Memori

95 11 2
                                    

Hari-hari dilalui Herman dan Lia dengan biasa saja sejak kejadian kaburnya Lia kedua kalinya ke rumah Yanu. Terlalu biasa. Hambar.

Lia lebih banyak diam. Lia yang cerewet seolah-olah mati. Lia yang ceria menghilang. Herman rindu Lia yang dulu, tapi ....

Pagi beranjak siang. Herman duduk di teras toko dengan sebelah kaki berlunjur dan sebelah lagi tertekuk. Dengan tangan yang bertengger pada sebelah lutut. Sebatang rokok terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya.

Kepalanya terasa berat. Sudah terlalu penuh dengan memori yang sangat berantakan. Lelaki yang sedang berusaha berbenah diri itu menyerahkan beban kepalanya pada dinding bangunan. Kepalanya sedikit mendongak. Menatap langit mendung dengan awan berarak perlahan, berkumpul menjadi mendung kelabu yang cukup tebal. Pertanda hujan akan datang sebentar lagi.

Perlahan, selama kurun waktu beberapa minggu pasca kejadian kaburnya Lia, Herman berusaha menata sedikit demi sedikit tiap memori yang ternyata sangat berantakan dalam kepalanya. Mencari penyebab emosinya yang tak beraturan ketika mendengar wanita menangis. Memori yang tersembunyi di antara tumpukan memori tak penting yang sialnya begitu jelas diingat.

Bagaimana bisa, ingatan-ingatan sialan itu bisa begitu jelas diingat. Ingatan-ingatan tentang hal-hal remeh seperti nama-nama mantan kekasih. Merek parfum murahan dari mantan kekasihnya yang kesekian. Atau tas KW koleksi mantan kekasihnya yang lain lagi. Ah, sama sekali bukan hal penting. Menutupi kenangan penting yang harus segera ditemukan.

Selama kurun waktu lebih dari dua minggu ini, Herman menghabiskan banyak waktu untuk menjelajah internet. Mencari cara untuk bisa mengatasi emosinya. Hingga terdampar pada salah satu situs kesehatan dengan pembahasan masalah trauma dan innerchild yang terluka. Pembahasan dalam artikel itu sangat sesuai dengan yang dialaminya kali ini.

Herman melakukan kekerasan tiap kali mendengar wanita menangis. Herman hanya melarikan diri. Tak ada cara yang bisa dilakukan kecuali berusaha bagaimana pun caranya agar tangisan berhenti. Dan cara yang dilakukan seolah-olah terjadi begitu saja. Membungkam mulut, menampar, menghardik, dan segala cara agar semua berakhir.

Dan, salah satu cara untuk mengatasi semua itu adalah menemukan akar masalah penyebab emosi tak jelas dan laknat itu. Menerimanya. Kemudian, memaafkan semua. Memaafkan waktu. Memaafkan semua yang terlibat. Memaafkan tempat kejadian. Dan yang paling penting adalah memaafkan dirinya sendiri yang selama ini tak mampu memaafkan.

Hingga, suara gemuruh dari langit beserta hujan yang tiba-tiba deras dan berangin, mengagetkannya. Air hujan yang terbawa angin, mengenainya kaos biru dan celana hitamnya. Benar-benar hujan yang sangat deras. Herman seketika mematung, alih-alih pergi menghindari hujan. Bahkan, lintingan tembakau di sela jari yang sesaat lalu masih menyala, kini sudah padam dan basah karena hujan.

Suasana yang seketika mengingatkan pada suatu masa. Bertahun-tahun lalu. Herman kecil menangis di tengah hujan. Dengan tali yang meliliti tangan dan kakinya. Membuatnya terikat pada pohon ketapang kencana di pojok halaman depan.

Dan, dengan isak tangis yang masih tersisa, Ratih mencoba melepas ikatan tali yang mengekang bocah delapan tahun itu. Tangis yang sama seperti yang didengarnya beberapa saat sebelumnya. Sebelum hujan turun. Ketika sang ayah menghukumnya. Tangis mengerikan yang membuat tak nyaman.

Herman kecil tiba-tiba ditarik paksa ketika baru saja pulang bermain. Hanya karena Pak RT datang menegur Edi. Memberitahunya kalau semalam bocah itu dan kawan-kawannya telah bermain petasan di jalan, tak jauh dari rumah salah satu warga yang merasa terganggu.

Sabetan gesper beberapa kali mengenai punggung. Herman kecil meronta dan berteriak. Tapi, Edi tak menghiraukan sedikit pun.

Lelaki yang sedang dikuasai amarah itu malah mengikat sang putra pada pohon ketapang kencana di pojok halaman depan. Tak berhenti di situ, Edi malah menumpahkan sekaleng kecil telur rangrang yang masih terdapat banyak semut di dalamnya. Tentu saja, Herman semakin meronta dan berteriak. Gigitan rangrang membuatnya kesakitan.

Kala itu, lengkap sudah segala luka. Punggungnya perih akibat sabetan gesper. Kulit tubuh bentol karena gigitan rangrang. Dan ... hatinya terluka karena kekecewaan begitu dalam. Hati Herman kecil bukan hanya patah, tapi hancur berkeping-keping.

Dan di tengah penyiksaan itu, Ratih berlutut memohon kepada sang suami agar menghentikan semua. Ratih mengemis belas kasih. Terisak. Demi putra satu-satunya.

Sementara itu, dua kakak perempuan Herman, hanya melihat dari teras  dengan pandangan penuh iba. Saling berpelukan. Tak mampu berbuat banyak. Mereka pun mulai menangis.

Tangisan perempuan-perempuan itu, alih-alih menghangatkan hati, malah membuatnya tak nyaman. Setiap kali mendengar tangisan perempuan, badannya bereaksi. Sebab tiap sel tubuh, kembali mengingat kejadian kala itu. Memunculkan kembali emosi tak nyaman saat kejadian tak menyenangkan.

Baru ketika Lia keluar toko dan menegurnya dengan menepuk pundak lelaki yang masih mematung itu, Herman seketika tersadar. Menoleh gegas. Menatap nyalang kepada sang istri beberapa saat.

"Yah? Kamu kenapa? Bukannya segera masuk dan menutup toko. Ini malah berdiri aja. Sampe basah kuyup begini." Lia meraih pergelangan tangan suaminya. Lantas seletika menariknya ke dalam toko.

Herman masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Berusaha menata emosi yang tak beraturan. Sementara Lia mulai sibuk memasang satu per satu papan kayu penutup toko. Melindungi toko dari terpaan hujan berangin.

Dan butuh sepersekian menit, Herman baru benar-benar tersadar, lantas melangkah gegas membantu istrinya menutup toko.

...

"Ayah kenapa?" Lia duduk berhadapan dengan Herman di ruang toko. Menyodorkan segelas teh hangat. Ada rasa tak tega di hati perempuan yang selama beberapa minggu ini seolah-olah mengacuhkan suaminya itu. Hati Lia ngilu ketika melihat suaminya sejenak lalu yang tampak seperti orang linglung. Sesekali wanita berdaster batik biru itu mengintip putrinya yang masih tertidur di ruang sebelah.

Sementara itu, hujan masih saja mengguyur bumi. Sesekali gemuruh dari langit masih terdengar. Untung saja, hanya suara gemuruh yang terdengar jauh, tak sampai hujan badai dengan kilatan petir menakutkan.

Herman menangkup gelasnya. Berusaha mendapatkan kehangatan dari gelas berisi teh itu. Sementara pakaiannya telah berganti dengan celana training biru dan kaos abu-abu. Pun selimut telah terpasang di punggung.

Herman menggeleng pelan. Menghidu aroma teh hangat. Lantas meminumnya perlahan.

Dan menit kemudian, ketika gelas sudah bertengger di lantai, di sebelah badannya. Herman meraih telapak tangan sang istri. Menatap iris hitam berbingkai kelopak sayu dan indah itu.

"Bun, maafkan aku! Aku enggak bisa berjanji kalau akan mampu membiarkanmu menangis di bahuku tanpa bereaksi negatif. Tapi, aku akan berusaha."

"Ayah jangan khawatir. Aku akan berusaha menahan tangis, kok." Bibir tipis cantik itu membentuk busur tipis.

"Jangan, Bun! Semua tak akan pernah berakhir jika kita terus mengabaikan dan berusaha mengubur semua. Kita harus bisa bertindak. Enggak ada cara lain, kecuali berusaha menerima dan berdamai. Lusa, kita ke rumah. Apa pun keputusan Ayah, kita terima."

"Ayah mau kita pulang?" Lia tersenyum lebar. Mata sayu itu berbinar.

"Entahlah. Kita berkunjung saja dulu. Kalau ayah menyuruh kita pulang, maka terima saja! Kalaupun ayah marah, kita terima! Memang kita yang keliru."

Tentu saja, usulan lelaki yang perlahan menyadari dirinya itu, sangat menggembirakan bagi Lia. Tapi, ada sedikit ganjalan di hati Herman. Dan ini perkara Lulu. Herman hanya berharap semoga mantan istrinya itu tak lagi berulah dan mengganggu.

(Complete) Perempuan yang TerbuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang