Hidup Baru

170 18 12
                                    

Satu jejakan kaki, menandakan kehidupan baru yang akan dimulai. Seumur-umur, Lia belum pernah hidup di luar kota.

Rasanya, wanita cantik itu benar-benar ingin menagis. Dia tak ingin memercayai hal ini telah terjadi padanya. Dalam kurun waktu tak sampai sebulan, hidupnya seperti sedang menaiki roller coaster. Seolah-olah ini adalah hasil rekapan dan rangkuman dari empat tahun perjalanan hidupnya sejak menikah.

Atau ... mungkinkah ini adalah ujian akhir? Yang artinya setelah ini, esok yang cemerlang itu akan tiba?

Ah, tiap kali mengalami hal menyakitkan, selalu saja Lia akan beranggapan macam itu. Tapi nyatanya, penderitaan datang lagi dan lagi.

Ah, sudahlah ... bukan hal yang harus dipikirkan. Sekarang waktunya untuk terus berjalan dan bertahan. Urusan yang lain itu bisa dipikirkan nanti saja.

Bus sudah berlalu dengan cepat, meninggalkan penumpang. Menyisakan asap hitam yang menyesakkan. Bercampur debu beterbangan efek angin dari gerak kendaraan.

Lia berdiri di pinggir jalan. Wanita bertinggi sedang itu menggendong putrinya dengan ransel yang tersampir di pundak. Memutar tubuh, melangkah menuju kursi besi yang ada di depan swalayan.

Perlahan, Lia meletakkan tas di meja metal bundar. Lantas mendudukkan Cahaya. Sementara dia sendiri duduk pada kursi yang berada di sebelah balita cantik itu.

Sejenak, wanita berkulit cerah itu meluruskan punggung. Lantas, membuka resleting tasnya, berusaha mengambil ponsel. Dalam beberapa tarikan nafas saja, dia sudah mengirim pesan ke nomor suaminya. Mengabari bahwa telah sampai di Pasar Ngopak, dan sedang menunggu di depan toko swalayan.

Dan, ternyata tak butuh waktu lama,  hingga Herman datang. Hanya berselang tak sampai setengah jam saja. Hal ini karena lelaki berperawakan sedang itu segera menyusul bis yang membawa sang istri.

Lelaki berjaket sintetis cokelat itu menghentikan motor di depan swalayan. Membuka helm full face birunya. Meletakkannya di atas tangki motor. Lantas, mengembuskan napas lega, ketika melihat dua orang yang paling berharga dalam hidupnya. Duduk santai menikmati sebotol teh dingin bersama. Senyum bahagia kembali tersungging di bibir tipis lelaki berjenggot tipis itu.

Sementara Lia dan Cahaya memandang ke arahnya. Menyambut ayah dan suami mereka dengan senyum yang sama leganya.

Setelah memarkirkan kendaraan dengan baik, Herman melangkah ke arah anak dan istrinya.

"Ayo, Bun, kita segera ke rumah Pak Yanu!" Herman berkata sembari melangkah.

"Duduklah dulu, Yah. Ayah pasti capek motoran. Istirahat barang lima menit. Nih, minum dulu! Habis itu kita jalan." Lia menyodorkan botol minuman ke arah sang suami.

Herman tersenyum, lantas duduk di sebelah sang istri. Menerima minuman itu, dan meminumnya.

Baru beberapa menit kemudian, setelah lelah cukup berkurang, ketiganya melanjutkan perjalanan. Menuju rumah lelaki bernama Yanu itu. Lelaki paruh baya yang mereka yakini akan menjadi penolong mereka.

Hanya butuh waktu tak lebih dari sepuluh menit saja, mereka telah sampai di rumah Yanu.

Rumah berukuran sedang. Hanya sekitar 80 meter persegi. Rumah baru yang hanya disemen halus dan belum dilapisi cat. Pun kusennya masih kayu belum berplitur. Bahkan, jendela-jendelanya pun belum ditutup kaca. Hanya lapisan plastik sebagai pelindung dari debu dan angin.

Herman dan Lia turun dari motor. Lantas melangkah menjejakkan kaki di teras yang masih belum berlapis keramik. Hanya semen cor kasar. Setelah sebelumnya Herman memarkirkan motornya di samping rumah. Di bawah pohon mangga yang tak terlalu besar.

Dan belum juga mereka berucap salam atau pun mengetuk pintu, lelaki paruh baya telah membukakan pintu untuk mereka--Mungkin saja bunyi motor berhenti tadi sudah terdengar dari dalam rumah.

Lelaki berperawakan sedang. Dengan warna jenggot bercampur antara hitam dan putih yang cukup tebal. Kulitnya pun bersih. Senyumnya semringah dengan mata berbinar. Menyambut kedatangan keluarga kecil yang selama beberapa bulan terakhir cukup intens berhubungan dengannya.

"Wah, kalian sudah datang, Nak. Ayo! Segera masuk! Pasti kalian capek. Bunda sudah nyiapin makan siang, tuh."

Herman dan Lia bersalaman dengan lelaki paruh baya itu dengan sangat sopan. Layaknya anak yang bertemu orangtuanya. Lantas, mengekori lelaki berkemeja putih itu yang seketika melangkah setelah tamu-tamunya usai bersalaman.

Lia meletakkan ransel di pojok ruang tamu. Lantas kembali melangkah mengikuti Yanu ke ruang makan.

Di sana sudah menunggu wanita paruh baya berperawakan kurus. Berambut keriting yang dikuncir kuda. Bunda Ina, nama panggilan Lia dan Herman padanya.

"Akhirnya kalian datang. Ayo makan dulu! Habis itu baru ngobrol sambil istirahat."

Sepasang suami istri itu mengangguk hormat. Sementara Yanu dan istrinya pergi membiarkan tamu-tamu mereka menikmati makan siang.

Dan menit kemudian, setelah membereskan piring kotor, sepasang suami istri itu kembali ke ruang tamu. Di mana Yanu dan Ina sedang duduk sembari bercakap-cakap. Keduanya duduk di lantai beralaskan karpet coklat polos. Tak ada kursi. Hanya ada meja pendek berukuran sedang.

"Loh, sudah makannya?" Ina beranjak dari duduknya, hendak ke ruang makan. Membereskan piring kotor.

"Sudah, saya beresin, Bunda. Sisa makanannya juga sudah ditutup."

Lia menurunkan Cahaya, membiarkannya bermain. Sementara dia sendiri duduk di dekat Ina. Dan Herman duduk di dekat Yanu.

Dan siang itu diisi dengan percakapan tentang di mana keluarga kecil itu akan tinggal. Bagaimana mereka akan menjalani kehidupan setelah ini. Di tempat baru yang tentunya butuh waktu beradaptasi dan segala macam hal yang tak bisa dibilang mudah.

Tapi, untungnya lelaki paruh baya berjenggot itu memiliki solusi yang cukup meringankan bagi pasangan suami istri itu.

Yanu punya tempat tinggal sekaligus usaha yang bisa mereka sewa. Bangunan dua petak yang bisa digunakan sebagai toko kelontong. Dan menurut penuturan lelaki paruh baya itu, prospek di sana cukup menjanjikan. Tak ada toko kelontong di sekitar daerah itu.

Tentu saja, Herman dan Lia merasa senang mendengarnya. Tapi, ada satu kendala lagi. Keduanya tak memiliki cukup uang untuk membayar sewa. Sisa uang mereka hanya cukup untuk makan tak sampai seminggu. Jadi, mana mungkin menyewa, terlebih lagi mengisi toko dengan barang dagangan?

Dan, lagi-lagi Yanu memberikan solusi. Herman bisa menggadaikan motor kepada teman Yanu. Dengan begitu, mereka bisa memulai usaha. Pun tak hanya itu. Yanu memberikan sepeda kepada keduanya untuk memudahkan mereka ketika hendak mengulak barang-barang dagangan ke pasar.

Lagi, harapan begitu besar, berkembang di hati wanita cantik berkulit cerah itu. Bayangan hidup damai dan bahagia bersama keluarga kecilnya, benar-benar terpampang nyata di hadapan.

Lia benar-benar merasa senang. Rasa bahagia benar-benar membuncah di dada. Sebelum ketakutan akan karma dan kutukan sang ibu kembali mengusik kebahagiaannya siang ini.

Oh, Tuhan ... mengapa ketakutan itu selalu mengusikku? Apakah aku selamanya akan hidup dalam ketakutan ini?


(Complete) Perempuan yang TerbuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang