Perjalanan

179 19 6
                                    

Herman berjalan gontai, keluar dari terminal bus, menuju tempat parkir. Udara terik siang hari, membuat keringat menetes cukup banyak dari pelipisnya.

Dia turun dari lantai jalan tengah terminal. Seketika, rasa tak nyaman menyerang kakinya. Abu masuk tanpa pamit ketika menjejak tanah kering berdebu.

Sontak saja, lelaki bercelana jeans hitam itu membuka sandal kasual sintetisnya. Mengangkatnya hingga setinggi setengah tubuh. Menggoyang-goyang untuk mengeluarkan debu. Lantas, kembali memakainya.

Lagi, Herman menghela napas sebelum melangkah. Bayangan tentang kejadian hampir sebulan lalu, kembali berkelebatan di kepala. Kejadian yang membuat keluarga kecilnya harus menghadapi masalah ini. Kejadian karena kekeliruannya. Pertengkaran antara dia dan sang ibu.

Sore itu, kembali lagi ibu Herman menegur sang putra perkara perselingkuhan yang dilakukan. Karena, Lulu kembali berulah dengan bertamu ke rumah salah satu keponakan ibunya, sepupu Herman.

Hal semacam ini bukan sekali dua kali dilakukan Lulu. Dia sudah berulang kali melakukannya. Apa lagi tujuannya kalau bukan kembali mengancam keluarga Edi, ayah Herman. Dia meminta pertanggungjawaban keluarga yang tak jua menerimanya itu.

Oh, yang benar saja? Menerima kedatangan selingkuhan sebagai anggota keluarga?

"Jadi, kapan kamu akan menceraikan perempuan itu, Nak? Dia sudah berulangkali mempermalukan keluarga kita. Dia berkeliling ke rumah saudara-saudara tanpa malu. Hanya untuk menjual omongan. Menjelek-jelekkan keluarga kita. Menjelek-jelekkanmu." Ratih, ibu Herman, kembali menekan agar sang putra segera bertindak.

Keduanya duduk di kursi kayu berlapis spons cokelat tua, di ruang tamu. Sementara Lia sedang memandikan Cahaya di kamar mandi.

"Ibu jangan banyak menekanku begitu, dong! Aku juga sedang mikir. Kami itu punya anak, Bu. Kalaupun berpisah, Lulu pasti akan berulah. Lalu, kalau sampai Lia tahu bagaimana? Aku enggak mau kalau sampai dia minta cerai, Bu."

"Ibu juga tak mau kau sampai bercerai dengan istrimu. Tapi, memiliki dua istri dengan keadaanmu yang sekarang, sungguh berat. Apa lagi perempuan itu suka berulah. Kemarin dia kembali minta uang susu. Ayahmu bahkan tak pernah memberi uang sebanyak itu pada Lia." Dahi wanita paruh baya berperawakan kurus itu mengernyit.

"Oh, jadi ini semua perkara uang? Jadi, Ayah dan Ibu keberatan dengan uang yang telah kalian berikan pada Lulu? Kenapa kalian memberinya uang? Aku tak pernah memintanya." Suara lelaki berkaos cokelat itu meninggi. Bahkan, membuat Edi yang sedang menyiram tanaman di halaman, terkejut dengan suara putranya itu.

Dan bisa dipastikan, lelaki berkumis tebal dan berbadan berisi itu seketika berbalik. Melempar selang air begitu saja. Mematikan alirannya. Dan, segera melangkah cepat ke ruang depan, di mana Herman dan istrinya berselisih.

"Hei, anak kurang ajar! Sampai kapan kau akan selalu berulah? Tak cukupkan ulahmu selama ini, hah? Seenaknya menghardik ibumu. Kamu tak pantas di rumah ini." Lelaki berkaos abu-abu itu benar-benar di puncak amarah. Dia berdiri di samping sang istri menatap putranya dengan penuh amarah.

"Jadi, sekarang Ayah mengusirku? Baik, kami akan segera pergi dari sini." Herman memutar tubuh gegas. Berlalu, meninggalkan kedua orangtuanya. Menuju kamarnya yang berada di sebelah kamar mandi.

Tanpa menghiraukan sang ibu yang sejenak lalu terdengar memekik, berusaha menghalangi keinginan sang putra.

Dan tentu saja, Lia yang sejatinya tak tahu duduk persoalan masalah ini, mengikuti apa pun keinginan suaminya. Mengemasi barang-barang untuk segera pergi. Meninggalkan ibu mertua yang masih saja meratap dan ayah mertuanya yang tetap bertahan dengan wajah penuh amarah.

***

Bus melaju begitu cepat. Bahkan, terkesan ugal-ugalan. Begitulah ulah sopir bus. Mereka melajukan kendaraan besar panjang itu seenak jidat. Menyalip tiap kali ada celah. Bahkan terkadang hingga membuat kendaraan kecil turun dari aspal jalanan. Semua dilakukan hanya demi mengejar waktu. Mengejar trayek. Dan ... tentunya lembaran rupiah.

Tapi, laju bus yang semacam itu, bahkan keadaan bus yang cukup sesak siang hari ini, tak terlalu dihiraukan wanita yang sedang duduk memangku putri kecilnya itu.

Pikiran Lia terlampau kalut. Berbagai memori berkelebatan di kepala, terutama perihal Lulu.

Padahal kupikir ini adalah akhir dari semua. Kupikir dengan adanya Lulu, bisa membantuku menghadapi Mas Herman. Tapi, nyatanya aku harus kembali berjuang sendiri.

Tak hanya perihal perjuangan yang harus kembali dilakukan, Lia juga merasa sangat bersalah kepada janda beranak dua itu. Terlebih lagi perihal karma yang mungkin akan dialaminya.

Matanya yang sedari tadi hanya memandang ke luar bus, kini beralih kepada putri semata wayangnya yang sedang dipangku. Lagi, pandangannya di punggung kepala Cahaya, kembali membawa rasa cemas dan ketakutan berlebih.

Perlahan, wanita penyayang itu membelai lembut rambut keriting putri yang begitu disayanginya.

Dan ... kutukan serta umpatan sang ibulah yang pertama kali mengganggu pikirannya. Lalu, kejadian dua minggu lalu, di rumah Lulu. Percakapannya dengan mantan adik madunya itu.

Sore itu, sehari setelah kedatangan Lia. Lulu mengajaknya duduk santai di teras depan rumahnya. Meski bau amis masih tercium jelas, tapi Lia berusaha membiasakan diri.

"... Mas Herman bilangnya kalau dia itu TNI, Mbak. Dia menyuruhku untuk berhenti bekerja, ya ... aku mau-mau saja. Toh, dia memenuhi kebutuhanku," dengan enteng, Lulu menjelaskan perihal hubungannya dengan Herman.

Entah benar atau tidak, tapi penjelasan wanita bercelana pendek jins biru itu, membuat Lia tak nyaman. Karena, selama ini dia dan Herman hidup serba pas-pasan. Bahkan, Lia terpaksa ikut mencarinuang dengan berbagai cara demi memenuhi kebutuhan mereka. Terlebih lagi, beberapa kali suaminya itu harus berganti pekerjaan.

"Kamu kerja di mana dulu?" Lia menatap adik madunya itu dengan tatapan hangat. Berusaha memahami mimik penuh amarah dari Lulu tiap kali membicarakan suami mereka.

Tangan kanan Lia yang tersembunyi di sebelah pahanya, meremas kain daster batik birunya. Mencoba mengendalikan emosi. Entah mengapa, meskipun terucap dari bibir istri kedua Herman, tapi Lia tetap tak pernah rela jika suaminya dijelek-jelekkan.

"Kerja di toko baju, sebagai pramuniaga. Oh, ya, terus ya ... pas aku hamil Ela, masak Mas Herman jarang jenguk? Bahkan, karena tak kunjung nikah resmi, bapak sempat ngusir aku. Kami kan tahunya Mas Herman enggak punya istri."

Lagi, amarah dan kebencian tampak jelas di wajah wanita berambut lurus itu. Dan tentu saja, hal itu membuat Lia sangat tak nyaman.

Padahal, sejak tadi wanita berkulit cerah itu telah berulang kali berusaha mengalihkan pembicaraan. Tapi, adik madunya selalu berusaha mengembalikan topik. Membicarakan hubungannya dengan Herman. Hubungan yang ... dianggapnya sebagai neraka dan kutukan.

"Yang paling membuatku kesal, ya, Mbak. Aku selalu menjadi bahan gunjingan di sini. Selalu dibilang hamil di luar nikah." Kalimat Lulu terjeda dengan helaan napas.

Kini raut wajah penuh amarah itu berubah menjadi mimik menyedihkan. Mata menyala penuh amarah, kini berkaca-kaca. Lulu larut dalam emosinya.

Dan, melihat raut wajah adik madunya itu, kembali membuat wanita baik hati itu merasa bersalah.

Tuhan, ampuni dosa suami hamba? Dia hanya lalai dan lupa. Jangan Kau hukum kami dan keturunan kami sebab hal ini!

Dan suara pekikan dari kondektur bus, memaksa Lia untuk kembali secepat mungkin pada kenyataan. Menariknya secara paksa dari lamunan.

Wanita berkulit cerah itu menghela napas dalam sebelum beranjak dan berjalan menuju pintu depan bus. Menggendong putri cantiknya.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now