit--menenangkan Herman dan Lia yang bereaksi dengan kedatangan motor itu.

Lelaki paruh baya itu segera berisyarat kepada istrinya, agar nenemui pengendara motor itu. Mempersilakannya masuk dan menunggu.

Ina mengangguk gegas. Lantas beranjak. Melakukan sesuai titah suaminya.

Karena efek terlalu antusias, Lia dan Herman mempercepat kegiatan makan. Bahkan, wanita berdaster biru itu tampak tak sabar ketika menyuapi Cahaya.

"Nak, tenanglah! Suapi anakmu dengan baik. Kalian pasti jadi menempati kontrakan itu. Biar barangnya diangkut sama yang punya gerobak. Kalian ikut yang selanjutnya, ketika dia kembali lagi." Yanu menahan tawa melihat reaksi sepasang suami-istri itu.

Menit kemudian, setelah motor berlalu dan mereka menyelesaikan makan. Herman dan Yanu duduk di ruang tamu. Menunggu motor gerobak kembali lagi untuk membawa mereka. Herman menjaga Cahaya yang kembali bermain-main dengan beberapa mainannya.

Sementara Lia dan Ina, membereskan sisa makanan dan piring kotor di meja ruang tengah. Meja berukuran 1x1.5 meter persegi dengan kaki-kaki meja yang pendek. Karena memang diperuntukkan sebagai meja tanpa kursi.

Lantas, Lia pun membantu wanita berperawakan kurus itu untuk mencuci piring. Meletakkannya di rak untuk dikeringkan.

Sembari menunggu, Herman kembali bercakap-cakap dengan Yanu. Dan tentu sana, lelaki yang sudah dianggap sebagai ayah angkat bagi Herman itu, banyak memberikan wejangan.

"Kamu harus sabar menghadapi istri seperti Lia. Dia itu wanita cerdas. Wanita itu cenderung cerewet, sudah kodratnya. Ditambah lagi, Lia punya otak yang cerdas dan multi talenta. Jelas pikirannya bercabang ke mana-mana." Kalimat Yanu terjeda oleh sruputan kopi hitam dari bibirnya.

"Inggih, Bah. Itu yang sedikit menjadi masalah di antara kami. Terkadang, kulo agak kewalahan dengan pemikiran-pemikiran Dik Lia." Lelaki berkemeja cokelat dengan lengan pendek itu memeriksa kopi di lepek.

"Iya. Abah salut sama kamu. Kamu itu kuat. Meskipun yah ... sempat goyah dengan berselingkuh. Tapi, apa kamu dapat yang lebih baik?" Yanu menatap lelaki di hadapannya lekat-lekat.

"Tidak, Bah. Malah jauh lebih bikin pusing dari pada Dik Lia. Saya pikir, wanita seperti Lulu lebih mudah dihadapi, karena dia lebih enggak pintar daripada Lia. Bahkan, media sosial saja, dia baru punya beberapa tahun terakhir. Berbeda dengan Lia yang bahkan bisa memperbaiki radio rusak." Herman menunduk malu-malu. Menahan tawa.

"Jadi bagaimana? Wanita bodoh pun sama merepotkannya, kan? Sama sulit diatur, kan?" Yanu terkekeh. Melempar pandangan ke langit-langit.

"Iya, Bah. Bahkan, saya sempat terkaget-kaget ketika tiba-tiba ibunya Aya memaafkan saya. Menerima Lulu. Bahkan mendadak sabar. Tapi, malah Lulu yang semakin berulah."

Mendengar ucapan pria di hadapannya, kembali Yanu terkekeh. Kini bahkan tergelak. "Begitulah kehidupan, Nak. Kamu tak akan bisa lari dari jatah bagianmu."

Keduanya tergelak bersama. Menikmati kopi dan obrolan malam ini. Sebelum kemudian terputus oleh datangnya motor gerobak yang akan membawa keduanya ke tempat tinggal mereka yang baru.

***

Bangunan sederhana berukuran 6x3 meter persegi. Dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian tertutup papan-papan kayu tertata, yang memang diperuntukkan sebagai toko. Dan bagian lain, ruangan berukuran 3X3 meter dengan jendela kaca kecil.

Sudah tersedia rak kayu besar di sisi samping bagian dalam toko. Sebuah etalase kaca juga sudah tersedia. Bahkan, barang-barang dagangan sudah lumayan lengkap.

Sementara dapur dan tempat mandi, menjadi satu di sebelah bangunan ini. Hanya bangunan semi permanen kecil dengan dinding anyaman bambu.

Sebenarnya, tak ada kamar mandi. Hanya ada bak penampungan air di dalam bamgunan itu. Jadi, kalau hendak buang air atau mandi, maka pintu dapur harus dikunci.

Sangat berbeda dengan keadaan Lia sbelum ini. Terlebih lagi sebelum empat tahun terakhir. Kamar tidur berukuran 6x6 meter persegi, dengan tempat mandi di dalam. Pun kran shower yang bisa berubah suhu. Mau air dingin atau panas.

Tak hanya itu, bahkan ranjang empuk selalu menanti di kamarnya. Tapi kali ini, Lia harus mau tidur hanya beralaskan karpet tipis tanpa guling. Hanya ada dua bantal. Itu artinya salah satu di antara mereka harus bergantian mengalah untuk Cahaya.

Tapi, Lia sama sekali tak mengeluh. Bahkan, dia sangat senang. Itu artinya dia benar-benar akan hidup mandiri.

Lia telah membayangkan bagaimana hidupnya setelah ini. Mendapat penghasilan cukup. Suami yang mencintainya. Anak yang sehat. Bisa menabung. Dan, akhirnya bisa  memiliki rumah dan kendaraan sendiri. Yang artinya ... Lia bisa membanggakan semua kepada keluarganya. Menunjukkan kalau dia mampu bertahan, bahkan melesat lebih jauh tanpa bantuan mereka.

Dan untuk beberapa saat, Lia hanya berdiri mematung, menggendong Cahaya. Tersenyum menatap bangunan di hadapannya. Sebelum kemudian, suara bariton Herman mengejutkannya. Memaksanya untuk kembali pada kenyataan.

"Bun! Malah diem di situ. Ayo kita segera masukin barang-barang. Lanjut menata kamar buat tidur. Udah malam."

"Oh, iya, Yah. Bentar."

Lia melangkah setelah tersadar. Menaiki dua undakan. Menjejakkan kaki di teras depan bangunan itu. Teras berlapis semen hitam mengkilat.

Wanita berambut ikal itu menurunkan sang putri di ruangan yang diperuntukkan menjadi tempat tidur mereka. Menggelar karpet. Lantas merapikannya utuk tempat tidur putri kesayangannya.

Cahaya memang terbiasa tidur sendiri. Tapi, harus dengan susu dari botol. Maklum saja, dia baru tiga tahun.

Karenanya, setelah tempat tidur siap, Lia bergegas mencari termos yang tadi sempat dia isi air panas ketika hendak berangkat. Untung saja, Lia menemukannya di antara tumpukan barang di pojok ruang sebelah. Segera saja, wanita berkulit cerah itu membuat susu untuk putrinya.

Sementara itu, Herman masih saja sibuk memasang selang elpiji ke kompor. Lelaki bercelana hitam itu duduk menjuntai di bibir teras. Sesekali, dia menghentikan kegiatannya. Lantas mendongak, menatap langit hitam yang dihiasi bintang. Tak ada awan yang menutupi kerlip bintang malam ini. Kemarau belum jua pergi.

Sejenak, pikiran lelaki memesona itu melayang. Berbagai keresahan dan segala penyesalan kembali menyerangnya. Sebelum dengungan ponsel terasa di saku kemejanya.

Herman meletakkan gas dan selangnya di samping tubuh. Lantas meraih ponselnya gegas. Nomor tanpa nama yang terpampang di layar.

Tanpa pikir panjang, dia menjawab panggilan itu gegas. Dan betapa dia terkejut ketika mendengar suara perempuan memekik dari seberang.

"Laki-laki brengsek! Kurang ajar, Kau! Kau pikir aku akan tinggal diam, hah--"

Itu adalah suara Lulu. Tentu saja, herman segera memutus panggilan itu. Lantas memblokir nomor yang baru masuk. Sejenak dia baru ingat, bahwa belum mengganti nomor ponsel miliknya maupun Lia.

Karenanya, seketika Herman beranjak. Melangkah ke dalam rumah. Menghampiri istrinya, lantas meminta ponsel.

Herman memberitahu Lia tentang kejadian barusan. Dia segera mengeluarkan nomor SIM dari ponsel sang istri. Berharap, Lulu tak bisa meneror mereka lagi.

Memang, Herman telah memutus komunikasi dengan perempuan ambisius itu. Tapi, sejenak kemudian dia teringat berbagai perbuatan Lulu sebelum ini. Dan, semua itu membuat lelaki bertinggi sedang itu seketika bergidik ngeri. Membayangkan apa saja yang mungkin diperbuat mantan istrinya itu ke depannya. Dia adalah wanita yang benar-benar nekad.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now