Pokok dan Tunas

76 11 0
                                    

Pada cahaya temaram. Ditemani bunyi baling-baling kipas yang sudah berulang kali berucap hendak pamit. Semilir anginnya masih bisa menyejukkan udara di kamar berukuran 3X4 meter persegi. Mengenyahkan pengap dan gerah. Di atas ranjang Queen Size, lengan kekar tapi penuh kasih itu merengkuh tubuh ringkih yang masih saja bergetar. Isak tangis tertahan masih saja terdengar. Dan ... aliran bening menganak sungai.

Sesekali, ciuman hangat mendarat di punggung kepala berambut ikal kecokelatan itu. Pelukan itu masih erat. Berusaha menenangkan sang perempuan.

"Hari esok memang pasti akan datang. Biarkan saja lewat! Setelah esok, akan ada lusa. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Manusia terkadang hanya dihantui pikiran-pikirannya sendiri. Karena, terkadang yang ditakutkan tak benar-benar terjadi."

Herman benar-benar telah berhasil berdamai dengan emosinya. Beberapa saat lalu, Lia mengamuk kembali. Menangis sembari memekik. Membenamkan kepala pada bantal. Berusaha membuat suara itu menghilang tertelan kapuk-kapuk berbalut katun.

Lelaki yang sejatinya begitu menyayangi wanita di sisinya itu, menemani perempuannya meluapkan segala emosi. Membiarkannya menumpahkan tangisan di kamar mereka. Sementara itu, Cahaya dititipkan sementara kepada Ratih.

Herman telah menjelaskan kondisi psikologis Lia kepada sang ibu. Karena, lelaki penyayang itu sangat paham betapa sulitnya keluar dari penjara diri. Berdamai itu sangat mudah diucapkan. Tapi, begitu sulit dilakukan.

Herman adalah lelaki. Pun keluarganya masih bisa berkomunikasi dengan baik. Ada Ratih yang penyayang di samping Edi yang keras. Karenanya, tak terlalu sulit bagi lelaki itu untuk mengurai emosinya.

Tapi Lia? Hanya perempuan. Berkepribadian introvert. Dengan kondisi keluarga yang sama sekali tak memahaminya. Dan ... semua berlangsung lebih dari dua puluh tahun. Berulang kali. Bertambah setiap detiknya.

Sistem kerja otak yang sama sekali berbeda. Rawan depresi. Overthinking. Dan ... tuntutan keluarga terlampau tinggi. Lia ingin meronta, tapi tak mampu. Hanya bisa menangis. Merutuki diri sendiri. Ketakutan menghadapi esok hari.

Isakan masih terdengar lamat-lamat. Sudah ada jeda di antaranya. Tangan wanita yang sedang menangis itu meremas telapak tangan lelakinya yang terjalin di depan dadanya. Membenamkan badan makin dalam. Seolah-olah berharap bahwa tubuh ringkih itu akan menyatu dan lenyap ditelan raga yang sedang merengkuhnya.

"Aku tahu, Yah. Aku sangat tahu. Tapi, entah mengapa, aku tetap tak mampu untuk menghalau ketakutan ini. Apa yang akan terjadi besok di rumah mama, mungkin tak semenyeramkan seperti yang kupikir. Tapi, aku tetap tak mampu untuk tak takut. Dadaku sesak. Seolah-olah terkunci dalam ruangan gelap. Tanpa cahaya. Nyaris tanpa udara."

"Menangislah! Puaskan dirimu. Luapkan semua. Esok, aku akan menemanimu. Aku janji, tak akan pulang dan membiarkanmu menghadapinya sendiri. Jika kita bersama, mama tak akan berujar macam-macam, kan? Kecuali jika kita sendiri-sendiri."

Lagi, Herman mencium hangat punggung kepala perempuannya. Menghidu aroma strawbery manis dari rambut Lia. Hingga, tanpa disadari, keduanya terlelap. Dipaksa menyerah oleh rasa lelah. Menyerah untuk beristirahat. Mempersiapkan energi menyambut esok yang masih menakutkan bagi Lia.

***

Kaki beebalut sepatu flip on abu-abu itu melangkah perlahan. Melewati ambang pintu dengan ragu-ragu.

Bahkan, hanya untuk melangkah keluar rumah saja rasanya begitu berat bagi Lia. Sementara itu, Herman  yang menggandeng Cahaya, mendaratkan tangan di pundak Lia. Membuat perempuan yang sejenak lalu mematung di ambang pintu itu, terlonjak kaget.

"Ayo berangkat! Jangan terlalu dipikirin, ya!" Mata kecokelatan itu menatap isris hitam dengan kelopak sayu itu dengan hangat.

Helaan napas dalam mengawali kalimat yang hendak keluar dari bibir tipis Lia. "Iya, Yah."

Lantas, Lia melempar pandangan ke lantai untuk beberapa saat, sebelum kemudian Herman menyerahkan Cahaya dan melangkah ke garasi samping untuk mengambil motor.

Balita cantik itu mendongak. Menyunggingkan senyum. Membuat dada sesak Lia menjadi sedikit lega. Senyum yang menguatkan.

Lia melangkah, bergandengan bersama putri cantiknya yang telah rapi dengan legging hitam dan sweater rajut pink yang manis. Dan sejenak lalu, melempar pandangan ke langit yang sudah bersemu kuning. Sore telah tiba.

Minggu sore, alih-alih pagi, mereka berangkat ke rumah Martini. Herman sengaja memilih sore hari, agar nanti tak terlalu lama berada di rumah mertuanya. Beralasan malam akan datang dan segera pamit.

Tak ada yang bisa dilakukan kecuali menghadapi. Membiarkan waktu dan tiap kejadiannya lewat. Meski berat terasa, tapi melarikan diri adalah sebuah hal yang mustahil.

Dan kini, keduanya telah berada di sini. Di ruang tamu rumah besar yang nyatanya terasa begitu sesak bagi Lia. Bahkan, kontrakan kecil mereka di Pasuruan, terasa lebih luas dari pada rumah mewah ini.

Padahal dulu, Lia kecil lahir di sini. Tumbuh di tempat ini. Tapi, mengapa kini begitu asing dan menyesakkan?

Herman dan Lia duduk bersebelahan di sofa kulit hitam yang mewah, dengan Cahaya yang berada di pangkuan sang ayah. Dan Martini, duduk di sofa lain, berhadapan dengan mereka.

Hening ...

Hanya detak jam bandul besar di pojok ruangan yang terdengar. Tak ada basa-basi. Canggung dan cemas terasa di hati mereka. Mereka adalah pokok dan tunas yang terlepas, lantas menjadi asing. Sebab kesalahpahaman yang dibiarkan terus terjadi. Tunas yang tercerabut paksa karena badai. Badai yang menyisakan luka.

"Kemarin Irwan baru beli mobil baru, Nak. Dan beberapa bulan lagi Agus mau ke Korea untuk liburan. Katanya seminggu." Nada suara Martini terdengar ragu-ragu.

Ah, bahan obrolan garing yang sama sekali tak penting. Bahkan, yang keluar dari bibir Martini tetap sama. Pencapaian-pencapaian anak-anaknya. Pencapaian materi. Yang meskipun mungkin tak ada niat menyindir, tetap saja membuat putri bungsunya tersinggung. Sakit. Merasa dituntut untuk lebih. Merasa kalimat-kalimat itu ditujukan hanya untuk menyerang. Membuatnya agar terpacu mengejar. Mengejar uang, kekayaan, dan entah materi duniawi macam apa lagi.

Entahlah ... di sini Martini yang terlampau bernafsu kepada uang, atau Lia yang terlampau mudah tersinggung. Semua terasa ambigu.

Padahal sejatinya, Martini ingin memeluk putri kesayangannya. Putri yang tetap seperti bayi ringkih dan lemah baginya. Hingga kapan pun.

Dan Lia, ingin menghambur di dekapan sang ibu. Membenamkan tubuh. Merasakan hangat belaian kasihnya. Merasakan kembali atmosfer yang lalu. Udara masa lampau kala dia masih balita cengeng yang sering merajuk.

Tapi, semua hanya bayangan dan monolog masing-masig di dalam kepala masing-masing. Toh yang keluar dari bibir Lia pun sama.

"Wah ... bagus, dong, Ma. Mas Herman pun rencananya mau beli mobil bak terbuka. Ya ... buat usaha, sih. Dan aku akan mulai jualan online lagi."

Ah ... kebohongan. Padahal sejatinya, Herman tak pernah berniat demikian. Dan Lia, pun tak ada bayangan kembali berbisnis.

Tentu saja, Herman membelalak dan sangat terkejut. Lia bukanlah perempuan yang mudah berbohong. Dan ... Herman tahu resikonya.

Tapi, kebohongan telah terucap. Kebohongan tunas kepada pokok. Kebohongan yang seolah-olah harus menjadi nyata.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now