Demam

55 11 2
                                    

Martini belum juga sadar. Pun, kondisinya sangat tak stabil. Benturan cukup keras pada kepala bagian belakang, menimbulkan cidera yang cukup serius. Diperkirakan, Martini mengalami gegar otak ringan. Yang dikhawatirkan lagi adalah jika dia mengalami hematoma. Karena, kondisinya benar-benar semakin melemah.

Ketiga anaknya, tetap menunggui di depan ruang ICU. Mereka sangat khawatir demgan keadaan orangtua perempuan mereka yang masih saja kritis.

Dan, ketika malam menjelang, kondisi wanita paruh baya itu malah semakin parah. Tiba-tiba saja, dalam keadaan masih tak sadarkan diri, Martini mengalami kejang. Dokter segera menangani wanita paruh baya itu.

Sungguh, hal itu benar-benar membuat ketiga anaknya khawatir. Agus masih saja duduk menunduk di bangku depan ICU. Sementara Irwan mondar-mandir sedari tadi. Sedangkan Lia, duduk di bangku lain, sembari terus saja menggenggam tangan Herman. Begitu kentara, ada sirat kecemasan di wajah wanita bermata sayu itu.

Dari luar ruangan, mereka menunggu dokter dan beberapa perawat yang sedang sibuk menangani Martini. Butuh beberapa menit, hingga suasana mendadak berubah.

Para petugas medis yang sedari tadi sangat sibuk, tiba-tiba menghentikan kegiatan mereka. Bahkan, beberapa malah mencopot alat medis yang tadi terpasang di tubuh Martini. Melihat hal itu, ada sejumput kecemasan yang menyeruak di hati Lia. Yang makin membesar, seiring detik wakyu bergulir. Tapi tentu saja, berusaha ditepisnya. Lia memaksakan diri untuk berpikir positif. Hingga seorang petugas medis perempuan keluar dari ruangan.

"Permisi, keluarga Ibu Martini?" Perempuan berpakaian serba biru dengan tudung kepala dan masker itu menyapukan pandangan ke beberapa orang yang berada di depan ICU.

Dan mendengar hal itu, ketiga anak Martini segera menjawab hampir bersamaan, seraya mendekati perempuan itu.

"Kondisi pasien sangat lemah. Kami tidak bisa menyelamatkannya."

Kalimat singkat, tapi sangat mengejutkan. Agus seketika menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sedangkan Irwan, sontak berbalik sembari berdecak.

Sementara Lia, ada perasaan aneh dalam dadanya. Lia tak mampu mendefinisikan rasa yang hadir. Bukan sedih, apalagi bahagia. Rasanya kosong. Lia tak merasakan apa-apa. Kecemasan yang sedari tadi menghantui, mendadak hilang. Lia tak ingin menangis, pun tak ingin tertawa. Hanya hampa.

Tentu saja, Herman merangkul pundak istrinya gegas. Menepuk-nepuk lembut lengan istrinya. Tapi Lia, malah mematung karena tak mampu memahami apa yang sedang dirasakannya.

Kejadian hampir lima tahun yang lalu, kini terulang kembali. Perasaan hampa yang Lia rasakan kala itu, kini kembali lagi.

Lia kembali mengutuk dirinya. Kenapa Lia sama sekali tak merasa sedih? Apakah dia sebenci itu kepada ibunya? Apakah ini artinya Lia adalah anak durhaka? Mengapa Martini harus meninggal secepat ini? Mengapa tak menunggu hingga Lia berhasil membuatnya bangga?

Tapi, semua kecamuk batin itu hanya Lia yang tahu. Karena di permukaan, Lia kembali berlakon. Seolah-olah begitu sedih dan terpukul. Dan tentu saja, ketika menyadari kebohongannya sendiri, Lia malah tak henti mengutuk dan menghujat dirinya sendiri.

***

Jenazah Martini dikebumikan esok paginya. Lia menginap beberapa hari di rumah Martini. Tentu saja, begitu banyak pelayat yang datang. Dan bisa dipastikan, Lia kembali terserang hangover.

Kali ini, Lia bukanlah gadis remaja pembangkang seperti dulu. Mau tak mau, meski keadaan ramai dengan para pelayat, Lia harus tetap mampu bertahan.

Herman sibuk membantu Agus untuk melayani tamu lelaki. Sementara Lia membantu kedua iparnya melayani tamu perempuan.

Sejatinya, dalam keadaan begini, Lia sangat membutuhkan Herman. Sama seperti lima tahun lalu, ketika Sujatmoko tiba-tiba meninggal. Dalam kekacauan rasa hati dan banyaknya pelayat, Lia kehabisan energi dengan begitu cepat. Seperti baterai yang tiba-tiba tekor mendadak.

Tapi, Lia bisa apa? Dia bukan lagi remaja pembangkang yang bisa seenaknya. Terlebih lagi omongan orang pastinya akan hadir dan menyerangnya bertubi-tubi jika Lia tiba-tiba pergi dan melarikan diri.

Padahal, tubuhnya sudah menunjukkan adanya sinyal ketidakberesan. Bukan hanya kepala yang terasa pusing dan perut yang mual. Kini badannya pun mendadak terasa seperti akan demam.

Tapi, tentu saja, semua berusaha ditahannya. Sebisa mungkin tetap tampak ramah di depan para pelayat yang bahkan setelah empat hari kematian Martini pun, masih datang berbondong-bondong tanpa henti.

Dan hingga beberapa hari pasca kematian Martini. Lia masih saja menginap di rumah mendiang ibunya itu. Sementara Herman selalu pulang setelah pelayat sepi. Biasanya setelah jam sembilan atau sepuluh malam. Karena, Cahaya masih dititipkan kepada Ratih.

Lia tidur di kamar yang biasa dipakainya ketika menginap di rumah ini. Sementara Agus dan istrinya, tidur di kamar depan. Kamar yang biasa dipakai Martini. Sedangkan Irwan dan istrinya, selalu pulang dan kembali keesokan paginya.

***

Pada pagi buta yang masih basah. Pagi bulan Agustus yang sangat dingin. Udara kemarau Probolinggo begitu dingin pada pagi buta. Dingin yang menusuk tulang.

Lia terbangun karena badannya menggigil. Bukan dingin sebab udara, tapi dingin karena demam yang sangat tinggi.

Perlahan, Lia berusaha bangkit dari tidurnya. Beringsut dari ranjang untuk sekadar keluar kamar. Menuju ruang tengah, di mana kotak obat berada. Tapi, ternyata tak semudah itu. Kepalanya terasa sangat berat. Berdenyut-denyut dan panas. Sementara itu, tangan dan kakinya sedingin es.

Dan dengan usaha yang begitu susah payah, akhirnya Lia berhasil menggapai kotak obat. Mengambil sebutir tablet penurun panas, dan meminumnya dengan air hangat dari dispenser. Lantas, melangkah untuk kembali lagi ke kamar.

Lagi, dalam keadaan yang begitu lemah, Lia mengutuk dirinya sendiri. Mengeluhkan akan hal-hal aneh yang sering terjadi padanya. Hal-hal yang sering membuatnya kesulitan. Lia selalu menderita jika terlalu lama berkumpul dengan orang banyak. Biasanya hanya pusing dan mual. Tapi sekarang malah demam setinggi ini.

Parahnya lagi, hal semacam ini sering disalahartikan oleh orang lain. Lia yang sadar akan kebiasaan tubuhnya ini, biasanya akan segera menghindar dan menyepi sesaat agar tak berakibat fatal. Dan tentu saja, sikapnya akan menimbulkan gunjingan. Lia dianggap tak sopan. Melarikan diri dari acara keluarga ataupun acara-acara penting lainnya.

Seperti buah simalakama. Jika Lia mencoba bertahan, maka yang terjadi adalah, terpaksa mengorbankan diri. Bahkan, bisa jatuh sakit seperti kali ini. Tapi, jika menjauh, dia akan digunjing. Karena, menjauh dan menyepi bagi Lia, tak cukup hanya bersembunyi di kamar mandi atau tempat sepi untuk beberapa menit. Lia butuh menikmati angin segar jalanan. Duduk sendiri di pantai atau di tempat-tempat sepi yang sejuk.

Sesuatu hal tak lumrah, tapi sangat penting dilakukan. Dan itu, sama sekali tak mudah dipahami orang lain.

Dan kali ini, karena sudah begitu fatal, mau tak mau, Lia terpaksa harus pulang. Dia tak mau terus menerus berkorban konyol hanya demi menuruti pandangan dan omongan orang lain. Tentu saja, tak akan ada yang bergunjing kali ini, karena Lia benar-benar jatuh sakit. Tak lagi-lagi dianggap berlakon karena hanya mual dan pusing biasa.


(Complete) Perempuan yang TerbuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang