Teman Berharga

110 14 4
                                    

"Her, Nih!" Lia menyodorkan selembar kertas putih terlipat tiga bagian. Kertas yang diambilnya dari slingbag kain yang tersampir di pundak.

Lia berdiri di samping Herman yang sedang duduk di undakan meecusuar. Berusaha mengaitkan udang ke kail pancing. Sebelum kemudian gadis bertinggi sedang itu menyingkap ujung belakang kaos putih lengan panjangnya. Dan mengenyakkan pantat terbalut jeans biru selutut ke beton undakan mercusuar.

"Ini apa?" Herman menerima kertas itu. Mengernyit, mengamatinya.

Lelaki berkulit kecokelatan karena sengatan metahari itu meletakkan joran di bawah kaki yang beralaskan sandal gunung hitam. Kemudian, menginjak handle-nya agar tak terjatuh. Sementara umpan, urung dikaitkan. Dikembalikan lagi ke dalam timba.

"Baca aja! Dateng, ya? Aku enggak mau Pak Ali lagi yang dateng."

Lia menghela napas dalam. Menekuk lutut. Memeluknya dengan kedua tangan yang terlipat. Dan, membenamkan wajah di antara lutut. Setelah sebelumnya sempat melempar pandangan jauh ke depan. Mengamati langit biru yang nyaris tanpa awan. Langit siang yang beranjak sore. Menikmati sejenak embusan angin laut yang cukup kencang, menerpa wajah ayu gadis bertopi kulit cokelat itu.

"Undangan perpisahan akhir tahun SMU Tunas Bangsa." Lelaki bertopi pad hitam itu mengeja kalimat yang tertulis di kertas tadi. "Ini pelepasan angkatanmu?"

"Hu'um." Lia tetap dengan posisinya yang tadi. Merasakan sesak di dada.

Di usia yang baru sembilan belas tahun, gadis berpenampilan sederhana itu sudah terbiasa menghadapi hal semacam ini. Tak ada kunjungan kedua orangtuanya di acara sekolah.

Bahkan ketika dia masih duduk di bangku selolah dasar, Pak Ali, tetangga sekaligus pekerja di kebun orangtua Lialah yang selalu mengurus perkara sekolah gadis kesepian itu. Pengambilan raport, daftar ulang, serta berbagai undangan untuk wali murid yang lain.

Ada sejumput rasa prihatin tiba-tiba menelusup di hati lelaki yang selama ini banyak menghabiskan waktu luang dengan Lia. Sejenak, dia menatap gadis di sampingnya dengan tatapan penuh kasih. Menghela napas dalam, sebelum kemudian melipat kertas di tangan dan memasukkannya ke saku celana pendek cokelat.

Sejurus kemudian, lelaki baik itu meraih joran yang sedari tadi berada di bawah kakinya. Kembali melipatnya, kemudian memasukkan ke dalam tas pancing. Mengeluarkan sebotol air mineral. Membasuh tangan dengan air.

Herman menggulung sedikit lengan kaos birunya hingga setengah lengan bagian bawah. Menepuk-nepuk pelan punggung gadis yang masih membenamkan kepala di antara lutut.

"Aku bakal dateng, kok. Tenang aja! Entar aku bakal bilang kalau namaku Agus. Aku abang kamu. Gimana?" 

Herman masih menepuk-nepuk pelan punggung Lia. Sementara pandangannya lurus ke depan. Memperhatikan gelombang laut yang tak terlalu besar. Laut cukup tenang. Berbeda dengan hati Lia yang gemuruh.

Perlahan, gadis berkuncir kuda itu mendongak. Kembali menghela napas dalam. "Okeh. Aku terlalu sering juara kelas. Hingga itu bukan hal penting bagi papa dan mama. Aku ingin malas belajar, Her. Aku enggak bisa."

Lia menoleh, menatap wajah simpatik di sampingnya. Mencari sesuatu di balik iris kecokelatan yang terbingkai dengan bentuk tajam memesona.

Bibir yang dipenuhi kumis dan jenggot tipis itu, mengulas senyum hangat. Telapak tangan kekar, membelai kepala berbalut topi kulit cokelat perlahan.

"Minta air, Her? Ada batu di tenggorokanku." Senyum kecut dengan mata berkaca-kaca muncul di wajah ayu Lia. Menyiratkan kesedihan mendalam.

Herman menyodorkan air mineral yang diambilnya dari tas ke arah Lia. Dan Lia segera meraihnya. Menenggak air, mencoba menghalau rasa tersekat di tenggorokan.

(Complete) Perempuan yang TerbuangKde žijí příběhy. Začni objevovat