Jalan Hidup

91 10 0
                                    

Ulah Lia yang kabur di malam kematian sang ayah, ternyata diketahui beberapa orang. Dan ini terbukti beberapa hari setelahnya.

"Her ..." Suara Lia terdengar rendah. Matanya berkaca-kaca dengan ponsel menempel di telinga. Duduk di bibir ranjang dengan telapak tangan menyangga dahi dan siku bertumpu pada kedua paha.

"Lia? Kamu kenapa?" Tentu saja, Herman begitu khawatir. Baru beberapa hari, gadis yang begitu berharga baginya itu kehilangan ayahnya--meskipun Lia berkata bahwa dia tak sedih sama sekali.

"Her ... Mas Agus mau ke rumahmu. Dia sudah di jalan. Enggak lama lagi bakal nyampe. Maafin, aku! Kumohon maafin aku, Her!" Lia menahan tangis. Dia tak mau Herman tiba-tiba mematikan ponsel kalau mendengarnya terisak. Lia masih ingin mendengar suara Herman.

"Ke rumah? Ngapain? Dia tahu rumahku? Dia kenal aku? Bagaimana bisa? ... " Herman memberondong Lia dengan berbagai pertanyaan.

Dan tentu saja, Herman yang sedang di luar rumah, begitu terkejut mendengarnya. Herman masih menyelesaikan pekerjaannya sebagai sales marketing di salah satu perusahaan farmasi. Herman sedang menunggu dokter keluar sebentar lagi. Dokter yang sudah membuat janji dengannya untuk bertemu perihal pemesanan dan informasi obat baru.

Hal yang sangat konyol jika Herman tiba-tiba pergi dan mangkir dari janji. Karena, tak mudah untuk menemui dokter yang kali ini ditunggunya. Salah satu dokter kandungan yang sedang naik daun di kota ini.

Tapi, Herman benar-benar cemas pun keheranan. Karena, tiba-tiba Agus akan datang ke rumahnya. Selama setahun lebih pertemanan mereka, tak ada yang tahu tentang Herman--lebih tepatnya tak ada yang memperhatikan kedekatan mereka. Tapi, kenapa begitu tiba-tiba salah satu kakak lelaki Lia hendak datang ke rumahnya?

"Aku enggak tahu. Semua terjadi begitu saja. Pagi tadi ... pagi tadi, pas aku mau berangkat kuliah, Mas Irwan datang. Marah-marah." Kalimat Lia terjeda beberapa saat. Gadis yang sedang berusaha menahan tangis itu menelan ludah, berusaha menghalau rasa tersekat di tenggorokan.

"Kenapa? Ada masalah apa, Lia?"

"Ada yang ngelihat aku kabur dan membonceng sama kamu malam itu. Aku takut, Her. Tadi--"

Belum juga Lia menyelesaikan kalimatnya, Herman terpaksa harus memutus percakapan mereka. "Lia, maafin aku! Aku harus menemui dokter untuk pekerjaan. Kita ngobrol habis ini, ya? Aku akan segera ngubungin kamu."

"I-iya."

Herman segera mematikan sambungan teleponnya. Lantas beranjak, melangkah ke ruang dokter. Dan tentunya, dengan perasaan yang tak nyaman. Kalut, bingung, khawatir, dan entah apa lagi.

***

Kedatangan Agus ke rumah Herman yang diterima oleh kedua orangtuanya, menimbulkan masalah setelahnya. Ya ... seperti yang telah diperkirakan.

Edi menunggu putranya pulang di ruang depan. Sore itu, belum juga Herman turun dari motor, ayahnya telah berdiri di teras dengan pandangan tajam membidik.

Dan Herman tahu, apa yang akan terjadi setelahnya. Pun tahu apa yang akan dibicarakan sang ayah. Tapi ... ternyata tak benar-benar tahu semua. Dia hanya tahu bahwa sang ayah akan sangat marah karena kejadian malam hari itu.

Plak!

Tamparan yang sangat keras, mendarat di pipi Herman. Baru saja lelaki bertinggi sedang itu masuk ke ruang depan. Belum juga duduk.

Tapi, pria yang memang paham dengan sifat keras sang ayah itu tetap terdiam. Tak berkata sekecap pun.

"Kamu anak k*rang aj*r! Apa yang telah kau lakukan telah membuat malu keluarga kita. Apa saja yang telah kau lakukan dengan anak gadis orang semalaman, hah!"

Edi benar-benar marah kepada putra bungsunya itu. Tak menyangka bahwa anak yang dipikirnya bisa menjaga diri, ternyata telah ditengarai berbuat hal tak pantas dengan anak gadis orang.

"Kami tak berbuat apa-apa. Ayah mau percaya silakan! Tak percaya pun, hak ayah. Lagi pula, kapan ayah pernah percaya padaku?" Herman masih berdiri. Berhadapan dengan sang ayah.

"Keluarga Sujatmoko menuntutmu untuk menikahi gadis itu. Kau benar-benar telah membuat kami malu."

Mendengar perkataan sang ayah, lelaki dua puluh enam tahun itu sangat senang meskipun kabar itu disampaikan dengan amarah dan tamparan--tentu saja, Herman menginginkan Lia. Dia tak menyangka bahwa ada kabar gembira di balik segala kekhawatiran ini. Lia tak mengatakan hal ini ketika bercakap-cakap di telepon tadi. Bahkan pada percakapan mereka berikutnya, Lia hanya menceritakan amarah Martini dan kedua kakak lelakinya itu, terutama Irwan. Kakak yang membawa kabar tentang hal ini pagi tadi.

Tapi, di sisi lain, ada kekhawatiran dalam hati. Bagaimana dengan Lia? Apakah gadis cantik yang selama ini bersahabat baik dengannya itu bersedia dan tak merasa terpaksa?

Sedangkan kemarahan bahkan tamparan, kini sama sekali tak dihiraukan. Herman lebih fokus dengan pikirannya sendiri.

***

Herman segera menghubungi Lia, setelah usai demgan segala amarah dan caci maki sang ayah. Dia tak mau jika gadis yang baginya sangat berharga itu menerima semua dengan terpaksa. Tapi sebelumnya, dia telah menghubungi kekasihnya. Tentu saja, tanpa pikir panjang, memutuskan hubungan.

Lagi-lagi, perbuatannya menimbulkan sumpah serapah panjang yang cukup memekakkan telinga. Tapi, Herman tak peduli, karena dalam pikirannya hanya ada Lia, Lia, dan Lia.

"Lia ..." Nada suara lelaki yang sangat menyayangi gadis di seberang itu sangat lembut.

"Her ... kamu enggak apa-apa, kan? Ayahmu pasti marah."

"Enggak. Enggak apa-apa. Wajar kalau kakakmu dan ayahku marah. Mereka salah paham. Tapi, aku enggak masalah. Aku cuma ingin nanya perihal kelanjutan hal ini. Aku enggak mau kamu menjalaninya dengan terpaksa."

"Terpaksa apa? Menjalani apa?" Lia benar-benar tak paham arah pembicaraan Herman.

"Pernikahan kita. Keluargamu menuntutku untuk menikahimu. Aku enggak mau kamu terpaksa melakukannya. Jika kamu terpaksa, kita bisa melakukan ini perlahan. Aku akan menunggu. Karena, aku sendiri sama sekali tak keberatan."

" ... " Lia hanya terdiam. Tentu saja sangat terkejut. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Darahnya berdesir hangat. Dari dada menjalar ke sekujur tubuh.

Menikah? Dengan Herman? Kenapa tiba-tiba Lia gugup dan senang?

"Lia ... kamu enggak apa-apa?"

"Oh? I-iya. A-aku enggak apa-apa, kok. T-tapi kekasihmu?"

"Aku sudah putus. Jangan dipikirkan!"

Dan pernikahan keduanya pun terjadi begitu saja, tiga bulan setelah hari itu. Dengan pernikahan yang ... membuat Lia merasa kembali terbuang. Terusir dari tempat dia dibesarkan. Kembali tertolak oleh keluarga yang begitu diharapkan perhatiannya.

Bukan tanpa alasan. Prosesi pernikahan yang terlampau sederhana, dan tak adanya pesta pernikahan setelahnya. Jauh berbeda dengan pernikahan kedua kakaknya.

Pernikahan keduanya amat sangat mewah. Mengundang ribuan orang. Dengan pesta tak hanya sekali.

Sedangkan Lia? Anak bungsu dan gadis satu-satunya, hanya prosesi sederhana saja. Hanya dihadiri keluarga inti. Bahkan, minus salah satu kakaknya. Dan yang paling menyakitkan adalah ... wajah Martini yang tampak masam selama prosesi pernikahan itu.

Tak hanya itu, satu hal pernyataan mengejutkan hadir dari orangtua perempuan yang begitu disayangi. Martini tak mau lagi membiayai pendidikan putrinya itu. Beralasan bahwa setelah menikah, Lia sudah bukan tanggung jawabnya lagi.

Dan tentu saja, Lia memilih untuk putus kuliah. Dia tak mau memberatkan suaminya. Lia mengerti seperti apa kondisi Herman. Meskipun Edi juga termasuk orang berada, tapi Herman adalah anak yang tak mau tergantung kepada orangtuanya. Dan Lia mengerti itu.

Tapi, karena terlampau senang dan berpikir bahwa hidup bersama Herman akan membuatnya merasakan kebahagiaan yang begitu diimpikan, membuat Lia tak menghiraukan semua. Tanpa dia tahu bahwa setelahnya, ada neraka dan penderitaan yang masih harus dihadapi.

Emosi yang belum usai, membawa petaka di kemudian hari. Amarah, dendam, dan kekecewaan, tak akan pernah berhenti membawa konflik. Selama belum diselesaikan dan didamaikan.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now