Melindungi yang Disayang

302 23 9
                                    

Wajah kuyu itu, mengapa membuat dada yang tadi menggelegak, mendadak tenang? Tiba-tiba, amarah mereda. Berganti dengan iba. Lelaki yang kini berdiri sekitar sepuluh meter di hadapannya itu terlampau rapuh. Dia ... dia bisa hancur. Dan, Lia tak mau itu terjadi.

Mengapa Herman harus sehancur ini? Mengapa dia harus sekuyu ini? Mengapa dia tak tampak menyebalkan saja? Atau tatapan menakutkan yang sering membidik ke manik hitam nan sayu itu? Mata merah yang siap menerkam bahkan menghabisi nyawa tanpa ampun.

Tapi, kini yang ada hanya lelaki menyedihkan yang sangat rapuh. Dan yang paling Lia benci adalah ... Dia adalah ayah Cahaya. Lalu, bagaimana dia akan menjadi sosok cinta pertama bidadari mungilnya itu? Sosok yang akan senantiasa dibanggakan?

Tidak! Cahaya tak boleh malu memiliki ayah seperti Herman. Mungkin hidup Lia memang sudah tamat. Tapi, Cahaya masih memiliki masa depan terbentang di hadapan.

Seketika, langkah yang menjejak mantap dan cepat telah tercipta. Setengah berlari, Lia menghampiri lelaki bertinggi sedang itu. Berdiri di hadapannya. Menatap manik kecokelatan yang menyimpan banyak misteri. Bahkan hingga empat tahun pernikahan mereka, wanita berkulit cerah itu tak mampu benar-benar mengetahui rahasia di balik iris kecokelatan itu.

Tentu saja, Lelaki pemilik rahang tegas itu sangat terkesiap. Benar-benar tak percaya dengan yang terjadi di hadapannya kali ini. Lia, wanita yang telah dikhianatinya. Yang dia anggap terlalu dominan dan selalu meremehkannya, ternyata bisa seketika mengampuni kesalahan besar seperti ini?

"Aku sudah memaafkanmu, Yah. Jadilah ayah yang baik untuk Aya. Jangan kecewakan dia! Kumohon?" Mata sayu itu berkaca-kaca.

Seketika, lelaki berperawakan sedang itu memeluk istri dan putri yang begitu disayanginya. Dua manusia yang dia anggap akan hilang selamanya, kini kembali. Bahkan, Herman hampir tak memercayai hal ini.

"Terima kasih, Bun. Terima kasih sudah memaafkanku." Hanya itu yang terucap. Padahal sejatinya banyak kalimat yang ingin diungkapkan lelaki berbibir tipis itu.

Persetan dengan Lulu. Toh, putri mereka telah meninggal. Dan Herman sebenarnya selalu ingin meninggalkan wanita kurus itu. Hanya saja, janda beranak dua itu selalu mengancam untuk memberitahukan tentang perselingkuhan mereka pada Lia.

Beberapa orang yang sempat mendengar pembicaraan Lia dan dua wanita tadi, tampak sangat keheranan. Dan tentu saja, dua wanita yang berpikir bahwa pernikahan antara Lia dan Herman sudah hancur, ternyata harus menelan kekecewaan.

Lia memaafkan Herman. Dan, mereka tak jadi berpisah.

Lia sedikit meronta, berusaha lepas dari pelukan suaminya. Perlahan, pelukan itu merenggang dan terlepas.

Wanita berbibir tipis itu menghela napas dalam, lantas mengembuskannya perlahan. Memejam sembari menggigit bibir bawahnya.

"Kita harus segera pergi dari sini, Yah. Mas Agus akan datang tak lama lagi untuk menjemputku. Aku tak mau dia menemukan kita di sini."

"Baiklah, mari kita segera pergi! Ayo, kita kemasi barang-barangku juga!" Herman mendaratkan tangan kiri di lengan kanan istrinya. Berusaha membimbing wanita yang telah membersamainya selama empat tahun ini ke tempat peristirahatan.

Keduanya bejalan beriringan dengan langkah cukup cepat. Berkejaran dengan waktu. Berusaha segera pergi sebelum Agus, salah satu kakak lelaki Lia, sampai di tempat ini.

Sementara itu, kedua wanita yang tadi berbicara dengan Lia, masih berada ditempat yang sama. Berdiri menyaksikan tiap detil kejadian yang terjadi di antara sepasang suami istri itu.

Dan, tanpa diduga, alih-alih melewati dan tak menghiraukan keduanya, Lia malah melepas tangan Herman dari lengannya. Lantas, mendekati mereka.

Tak ada yang tak heran dengan sikap wanita cantik bermata sayu itu. Entah terbuat dari apa hatinya. Atau ... jangan-jangan dia sudah tak waras?

"Aku menerimamu sebagai istri Mas Herman. Karena aku adalah istri pertamanya, kumohon kamu bisa menempatkan diri!" Kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir tipis kemerahan itu begitu tenang dan tegas.

Bisa dipastikan, Lulu dan Rani begitu terkesiap. Saling berpandangan sesaat. Lantas kembali menatap wanita cantik di hadapan mereka dengan mata membulat dan dahi yang sedikit berkerut.

"Maksudnya, Mbak?" Kini Lulu sudah berani bersuara.

"Ayo kita segera pergi bersama dari sini! Sebelum kakak lelakiku sampai. Kalau kau mengizinkan, biarkan kami menumpang sementara di rumahmu! Kamu tak keberatan, bukan?"

"I-iya. Tentu saja kami tak keberatan."

Herman yang berdiri sedikit di belakang sang istri, tak kalah terkesiap dengan yang terjadi. Ini bukan Lia yang dia kenal selama ini. Dia sama sekali berbeda.

Seketika Lia berbalik, memandang suaminya.

"Yah, ini!" Lia mengangsurkan ransel ke arah suaminya.

Herman menerimanya. Masih, dengan mimik wajah penuh keheranan. "Iya."

"Dan untuk istrimu ini. Aku akan berusaha menerimanya. Berusaha rukun dengannya. Agar Aya bisa mendapat keluarga yang membuatnya merasa aman dan nyaman," Lia berujar sebelum Herman melangkah untuk membereskan barang-barangnya yang tercecer di lantai.

Lelaki bermata tajam itu hanya mengangguk perlahan. Tanpa suara sedikit pun yang keluar dari bibirnya.

Dan sejurus kemudian, setelah semua telah dibereskan ke dalam tas, Herman kembali mendekati istrinya yang ... mengobrol santai dengan Lulu dan Rani.

Apa sebenarnya yang telah merasuki wanita cantik yang selama ini dianggap sangat pemarah dan penuntut oleh Herman itu? Yang manakah yang benar-benar Lia?

Wanita cerewet yang selama ini membuat lelaki berjenggot itu tak nyaman? Atau ... jelmaan bidadari yang telah berdiri di hadapannya dan sejenak tadi telah memeluk dan berkata bahwa memaafkan semua kesalahannya?

"Itu. Mas Herman sudah selesai berkemas. Kita segera pergi, yuk, Dik!

Apa? Lia dengan begitu santai memanggil Lulu dengan panggilan Dik? Ini sangat aneh.

"Kalian pergilah dengan mengendarai taksi online! Rumah Lulu tak jauh dari sini. Aku akan mengantar Aya ke rumah Bapak. Menitipkannya di sana. Tak baik jika Aya ikut menginap di rumah Lulu." Herman memberi pengarahan ketika sudah berdiri di hadapan kedua istrinya.

Lelaki berkulit cerah itu mengangsurkan tas ke arah Lia. Dan wanita bermata sayu itu, menerimanya seraya mengangguk mantap. Lantas, menyerahkan putrinya untuk bersama sang ayah.

Selanjutnya, wanita berambut ikal kecokelatan itu melangkah menuju bale-bale di mana dia sempat duduk tadi. Sementara Herman sudah berlalu dengan motornya, bersama Cahaya. Ini pertama kalinya Lia berpisah dengan putrinya. Tapi, dia tak punya pilihan lain. Kenyamanan hati sang putri jauh lebih penting.

Dan tentu saja, Lulu dan Rani bagai kerbau yang sudah dicocok hidungnya. Menurut saja kepada wanita cantik beranak satu itu. Terdiam dengan hati yang masih terheran-heran.

Bukankah tadi wanita yang kini duduk bersama mereka begitu marah? Bahkan seketika pergi.

Tapi, bagaimana bisa dia mendadak berubah? Tiba-tiba memaafkan pengkhianatan luar biasa. Menerima wanita lain sebagai istri suaminya.

Ini bukanlah hal wajar. Apakah ini sebuah ketulusan atau hanya rencana lain untuk selanjutnya menghancurkan Lulu? Membuat wanita selingkuhan Herman itu mendapat penderitaan luar biasa?

Lia menghidupkan layar. Membuka aplikasi taksi online. Lantas membuat pesanan. Hanya butuh waktu sepuluh menit saja, sebuah mobil MPV hitam telah berhenti di hadapan mereka.

Ketiganya bergegas masuk. Duduk di kursi penumpang tengah. Bercakap-cakap santai setelah mobil melaju perlahan.

Sayup-sayup terdengar ungkapan syukur dari bibir tipis Lia. Bersyukur karena segera bisa pergi sebelum sang kakak datang. Hal yang telah dilakukannya itu menyelamatkan lelaki yang begitu disayanginya dari amarah Agus.

Dan kedua wanita yang duduk bersama Lia, lagi-lagi keheranan. Terutama Lulu.

Sebegitu cintakah wanita ini kepada Mas Herman? Apa keistimewaan lelaki brengsek itu? Tapi ... bagaimana mungkin kami bisa berbagi suami?





(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now