Tak Mampu Pergi

564 37 10
                                    

Ada dua jenis manusia. Manusia yang takut akan kematian dan yang selalu mengharapkanya. Dan Kamelia Sujatmoko termasuk golongan kedua.

Wanita nyaris sempurna. Benar-benar nyaris sempurna. Wajah cantik, otak cerdas, kepribadian menyenangkan nan ceria, dan ... sokongan finansial dari keluarga. Bukankah itu adalah tanda-tanda kesempurnaan?

Namun sayangnya, ketika beranjak dewasa, kehidupan berubah tanpa bisa dikendalikan. Sama sekali di luar ekspektasi. Kesempurnaan hanyalah masa lalu yang seharusnya menjadi kenangan manis. Tapi nyatanya, hanya kenangan menyakitkan.

Tapi, mau bagaimana lagi? Apa yang bisa dilakukan Lia kecuali menjalaninya? Bunuh diri? Sudah pernah berulang kali dia lakukan. Dan ... selalu berakhir dengan kegagalan. Bahkan, Tuhan masih ingin menyiksanya dalam kehidupan yang macam ini.

Dan, di saat mentari sudah meninggi dan mulai terasa sedikit menyengat. Sementara ... udara pagi masih tersisa samar-samar. Kamelia menyapu pelataran tempat istirahat di mana dia tidur semalam.

Tempat istirahat berupa bangunan terbuka tanpa dinding. Hanya ada empat pilar beton sebagai penyangga atap. Berada di sisi sebelah kanan tempat pengisian bahan bakar umum. Tak jauh dari kamar mandi dan musala.

Bunyi kendaraan lalu lalang terdengar jelas dari tempat ini, karena berada di pinggir jalan raya. Semalam, Cahaya, anaknya yang baru menginjak tiga tahun, cukup kesulitan tidur karena bunyi ribut kendaraan.

Ini adalah tempat istirahat para supir truck sebenarnya. Tapi, mau tak mau Lia tidur di sini semalam. Dan, mungkin malam ini masih di sini.

Masih ada beberapa supir yang beristirahat, sepertinya mereka baru datang, bukan orang-orang yang semalam.

Lia tak sendiri, ada Herman menemani. Tentu saja, Herman adalah suaminya. Ayah dari Cahaya, putri semata wayang mereka. Tapi, sejak pagi, Herman pergi dengan motor Naked hitam 150 cc miliknya. Katanya, sih, ke rumah teman untuk urusan pekerjaan.

Sudah lebih dari seminggu, wanita dua puluh lima tahun itu hidup sebagai tunawisma. Menjadi tunawisma karena sebab yang tak masuk akal. Tapi, sudahlah ... Lia jalani saja semua. Dia mungkin memang wanita bodoh. Banyak yang berkata demikian. Tapi ... dia tetap berusaha bergeming dengan keputusannya.

Hidup yang dipilih wajib dipertanggungjawabkan hingga akhir. Itulah prinsip wanita cantik bermata sayu itu.

Tapi, selama dia memilih semua dengan sadar dan pertimbangan yang dianggapnya benar, tentu saja keyakinan akan esok yang cerah selalu ada.

Sembari menyapu, sesekali Lia memperhatikan bidadari kecilnya yang sedang bermain dekat gundukan pasir, tak jauh dari tempatnya berada kali ini. Gundukan pasir yang digunakan untuk merenovasi kamar mandi yang berada di sisi pojok SPBU di mana tempat istirahat ini berada.

Sisa-sisa Angin Gending yang masih berembus kencang, sesekali membuat rambut ikal kecokelatan wanita bermata sayu itu berantakan. Berulang kali Lia harus merapikan rambutnya.

Angin bulan September, di mana musim kemarau akan segera pamit. Berganti hujan yang mungkin akan turun tanpa henti. Dan di Probolinggo, Angin Gending memang bertiup cukup ugal-ugalan. Angin muson timur yang kering dan sangat kencang.

Ah, sejak pagi dia berusaha mencari karet rambut hitam lusuhnya. Tapi, menghilang entah ke mana.

Dan ... di tengah kegiatannya menyapu, tiba-tiba dua sosok wanita menghampiri. Satu berperawakan sedang dengan rambut keriting kecil-kecil. Dan, satu lagi berperawakan kurus dengan rambut shaggy lurus. Tak terlalu tinggi, sekitar lima sentimeter lebih pendek dari Lia yang bertinggi 160 sentimeter .

"Permisi, apa benar ini Mbak Lia? Kamelia?" yang berambut keriting bertanya. Sementara yang berambut lurus berdiri sedikit di belakang wanita berkaos oblong abu-abu itu. Seolah-olah menyembunyikan diri dari pandangan mata wanita berkulit cerah itu.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now