Gerbang Kebahagiaan

89 10 0
                                    

Memaafkan, perkara yang sulit bagi sebagian orang yang berpikiran picik. Tapi akan relatif mudah bagi yang berkesadaran. Dan tentunya, dengan keadaan yang mendukung, atau ...

Entahlah, atau apa?

Karena ternyata bagi Herman, proses memaafkan dan berbenah tak sesulit yang dipikirkan. Edi menerimanya dengan baik pagi itu. Bukan hanya baik, bahkan raut wajah bahagia dan senyum semringah tak sedetik pun menghilang dari wajah tuanya.

Pun dengan Ratih. Dia sangat-sangat senang. Memeluk menantu perempuan satu-satunya, cucu bungsu tersayang. Mereka adalah orang-orang yang begitu diharapkan kedatangannya selama lima bulan terakhir.

Edi duduk di ruang tamu, berhadapan dengan Herman. Pada kursi kayu berlapis spons cokelat. Sementara Lia dan Cahaya, bermain-main di ruang tengah bersama Ratih. Pun dua kakak perempuan Herman datang beberapa saat setelah kedatangan mereka. Sengaja, karena sudah sangat rindu kepada ipar dan keponakan mereka.

"Kalian akan menginap, kan?" Tiba-tiba Edi bertanya di sela percakapan mereka kali ini.

"Ehm ... kalau sekarang kayaknya belum, Yah. Kami hari ini tutup toko pun sangat terpaksa." Herman melemparkan pandangan ke lantai. Mimik wajahnya tampak ragu-ragu.

"Ada masalah?" Edi memiringkan kepala. Nada suaranya merendah.

Sebenarnya, sikap keras Edi dalam mendidik Herman sebagai anak lelaki satu-satunya bisa dobilang wajar bagi orang kampung dan kuno--meskipun tetap bukan hal yang dibenarkan. Bahkan, sejatinya sangat penyayang dan lembut. Pun penuh perhatian kepada keluarga.

Dan inilah yang membuat Herman lebih mudah menyelami alasan-alasan sang ayah berbuat hal yang dianggap menyakitinya selama ini. Toh, ada kekeliruan Herman yang membuat sang ayah berbuat macam itu. Herman dewasa, sudah memaafkan Edi sejak dulu. Menyadari kalau dia keliru.

Kini, saatnya memeluk Herman kecil. Menerima kemarahannya. Membuatnya nyaman dan tak lagi kecewa.

"..." Herman terdiam, masih ragu-ragu.

"Ayah lihat kalian ke sini dengan becak. Motormu ke mana? Bukankah BPKBnya masih di lemari?" Masih, nada suara Edi begitu tenang.

"Maafkan Herman, Yah. Motornya ... digadaikan. Dan ..." Herman lagi-lagi ragu untuk menjelaskan semua.

Edi menghela napas dalam, lantas mengembuskannya perlahan. "Nak, jangan kau pikir Ayah dan Ibu ini benci padamu! Kami hanya kecewa ketika kau menikahi janda itu. Itu adalah kekeliruan yang sangat fatal. Kau sendiri tahu bagaimana perkataan keluarga istrimu dulu. Malah kau berulah."

"Iya, Yah. Herman mengerti hal itu." Herman menunduk. Nada suaranya sangat lirih.

"Untuk saat ini, Ayah tahu kalau kau sedang terpuruk dan kesulitan. Ayah tak mau menutup mata lagi. Apa kau tetap tak mau bekerja bersama Ayah? Pulanglah, Nak! Untuk urusan motor, biar Ayah bantu--"

Mendengar kalimat terakhir Edi, seketika Herman menyela. "Tapi, Yah--"

"Herman! Ayah tahu, kau sangat benci dianggap sebagai anak manja dan selalu tergantung kepada kami. Tapi, mau sampai kapan? Bekerjalah bersama Ayah. Ladang tebu dan beberapa petak sawah itu, kalau bukan kamu yang menggarap, lantas siapa? Untuk motor dan semua modal, bisa kita anggap sebagai pinjaman atau investasi ayah padamu. Kau bisa mengembalikannya di kemudian hari. Bagaimana?"

Lagi, Herman hanya terdiam. Matanya kini bergerak ke sembarang arah. Pikirannya sibuk menimbang antara menerima atau menolak. Menerima demi anak dan istri. Atau ... menolak demi idealisme.

"Sampai kapan kau akan tetap dengan keangkuhanmu itu? Pikirkan anak-istrimu! Hidup di kampung orang bukan mudah. Terlebih lagi, kau harus bisa segera bangkit, Nak. Ingat bagaimana keluarga Sujatmoko kala itu!"

"Ehm ... b-baiklah, Yah. Herman akan menurut bagaimana baiknya. Lagipula, apa gunanya terus bertahan dan menghancurkan diri."

Edi mengembuskan napas lega. Seulas senyum tersungging di bibir berkumis itu.

***

Semuanya terjadi sangat singkat. Herman mencari informasi lelaki yang kini menggunakan motornya. Dengan dibantu para tetangga, dia mengunjungi lelaki itu. Lantas, setelah memberitahukan duduk permasalahan yang sebenarnya, mereka bersama-sama berkunjung ke rumah Yanu.

Yanu tak mampu berbuat apa pun untuk membela diri. Ternyata, dari informasi beberapa tetangga, Yanu kerap melakukan penipuan. Memang tak besar, tapi beberapa kali berhasil menggelapkan uang maupun kendaraan dengan modus membantu. Dan korbannya adalah orang-orang kepepet seperti Herman dan Lia.

Dan perkara Lia yang telah diganggu, kemungkinan besar Yanu memang tertarik karena kecantikan dan kecerdasan istri Herman itu. Lia memang kreatif dan berbakat pada hampir segala hal. Dan jika Yanu berhasil mendapatkannya, dia akan sangat membantu lelaki penipu itu dalam beraksi. Itu kemungkinan yang ada. Dari cocokology dan obrolan di antara para lelaki.

Ya ... lelaki pun sama saja. Sama juga bisa bergosip dan cocokology. Tapi, itu hukan masalah besar. Yang penting segala urusan motor, sudah selesai.

Dan urusan perhitungan sewa toko dan segala barang di dalamnya, meski sepertinya tak sebanding, tapi Herman tak mau ambil pusing lagi. Yanu berkelit dan membuat catatan yang ditengarai palsu. Sementara Herman sendiri berada di posisi yang cukup lemah. Dia tak punya cukup bukti dengan penipuan ini.

Pertengahan Februari, Herman dan Lia memutuskan pulang. Kembali ke Probolinggo. Meninggalkan kampung yang selama hampir setengah tahun ini menjadi tempat tinggal mereka.

Mereka pamit kepada para tetangga yang telah dianggap sebagai saudara sendiri. Berterima kasih kepada Pak RT dan putranya yang banyak membantu terutama urusan meminjam motor. Pun kepada ibu-ibu sekitar yang sangat ramah dan menjadi teman ngobrol bagi Lia. Meskipun Lia masih tak bisa benar-benar membaur dengan mereka.

Sungguh pengalaman yang berharga. September hingga Februari, berkelana keluar dari rumah. Hidup sebagai tunawisma. Lantas mengontrak di kampung orang. Hampir diajak kumpul kebo. Dan berbagai pengalaman lain.

Dan di minggu sore, mereka pulang dengan dijemput mobil bak terbuka, kiriman Edi. Membawa barang-barang termasuk etalase dan rak. Tak lupa sepeda.

Akhirnya mereka kembali.

Jantung Lia rasanya mencelus ketika mobil memasuki gapura batas kota. Degupannya sangat keras. Entah bahagia atau sedih. Sulit digambarkan. Rasanya hanya ... rindu. Lia tak menyangka akan kembali lagi ke kota ini.

Tapi ... ada sesuatu yang mengganjal hatinya untuk beberapa saat. Bagaimana Lia akan kembali atau berkunjung ke rumah ibunya? Cepat atau lambat, ibu dan saudara-saudaranya pasti mendengar kabar kembalinya mereka dari Pasuruan.

Terlebih lagi, bagaimana dia bisa bertemu dengan Irwan dan istrinya? Lia bukanlah orang yang mampu mengendalikan diri. Dia selalu membutuhkan Herman di saat-saat seperti itu. Tapi, apakah Herman mau menemani berkunjung ke rumah orangtuanya?

Karena, sejak isu perselingkuhan suaminya itu, Martini seolah-olah menutup pintu untuk menantunya itu. Tapi, berulang kali mengirim pesan agar Lia datang.

Bahkan ... ada satu peringatan dan titah Martini yang sampai detik ini tak pernah digubris. Martini selalu berharap putrinya itu segera bercerai dengan Herman.

Tentu saja Lia tak akan pernah melakukannya. Karena, ada satu ucapan orangtua perempuannya itu yang cukup membuatnya sakit. Sangat sakit.

Kutukan Martini kepada Cahaya.

(Complete) Perempuan yang TerbuangDonde viven las historias. Descúbrelo ahora