Antara Aku, Kamu, dan Pantai

134 16 1
                                    

Herman Baskara menemukan--iya menemukan bukannya bertemu--Kamelia Sujatmoko di dekat mercusuar pelabuhan. Kala itu, dia adalah pemuda dua puluh empat tahun yang masih gila dengan hobinya. Memancing.

Sore hari. Lebih tepatnya petang. Ketika mentari sudah hampir sempurna terbenam. Saat camar dan semua burung kembali ke sarangnya. Berganti kelelawar dan codot.

Kala angin pantai sudah tak bertiup sekencang siang hari. Dan, air laut mulai surut.

Gadis berpenampilan seadanya, bahkan terkesan tomboi, sedang duduk menatap laut. Seolah-olah tak bergerak. Celana pendek tim basket dan kaos putih yang ... sedikit usang. Topi pad kulit cokelat masih setia bertengger di kepalanya. Andai tak ada rambut yang dikuncir kuda, mungkin pada cahaya temaram macam sore itu, orang akan mengira dia adalah lelaki. Dan sepeda gunung terparkir tak jauh dari tempatnya berada.

Sebenarnya, Herman sudah tahu kalau gadis itu sudah duduk di undakan mercusuar sejak siang tadi. Tepatnya sekitar jam dua siang. Tapi, pemuda yang gemar memancing itu tak mengira bahwa gadis berwajah murung itu akan bertahan selama itu di sana.

Pelabuhan mulai sepi. Herman mengemasi joran, dan berbagai peralatan ke dalam tas pancing. Sementara timba umpan sudah dikosongkan. Hanya ada satu dua orang yang lewat--baik berjalan maupun bersepeda--dan kesemuanya menuju jalan pulang. Tapi, gadis yang memang sempat menarik perhatian pemuda bermata tajam itu, tetap bergeming di ujung tanjung buatan.

Herman melihat sekilas ke arah gadis itu. Lantas, memutar tubuh, hendak pulang. Tapi, baru beberapa langkah, keraguan menelusup paksa ke dalam hatinya. Ada rasa khawatir membiarkan gadis asing itu di pantai seorang diri. Terlebih di petang hari. Bukan hal aman. Berbahaya.

Lelaki berkulit kecokelatan karena sengatan matahari itu mendengkus kasar. Lantas, kembali memutar tubuh. Berjalan cepat, setengah berlari ke ujung tanjung, di mana mercusuar berada.

"Hei, kamu!" Nada suara Herman sedikit keras.

Sontak, gadis berkuncir kuda itu menoleh. Mengernyit. Memandang lelaki asing yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.

" ... " gadis itu masih terdiam. Lantas, membuang muka. Kembali menatap pantai. Seolah-olah tak ada seorang pun di sebelahnya.

"Hei! Gak punya mulut, ya? Dipanggil itu nyaut! Malah dicuekin." Kini suara Herman lebih tinggi.

Kembali, gadis itu menoleh. Kini tatapannya jauh lebih tajam dengan dahi lebih berkerut.

"Ada perlu apa?" Alih-alih menjawab, gadis asing ini malah balik bertanya.

"Hari sudah petang. Bentar lagi gelap. Kamu mau terus di sini?" Herman meletakkan timba umpan dan tasnya di undakan mercusuar. Sebab, sepertinya gadis di hadapannya ini adalah gadis yang cukup sulit dibujuk.

"Bukan urusan kamu." Nada suara gadis judes itu sangat ketus.

"Eh, ditanya baik-baik malah jawabannya ketus. Malam-malam sendirian di sini itu bahaya. Apalagi kamu gadis." Kini kening Hermanlah yang mengernyit. Dia bersedekap. Berdecak. Keheranan dengan sikap gadis di hadapannya.

"Kan emang bukan urusan kamu. Ngapain nanya-nanya? Bapak sama ibuku juga enggak bakal peduli aku ada di rumah atau enggak. Ngapain kamu sok peduli? Cih!"

" ... "

Kini, Herman yang terdiam. Tak tahu ingin menjawab bagaimana lagi. Dia cukup tahu rasanya diabaikan. Bukan mudah. Tapi, gadis duduk sendiri di tempat macam ini juga bukan suatu hal yang baik.

Awalnya, Herman cukup kebingungan. Karena, jika memutuskan pulang, maka gadis asing ini mungkin saja akan bertahan semalaman dan bisa saja banyak bahaya mengintai. Tapi, jika terus membujuk, yang ada hanya kelelahan. Karena sangat jelas jika mereka akan terus berdebat tanpa ujung.

Karenanya, Herman memutuskan untuk menemani gadis asing yang baru ditemuinya itu. Hanya duduk. Sedikit menjaga jarak. Bahkan, memunggungi gadis ini.

Dan, karena malam hampir tiba, lelaki berkaos abu-abu dengan celana jeans pendek itu mengeluarka  emergency lamp dari tasnya. Menyalakan dan meletakkannya di undakan yang lebih tinggi.

Merasakan lampu menyala di dekatnya, seketika gadis kuncir kuda itu menoleh ke belakang. "Kamu apa-apaan, sih? Ngapain juga di sini. Ngidupin lampu segala. Caper. Sok baik."

"Caper? Sok baik? Emang ini tempat kamu? Ini tempat umum, Nona. Siapa aja berhak di sini. Lagian, kamu GR banget, sih? Siapa juga di sini buat jagain kamu?" Herman menjawab tanpa menoleh. Masih memunggungi gadis itu. Menyalakan rokok. Karena udara sudah mulai dingin.

"Ih, siapa juga yang ngerasa kamu jagain aku? Aku enggak ngomong, ya. Aku cuma bilang kalau kamu tuh caper. Aneh." Gadis ketus itu kembali membuang muka.

Herman seketika berdiri. Berkacak pinggang menghadap gadis kuncir kuda itu. Dengan rokok di antara telunjuk dan jari tengahnya.

"Oke, oke. Aku emang sok baik. Aku emang di sini buat jagain kamu. Emang kamu gadis asing dan aku sama sekali enggak tahu siapa kamu. Tapi, apa aku enggak boleh khawatir, hah?"

Dan mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir lelaki asing dan sama sekali tak dikenalnya, seketika gadis bertopi kulit itu terdiam. Tak bergerak. Menatap nyalang ke depan.

Lelaki asing saja mengkhawatirkan keadaanku. Tapi, papa dan mama mana pernah menanyakan keadaanku?

"Jadi, sampai kapan kamu bakal di sini? Paling tidak, kalau mau begadang, kita beli kopi sama makanan dulu. Habis itu begadang lagi di sini. Aku temenin."

Seketika gadis itu menoleh, lantas menatap nyalang kepada Herman. Butuh beberapa menit, hingga gadis bercelana pendek itu berdiri, menghadap kepada lelaki asing itu.

"Nama kamu siapa? Aku Lia. Kamelia."

Gadis bernama Kamelia itu mengulurkan tangan yang seketika disambut oleh Herman.

"Herman Baskara. Panggil Herman aja. Jadi?"

"Jadi apa?" Lia melepas jabatan tangannya. Mengernyit.

"Ya ... jadi beli kopi?" Herman mengangkat kedua alisnya.

"Oke. Di kafe luar. Aku yang traktir."

Herman hanya mengangkat bahu. Memasukkan kembali lampu ke dalam tas. Lantas menyampirkan tas dan menenteng kembali timba umpan.

"Sory kalau rada bau amis."

"It's Okay."

Keduanya berjalan ke arah pintu keluar pelabuhan dengan Lia menuntun sepeda. Keduanya bercakap-cakap. Sesekali Herman menghisap rokok di tangannya. Hingga, ketika sampai di tempat parkir, lelaki berwajah simpatik itu mengeluarkan motor dari tempat itu

"Ayo!" Herman mengajak Lia berangkat, ketika telah duduk dan menyalakan mesin kendaraanya.

Dan keduanya pun menyusuri jalanan gelap yang hanya diterangi oleh lampu jalanan tak seberapa.

Kali ini tanpa banyak kata. Hanya deru motor Naked merah 150cc dengan kenalpot yang sedikit berisik.

Dan sejak saat itu, keduanya berteman dekat. Hanya teman. Karena, saat itu Herman masih memiliki kekasih. Bahkan, tak ada ketertarikan sedikit pun di hati Lia untuk berhubungan lebih jauh dengan Herman.

Mereka benar-benar berteman. Sering bersama ke pelabuhan. Karena Herman memang sangat gila memancing, sedangkan Lia menyukai pantai. Bahkan, sebenarnya gadis cantik itu ingin kuliah di jurusan kelautan dan perikanan. Hanya saja ...

(Complete) Perempuan yang TerbuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang