Trik

84 13 7
                                    

Untuk beberapa saat, Yanu dan Ina saling tatap. Ada kecemasan tersirat di wajah keduanya. Tapi, Lia tak menyadarinya.

Dan menit kemudian, sepasang suami-istri itu mempersilakan ibu satu anak yang tampak kelelahan itu untuk untuk duduk di ruang belakang, alih-alih ruang tengah dan depan.

"Oh, ya, Dik, belikan Lia bakso di depan!" Yanu yang sudah duduk berhadapan dengan Lia, berisyarat dengan alisnya kepada sang istri. Benar-benar isyarat yang sarat makna. Ada hal yang disembunyikan.

Ina yang sudah sampai di ambang pintu dan hendak menuju arah dapur yang berada di samping ruang itu, berbalik gegas. Dia mengangguk cepat dengan tatapan yang juga penuh isyarat khusus. "Iya, Mas."

Sementara Lia sibuk menenangkan Cahaya yang tampak mengantuk. Tentu saja, balita itu sehari ini tak tidur siang. Malah sibuk menyaksikan perselisihan kedua orangtuanya.

"Oh, ya, Bah, apa saya boleh minta teh? Sepertinya Aya mengantuk." Lia memasukkan tangan ke dalam ransel. Merogohnya, mencari botol susu.

"Oh, boleh-boleh. Sini! Biar Aya, Abah yang temani. Kamu bikinin sendiri di dapur, ya!" Yanu beranjak, melangkah mendekati Lia yang juga sudah berdiri.

Menit kemudian, Lia kembali dengan botol berisi teh manis. Sementara Aya telah bermain-main di lantai di atas karpet dengan kasur kecil yang telah disiapkan lelaki paruh baya itu.

Yanu dan Lia bercakap-cakap, membicarakan masalah yang telah terjadi antara ibu satu anak itu dan suaminya. Tentang Lia yang sudah benar-benar kesal. Bahkan ... sempat ingin mengakhiri pernikahannya.

"Selama ini, saya tetap bertahan karena pernikahan kami yang dipandang sebelah mata. Pun saya tak mendapat dukungan keluarga. Bagaimana saya bisa membela diri jika saya sendiri lemah, Bah?" Iris hitam dengan bingkai mata sayu itu sudah mulai berkaca-kaca.

"Abah mengerti perasaanmu. Herman memang lelaki yang sulit untuk mengerti perempuan. Kamu itu hebat bisa bertahan dengan sikapnya. Kau dan Bunda Ina itu mirip. Dulu, kami menikah tanpa restu keluarga Bundamu itu. Tapi ... Abah berusaha untuk terus membahagiakannya. Dia wanita yang hebat. Apakah pantas setelah ditolak keluarga, malah tersakiti oleh yang telah diperjuangkan?"

Yanu menghela napas dalam, lantas mengembuskannya perlahan. Melemparkan padangan ke langit-langit ruangan. Memandang jauh, seolah-olah pikirannya kini telah terlempar pada puluhan tahun lalu.

"Saya bingung harus bagaimana lagi, Bah."

"Untuk malam ini, istirahatlah di sini! Di kamar belakang sana." Yanu menunjuk pada bangunan kecil yang terpisah dengan rumah yang ditempati.

Lia terkesiap. Bagaimana mungkin dia akan tidur di tempat itu bersama putrinya. Apakah hal ini tak berbahaya? Mengingat rumah Yanu adalah rumah baru dan masih belum berpagar. Kamar itu langsung berhadapan dengan jalan.

Belum juga Lia menanyakan masalah ini, Ina sudah datang dari membelikan mereka bakso. Wanita berperawakan kurus itu langsung menuju dapur. Menyiapkan bakso dan membuat teh hangat untuk mereka.

"Kamu tenang saja! Di sini aman, kok. Dan memang lebih baik kau di sana karena jika bermalam di rumah ini, malah akan membuat tak aman. Akan ada banyak pertanyaan dari tetangga kanan kiri. Orang-orang di sini cukup iseng." Suara Yanu benar-benar rendah. Terkesan berbisik.

"..."

"Kalau yang kemarin ketika kamu datang dengan Herman, itu karena kami sudah memberi tahu dan meminta izin pada tetangga perihal kalian. Makanya, kau dan suaminu bisa bermalam di rumah ini. Sekarang kau datang mendadak. Karenanya, lebih aman untuk bermalam di sana saja."

Meskipun tak paham dengan penjelasan lelaki berjenggot itu, tapi Lia mengiyakan saja dan mengangguk-angguk. Aturan bermasyarakat yang cukup aneh.

Selang beberapa saat kemudian, Ina datang membawa bakso dan teh untuk disuguhkan.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now